STOCKHOLM (Arrahmah.com) – Kehadiran Ramadhan biasanya mendatangkan nuansa yang berbeda bagi umat Muslim. Namun, jika Anda berkunjung ke ibu kota Swedia, Stockholm, nuansa Ramadhan dipastikan tidak hadir di sana. Hampir tidak ada sesuatu pun yang mengindikasikan Ramadhan di seluruh pelosok Kota Stockholm. Penduduk sibuk seperti biasanya.
Seorang Muslim yang tinggal di Stockholm juga akan sulit menemukan toko halal atau perempuan berjilbab di jalan. Buah khas Ramadhan juga jarang ditemukan, toko-toko kebanyakan hanya menjual kue Swedia. Di negara ini, Muslim memang minoritas. Menurut perkiraan, ada sekitar 200 ribu warga Muslim dari total populasi sebanyak sembilan juta jiwa. Warga Muslimnya kebanyakan asal Somalia, Turki, dan juga Iran.
Masjid Sheikh Zayed, seperti dikutip dari Islamonline.net, adalah satu-satunya masjid megah di Stockholm. Dengan kubah yang unik dan menara sabit, masjid ini menjadi tempat pertemuan bagi umat Islam dari berbagai etnis. Di masjid ini pula, umat Muslim dapat mengetahui jadwal shalat dan puasa.
Begitu memasuki masjid, pandangan mata akan tertuju pada serangkaian kalender Islam yang ditulis dalam bahasa Arab dan Swedia. Masjid ini juga dihiasi relief Islam dan kaligrafi yang bertuliskan ayat Alquran Namun sayangnya, merdunya suara azan tidak diperdengarkan dengan lantang. Bagi Muslim pendatang, pasti akan merindukan suara azan saat berbuka puasa.
Pada musim dingin, umat Muslim di Swedia sahur pukul 05.30 pagi dan berbuka puasa pukul 15.15 petang. Sementara untuk tahun ini, bulan Ramadhan menjadi tantangan bagi kaum Muslim di sana karena bertepatan dengan musim panas.
Itu berarti waktu siang di Swedia lebih panjang. Komunitas Muslim di negeri itu, seperti dikutip dari Eramuslim.com, harus berpuasa hingga 18 jam. Lebih lama dibandingkan waktu berpuasa umat Islam di kawasan Asia atau Timur Tengah yang rata-rata 13-14 jam.
Rasa lelah kerap dirasakan Muslim di sana. Bayangkan saja, jika sahur sekitar pukul 03.40, iftar tiba pukul 21.30 waktu setempat. Waktu malam antara setelah iftar dan sahur menjadi sangat pendek, hanya ada waktu sekitar enam jam dari iftar ke sahur.
Meski demikian, kaum Muslim di negeri itu tetap semangat menjalankan puasa Ramadhan. Anggota Asosiasi Muslim di Umea, Mikael Sundin, mengatakan panjangnya waktu siang di wilayah utara Swedia, seperti di Umea, lebih ekstrem dibandingkan di Stockholm. Tapi, kaum Muslimin di kota itu tetap mengikuti waktu yang resmi berlaku.
“Tentu saja waktu siang yang panjang dan kondisi musim panas menjadi tantangan tersendiri bagi Muslim, tapi mereka harus tetap menjalankan kewajiban puasa Ramadhan,” ujar Mahmoud Khalfi, imam Masjid Stockholm. Beda pendapat Perkiraan cuaca itu memicu beragam pendapat dari kalangan ulama Muslim di sana dalam hal menentukan waktu berbuka puasa.
Imam Khalfi berpendapat, umat Muslim boleh mengikuti pola waktu kota terdekat yang waktu terbenam matahari lebih cepat dibandingkan tempat tinggal mereka. “Tapi, ada juga yang berpendapat bahwa Muslim di sini bisa mengikuti pola waktu yang berlaku di Makkah,” kata Imam Khalfi merujuk pada perbedaan dasar pemikiran tentang bagaimana puasa harus dilaksanakan.
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, Imam Khalfi mengungkapkan bahwa puasa di mana saja bisa sama beratnya. Itu karena berpuasa bukan cuma menahan lapar dan dahaga, melainkan juga hawa nafsu. Intinya, berpuasa terutama di bulan Ramadhan adalah ajang melatih kesabaran. “Semua tergantung dari niat yang kuat dan kesabaran kita. Kita belajar untuk mengendalikan hawa nafsu. Puasa juga mengajarkan kita untuk memiliki solidaritas pada mereka yang miskin yang kadang tak punya apa-apa untuk dimakan.” (republika/arrahmah.com)