SURABAYA (Arrahmah.com) – Sikap Nusron Purnomo (Wahid) si pembela Ahok yang kafir dengan melotot lotot kepada para ulama dan Kyai dalam hal ini kepada Rais Am Syuriah PBNU dinilai kurang adab.
Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyoroti sikap Nusron yang tercatat sebagai salah satu Ketua PBNU.
Kyai Hasyim menegaskan Rais Am Syuriah PBNU sebagai pemimpin yang punya otoritas paling tinggi ternyata tak dihormati bahkan dilawan oleh jajaran Tanfidziah PBNU.
Dalam kasus penistaanagama Islam oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Nusron melawan secara terbuka KH Ma’ruf Amin sebagai Ketua Umum MUI Pusat yang menjabat Rais Am Syuriah PBNU.
“Masak kyai dilawan dengan melotot-melotot,” kata Kiai Hasyim Muzadi dalam acara PW IKA PMII Jawa Timur bertema Ikhtiar Menata Jawa Timur Lebih Sejahtera di Rumah Makan Aqis Surabaya, Senin (24/11/2016). Para peserta yang terdiri dari alumni PMII dan aktivis PMII langsung tertawa, dikutip dari Bangsaonline
Menurut dia, pengurus NU tidak cukup hanya pintar dari segi pemikiran tapi juga harus punya etika. Karena itu ia mengaku heran terhadap kasus Nusron. Apalagi dari segi keilmuan KH Ma’ruf Amin jelas lebih alim ketimbang Nusron Wahid. “Yang mimpin NU itu Rais Am apa Rais Awam,” kata mantan Ketua Umum PBNU dua periode itu. Lagi-lagi peserta tertawa.
Kiai Hasyim Muzadi menekankan bahwa ulama harus jadi patokan umat terutama warga NU. “Sekarang pathokan itu malah diseret-seret wedhus (kambing),” katanya disambut tepuk tangan peserta.
“Sekarang ini kiai malah dipidatone politisi. Seharusnya kiai yang menjadi pegangan para pengurus partai politik,” tambahnya.
Menurut dia, kasus-kasus ini terjadi akibat pengurus NU meninggalkan khitah 26. Kini para politisi mengendalikan mindset NU. “Ini bahaya, karena NU kehilangan marwah atau muruah dan tidak dihargai baik oleh warga NU maupun oleh organisasi-organisasi di luar NU,” tegasnya. Begitu juga di tingkat nasional maupun internasional. NU tidak punya pengaruh signifikan.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu mengingatkan pidato KH Ahmad Siddiq saat menutup Muktamar NU ke-27 di Situbondo Jawa Timur pada 1984. Saat itu, menurut Kiai Hasyim Muzadi, Kiai Ahmad Siddiq menyatakan bahwa NU itu ibarat kereta api, bukan mobil taksi. “Relnya jelas, stasiunnya jelas. Di mana akan berhenti juga jelas,” katanya. Sehingga tak bisa berhenti sembarangan.
Beda dengan mobil taksi. “Kalau mobil taksi tergantung yang menyewa,” katanya. Sehingga bisa berhenti sembarangan. Ketika didatangi calon gubernur non muslim muncul pernyataan bahwa pemimpin non muslim yang adil lebih baik ketimbang muslim tapi tidak adil. Tapi ketika datang calon lain pernyataannya berubah lagi. Akibatnya NU tak punya muruah dan tak dihargai umat Islam, termasuk tak dihargai warga NU sendiri.
Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang Jawa Timur dan Depok Jawa Barat itu mengaku anti politisasi mandset NU. Ia menjelaskan proses berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
“Saya dulu tanya kepada Gus Dur. Gus kok mau mendirikan partai. NU kan khittah,” kata Kiai Hasyim Muzadi. “Gus Dur menjawab, partai ini untuk menyalurkan aspirasi politik. Tapi NU tetap khitah. Sampean mimpin NU saja, saya mimpin PKB karena saya mau jadi presiden. Tapi PKB dan NU tak saling mencampuri,” kata Kiai Hasyim Muzadi menirukan jawaban Gus Dur. Kiai Hasyim Muzadi dan Gus Dur pun sepakat.
“Kami salaman. Kalau Gus Dur kan bisa dipegang dan bisa dipercaya. Tapi anak-anak (pengurus PKB) sekarang kan gak seperti itu,” katanya. Para pengurus PKB sekarang justru intervensi NU.
Karena itu ia minta IKA PMII mulai memikirkan kondisi NU yang sudah tak sesuai khitah 26 ini. “Sebab NU bukan hanya organisasi tapi juga jalan hidup ke sorga. Dalam NU ada ajaran-ajaran,” katanya.
(azm/arrahmah.com)