WASHINGTON (Arrahmah.com) – Presiden Barack Obama menekan Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada Senin (17/3/2014) dengan mengatakan bahwa para pemimpin dari kedua belah pihak harus mengambil risiko politik sebelum batas waktu April, sebagaimana dilansir oleh WorldBulletin.
Dalam pembicaraan di Gedung Putih yang dibayangi oleh krisis Ukraina, Abbas mengakui bahwa waktu untuk negosiasi Timur Tengah sudah hampir habis dan dia menyerukan kepada “Israel” untuk melanjutkan pembebasan kelompok terakhir dari tahanan Palestina pada akhir Maret untuk menunjukkan bahwa “Israel” serius tentang upaya perdamaian tersebut.
“Ini sangat sulit,” kata Obama bersama Abbas yang duduk di sampingnya di Oval Office. “Kami harus mengambil beberapa keputusan politik yang sulit dan berisiko, dan saya berharap bahwa kita dapat melihat perkembangannya dalam beberapa minggu mendatang,”
Salah satu hambatan utama dalam pembicaraan damai antara Palestina-“Israel” adalah permintaan Netanyahu bahwa Abbas harus secara eksplisit mengakui “Israel” sebagai negara Yahudi. Permintaan Netanyahui tersebut ditolak dengan keras oleh rakyat Palestina.
Tanpa mengakui “Israel” sebagai sebuah negara dari orang-orang Yahudi, Abbas mengingatkan Obama bahwa Palestina telah menerima “legitimasi Israel” sejak tahun 1988 dan pada tahun 1993 “kami mengakui negara “Israel”.”
“Semua orang memahami gambaran garis besar kesepakatan damai ini, yang melibatkan kompromi teritorial di kedua pihak berdasarkan garis batas yang telah disepakati pada 1967, yang akan memastikan bahwa “Israel” aman tetapi juga akan memastikan bahwa Palestina memiliki negara berdaulat,” kata Obama.
Abbas setuju solusi tersebut harus memerlukan negara Palestina yang dibangun di batas yang sudah ada sebelum perang Timur Tengah 1967 dan dengan Al-Quds (Yerussalem Timur) sebagai ibukotanya. Akan tetapi Netanyahu menyatakan bahwa “Israel” tidak akan pernah kembali ke batas tersebut yang dianggap tidak bisa dipertahankan lagi, dan “Israel” menganggap bahwa Yerusalem sebagai wilayah yang tidak dapat dibagi.
Pada hari Ahad (16/3), 80 LSM Palestina menandatangani petisi, yang dirilis oleh jaringan LSM Palestina, meminta Abbas untuk tidak tunduk pada tekanan AS, sebagaimana dilansir oleh The Palestinian Information Center.
Petisi ini menekankan perlunya menjunjung tinggi hak-hak nasional, yang telah diperjuangkan oleh rakyat Palestina dan semua orang yang percaya dengan keadilan Palestina.
Petisi itu mengatakan bahwa pertemuan antara kedua pemimpin tersebut datang pada saat “Israel” menegaskan bahwa negara Palestina masa depan harus mengakui “Israel” sebagai negara Yahudi dan terus membangun unit pemukim kolonial di Tepi Barat yang diduduki dan khususnya di Yerusalem Timur (Al-Quds) dan mengepung Jalur Gaza. Pertemuan tersebut diyakini ditujukan untuk menekan pihak Palestina untuk menerima kerangka perjanjian perdamaian yang disusun.
Menghadapi tekanan dari orang-orangnya sendiri untuk menuda kesepakatan tersebut, Abbas mengatakan kepada wartawan pada awal pembicaraan, “Kami tidak punya banyak waktu. Waktu tidak berada di pihak kami.”
Setelah itu, juru bicara Abbas Nabil Abu Rdainah menggambarkan pertemuan itu sebagai suatu pertemuan yang panjang, intensif dan sulit. Dia mengatakan bahwa sejumlah ide dipertimbangkan tetapi “kami tidak menerima apa-apa secara tertulis.”. (ameera/arrahmah.com)