CIREBON (Arrahmah.com) – Nahdlatul Ulama menyerukan hukuman mati untuk koruptor yang membangkrutkan negara. Pertimbangan tersebut diambil agar menimbulkan efek jera bagi koruptor
Seruan hasil sidang komisi ini akan jadi salah satu rekomendasi Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Pondok Pesantren Kempek, Palimanan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (17/9) ini. Munas diikuti 2.000 peserta dari seluruh Indonesia.
“Para koruptor ini merusak tatanan berbangsa dan bernegara. Jika ia mengorupsi ratusan miliar rupiah, maka hukuman yang diberikan harus berat, hingga bertahun-tahun, jangan hanya 1-2 tahun,” kata Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, kemarin (17/9) dikutip kompas.com.
Seruan hukuman mati terhadap koruptor diambil dalam sidang Komisi A (Komisi Bahtsul Masa’il Ad-Diniyyah Al-Waqiyyah). Komisi ini membahas persoalan-persoalan kebangsaan dalam perspektif hukum Islam.
Dalam sidang terjadi perdebatan sengit antara kelompok yang mendukung hukuman mati tanpa syarat dan kelompok yang menolak hukuman mati atau kalaupun ada hukuman mati harus disertai syarat tertentu.
Kelompok yang mendukung hukuman mati mendasarkan kebijakan itu pada pandangan mazhab Maliki dan Hanafi, sedangkan yang menolak memakai dasar pandangan mazhab Syafii.
Komisi A mengambil jalan tengah. “Hukuman mati boleh diterapkan setelah pengadilan mempertimbangkan pelanggarannya, baik dari jumlah uang yang dikorupsi maupun dari seberapa sering pelanggaran itu dilakukan,” kata Saifuddin Amsir, Ketua Komisi A.
Artinya, NU merekomendasikan hukuman mati sebagai opsi terakhir bagi koruptor, yakni ketika ia tidak jera setelah menerima hukuman penjara bertahun-tahun dan masih mengulangi perbuatannya. Hukuman mati tidak dianjurkan langsung dijatuhkan tanpa melewati syarat-syarat itu.
“Kami menekankan pertimbangan hukuman mati itu pada efek jeranya. Hukum Islam sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman mati terhadap seseorang. Hukuman mati harus ditolak sepanjang masih ada keraguan dalam bentuk pelanggaran yang dilakukan,” katanya.
Ketua Umum Ikatan Sarjana NU Ali Masykur Musa mendukung penerapan hukuman mati terhadap koruptor. “Wacana tersebut bisa kita masukan dalam undang-undang,” katanya.
Tidak hanya korupsi, NU juga menyoroti politik uang dalam pemilu dan pemilu kepala daerah. Politik uang hampir pasti dinyatakan haram dalam munas ini.
Khatib Aam Syuriah PBNU Malik Madani mengatakan, politik uang merusak moral rakyat dan elite politik. Elite NU dan massanya jadi rebutan, bahkan ada elite NU yang jadi bandar atau pembagi uang tim sukses.
Ia berharap pilkada langsung ditinjau. Politik uang berimbas pada korupsi.
Sikap dingin Presiden
Sementara itu, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono bersikap dingin terhadap usulan mati koruptor. Presiden hanya menegaskan pemerintah akan konsisten dan konsekuen dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Sikap Presiden itu disampaikan saat hadir di acara Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Senin (17/9). Di awal pembicaraan di hadapan ratusan peserta Munas dan Konbes NU, Presiden menyampaikan dirinya akan memberikan respons atas butir-butir rekomendasi yang diberikan kepadanya.
”Insya allah dengan dukungan para ulama, kami akan tetap konsisten dan konsekuen dalam pemberantasan korupsi. Tidak ada istilah tebang pilih dalam memberantas korupsi,” kata presiden dikutip dari republika.co.id.
Presiden juga mengajak semua pihak untuk tetap memberikan dukungannya kepada pihak yang memberantas korupsi. Bahkan ia menegaskan, para penegak hukum harus tetap berani meski yang tersangkut korupsi itu adalah pimpinan partai maupun orang yang dianggap dekat dengan dirinya.
”Siapapun yang melaksanakan pemberantasan korupsi, hukum harus ditegakkan. Saya berharap, mari kita dukung penuh KPK, mari kita dorong dan dukung Polri, kejaksaan, jajaran mahkamah agung dan tentunya pengacara,” ujarnya. (bilal/arrahmah.com)