SURABAYA (Arrahmah.com) – Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur (Jatim) mengungkapkan sejumlah alasan mengapa pihaknya mengharamkan cryptocurrency atau mata uang kripto, melalui forum bahtsul masail beberapa waktu lalu.
Khatib Syuriah PWNU Jatim, KH Syafruddin Syarif mengatakan, mata uang kripto itu dinilai tidak memenuhi kriteria sebagai komoditi (sil’ah) dalam hal sebagai alat jual-beli. Sebab barang atau sil’ah itu harus berwujud nyata. Sedangkan kripto dianggap fiktif.
“Sesuatu itu bisa dijual, diberikan atau diwariskan itu ada barangnya, bukan fiktif bukan maya,” kata Syafruddin di Lobi Kantor PWNU Jawa Timur, Selasa (2/11/2021), lansir CNN Indonesia.
Syafruddin menjelaskan, di dalam Islam, terdapat 7 syarat barang yang bisa dijual roikhan. Yaitu pertama apabila barang tersebut suci (Mahfum, bahwa barang tersebut suci adalah barang tersebut wujud atau ada fisiknya).
Kedua, bisa dimanfaatkan oleh pembeli secara syara’ dengan pemanfaatan yang sebanding/sejalan dengan status hartawinya secara adat.
Ketiga, bisa diserahkan terimakan secara hissy (maqduran ala taslimihi hissan) dan secara syar’i.
Keempat, pihak yang berakad menguasai pelaksanaan akadnya. Kelima, mengetahui baik secara fisik dengan jalan melihat atau secara karakteristik dari barang.
Keenam, selamat dari akad riba. Dan ketujuh, aman dari kerusakan sampai barang tersebut sampai di tangan pembelinya (qabdl).
“Dengan kata lain, sil’ah wajib terdiri dari barang yang bisa dijamin penunaiannya,” ujarnya.
Aset kripto sendiri, ungkapnya, tidak memenuhi kategori sebagai sil’ah secara fikih karena tidak masuk kategori ain musyahadah (barang fisik) dan tidak masuk ke dalam kategori syaiin maushuf di al-dzimmah (barang berjamin aset).
“Kripto aset ma’dum atau fiktif. Cryptocurrency juga tidak memiliki potensi untuk bisa diserahterimakan secara hissan (inderawi),” terangnya.
Dia mencontohkan, ketika seseorang membeli sebuah benda dengan spesifikasi warna hitam, maka yang dijual bukan hanya soal warnanya tetapi juga alatnya. Artinya dalam hal ini adalah wujud benda harus ada atau nyata.
“Kalau belum ada wujudnya bagaimana kita bisa menjual sesuatu,” tegasnya.
Hal ini, lanjutnya, berbeda dengan uang elektronik atau e-money. E-money tidak ada fluktuasi nilainya dan jumlahnya tetap.
Begitu juga dengan saham. Menurutnya, di saham yang diperjualbelikan adalah hak kepemilikan perusahaan. Penyebab naik turunnya nilai sebuah saham pun sudah jelas, yakni bergantung pada keuntungan perusahaan tersebut.
Syafruddin mengatakan keputusan bahtsul masail tentang kripto ini akan dibawanya ke forum Muktamar PBNU di Lampung, Desember 2021 mendatang.
Pihaknya juga akan menyerahkan kajian NU Jatim ini ke pemerintah sebagai bentuk rekomendasi.
(ameera/arrahmah.com)