LAHORE (Arrahmah.com) – Setidaknya 16 orang dilaporkan meninggal dunia di kota Lahore setelah meminum obat batuk sirup beracun, memaksa otoritas menutup tiga apotek dan pabrik obat-obatan.
Kematian dilaporkan terjadi di kota Shahdra antara hari Jum’at (23/11/2012) hingga Ahad (25/11) dengan korban sebagian besar pecandu narkoba yang meminum obat batuk tersebut dalam jumlah banyak, klaim kepala polisi setempat Atif Zulfiqar pada Senin (26/11).
Skandal ini muncul setelah sekitar 100 pasien jantung meninggal dunia di bulan Januari di Lahore, kota terbesar kedua di Pakistan setelah meminum obat yang salah dan dibuat secara lokal.
Pemilik ditangkap
“Setidaknya 16 orang, sebagian besar pecandu narkoba, tewas setelah meminum sirup beracun,” ujar Zulfiqar kepada AFP, sebelumnya korban tewas berjumlah 13 orang.
“Beberapa korban ditemukan tewas di kuburan di mana sering digunakan pecandu narkoba untuk mengambil berbagai jenis obat,” katanya. Tujuh orang lainnya tewas di rumah sakit.
Tiga apotek telah ditutup dan pemiliknya ditangkap, lansir Al JAzeera.
Penasehat kesehatan di provinsi Punjab, Khawaja Salman Rafiq mengatakan sirup tersebut akan disita dari semua apotek.
Dia menambahkan para pemeriksa telah menutup pabrik obat dan mengirim contoh ke laboratorium untuk dianalisis secara rinci.
Rafiq melanjutkan bahwa laporan akan disampaikan kepadanya dalam waktu 72 jam.
Dokter di Rumah Sakit Mayo, Lahore, Tahir Khalil mengatakan 20 korban berusia 15 sampai 45 tahun dan telah dirawat setelah meminum sirup dan sebagian besar memiliki riwayat kecanduan.
Seorang korban yang berada dalam kondisi kritis meninggal kemarin (26/11) dan total kematian di rumah sakit menjadi tujuh orang.
“Enam orang telah berhasil diselamatkan dan dipulangkan setalah dirawat, sedangkan tujuh lainnya masih dirawat di rumah sakit,” ujar Khalil.
Pakistan memiliki sejumlah produsen farmasi dalam negeri, membuat versi generik dari obat-obatan dan menjualnya dengan harga yang lebih terjangkau dibanding rekan-rekan mereka di luar negeri.
Sementara mereka yang seharusnya diatur oleh pemerintah, tidak dipantau sama sekali dalam tingkat provinsi. (haninmazaya/arrahmah.com)