SURABAYA (Arrahmah.com) – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dinilai lambat merespon wacana penutupan lokalisasi pelacuran Dolly yang digulirkan Gubernur Jawa Timur, Soekarwo beberapa waktu lalu. Padahal, jika Pemkot mau, lokalisasi maksiat terbesar di Indonesia itu bisa bernasib sama seperti lokalisasi Kramat Tunggak, Jakarta.
“Belum ditutupnya prostitusi Dolly karena hingga kini Walikota Surabaya masih muter-muter, nggak jelas,” kata Ketua PWNU Jatim, KH. Mutawakkil Alallah kepada hidayatullah.com di kantornya Senin (10/1/2011).
Dulu, kata Mutawakkil, Kramat Tunggak bisa ditutup karena Sutiyoso didesak oleh ormas-ormas Islam. Sekarang, lanjutnya, pak Karwo telah mendorong Walikota untuk menutup Dolly, tapi sayangnya hingga kini belum direspon serius.
Karena itu, Mutawakkil mendorong seluruh ormas Islam di Surabaya untuk bersatu mendesak pemkot agar menutup Dolly. NU sendiri, katanya siap pasang badan untuk penutupan tempat maksiat itu.
“Kami dari ormas, siap untuk mendukung dan melawan siapapun yang menghalangi rencana ini. Baik secara argumentasi maupun secara apapun juga,” tegasnya.
Lebih jauh, ia mengatakan, sulitnya menutup Dolly tidak lain karena adanya dukungan dari pejabat sekitar. Dan, hal itu menurutnya tidak bisa ditoleransi.
“Zina itu dosa besar. Dolly itu melegalisir perbuatan zina. Maka dosanya juga orang yang mendukung sama dengan yang melakukan zina. Pemkot menanggung dosanya,” paparnya.
Karena itu, ia berpesan agar pemkot tidak hanya melihat keuntungan materi semata, tapi juga takut murka Allah dan dampak negetif remaja dan balita. (hidayatullah/arrahmah.com)