JAKARTA (Arrahmah.com) – Saya terkejut bukan main ketika melihat-lihat buku di sebuah stand Bandung Islamic Book Fair yang diadakan dari tanggal 9 sampai 15 Mei 2012. Betapa tidak, saya melihat sebuah novel berjudul “Kabut Jihad” Karya dari Balik Jeruji Penjara, Februari 2012, yang diterbitkan oleh Pustaka Bayan, Bandung. Setelah meneliti lebih dalam ternyata penulisnya adalah Khairul Ghazali, narapidana teroris yang dikaitkan dengan perampokan CIMB Niaga Medan dan Penyerangan Polsek Hamparan Perak (2010).
Sebelumnya Khairul Ghazali pernah menulis buku kontroversi berjudul “Mereka Bukan Thagut” (Desember 2011) dan “Aksi Perampokan Bukan Fa’i” (Juli 2011). Kedua buku ini dilaunching besar-besaran di sebuah hotel di Jakarta yang disponsori oleh BNPT dengan melibatkan kalangan akademik, MUI dan mantan “teroris” seperti Abu Rusydan dan Nasir Abas. Aneh, kali ini bukunya (novel) yang sudah terbit sejak Februari 2012 lalu tidak terkena virus launching, tidak ada kata pengantar dari pakar akademik dan mantan jihadis, tidak ada iklan dan gegap gempita sebagaimana kedua bukunya terdahulu. Ada apa ya?
Kuat dugaan, karena bukunya kali ini berbentuk novel yang mengisahkan peristiwa perampokan CIMB Medan, Penyerangan Polsek Hamparan Perak dan Pelatihan Militer (baca: I’dad) di Jantho Aceh (2010). Artinya, tidak ada poin-poin yang menguntungkan bagi pihak BNPT (baca: thaghut) untuk melariskan jualan deradikalisasinya yang hingar bingar dan nyeleneh itu. Atau, bisa jadi, novel Kabut Jihad ini keluar dari jeruji penjara thaghut tanpa “permisi” alias “illegal”. Wallahu a’lam.
Setelah penulis teliti isinya, memang bisa dikatakan sebuah novel berbasis fakta. Jarang ada novel seperti ini, apalagi ditulis oleh pelaku langsung ketika yang bersangkutan masih menjalani hukuman. Di cover belakang ditulis, “Novel ini menjadi penting karena keberpihakannya kepada kebenaran sejarah yang tampak cukup kental dan jelas. Itu karena dalam penulisan novel ini para aktivis jihadis yang masih hidup dijadikan narasumber.”
Di antara aktivis jihadis yang dijadikan narasumber adalah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar (Abdul Somad dan Abdul Halim, nama lain sewaktu masa-masa pelarian beliau di Malaysia). Juga ada Usaid (Ubaid), Abu Yosef (Mustakim/Abu Yusuf), Karnis (Abdul Haris), Si Mata Elang (Wak Geng), dan lain-lain.
Novel ini dimulai dengan kata pengantar singkat, “Terus terang, ini adalah novel yang saya tulis di dalam penjara. Dalam sel 3×4 meter, seorang diri, saya memahat kata demi kata. Sulitnya bukan main. Selain karena lalu lintas informasi yang macet, juga karena saya tidak pernah seumur hidup menulis novel, walaupun biasa menulis buku-buku agama dan motivasi.” (hal. vii).
Menariknya, novel ini mengungkapkan beberapa fakta baru, di antaranya perkenalan penulisnya (Khairul Ghazali) dengan Abdul Somad sewaktu di Malaysia tahun 1985. Pada masa itulah penulis novel ini berkenalan dengan Abdul Somad dan pernah belajar beberapa kali, dalam rangka keberangkatannya ke tanah jihad Afghanistan yang gagal.
Karya Khairul Ghazali kali ini berbeda dengan kedua bukunya terdahulu yang terang-terangan membela thaghut. Dalam novel ini, Ghazali mulai tampil kritis dengan kritikan dan sentilannya yang tajam kepada sistem thaghut, walaupun sebelah kakinya masih kelihatan bersama thaghut. Misalnya perhatikan kalimat yang bernada protes terhadap sistem kehakiman ala thaghut ini:
Pikiranku berserakan seperti air yang ditampar. Membayangkan wajah jaksa yang garang, hakim yang menunggu dengan sabar untuk mengetuk palu–karena memang itu kerjanya, seolah-olah tiada kerja lain di dunia ini selain mengetuk palu—dan pengacara yang tak mau kalah berkejar-kejaran fakta dengan jaksa. Akhirnya pikiranku terbang jauh membayangkan bahwa nasibku kini di tangan jaksa dan hakim. Seolah-olah mereka lebih berkuasa dari Tuhan dan Malaikat. (hal. 4)
Jaksa Penuntut Umum akan membacakan serentetan tuduhan terhadapku sesuai BAP setinggi lutut, seolah-olah akan melontarkan dendam garang yang semakin menghitam dan segera terbakar. Begitulah kerja mereka, didera emosi yang semakin menjadi, tiada lain kecuali mengintai kesalahan orang. Bahkan seandainya umur mereka panjang, semua kesalahan penduduk bumi akan diaudit layaknya malaikat pencatat amal buruk di sebelah kiri.” (hal. 8 )
Protes Ghazali terhadap sistem kehakiman thaghut lebih keras dalam paragraf berikut:
Awal babak pertama permainan ini ditutup pada pukul 14.30 setelah JPU menyatakan akan menjawab dan memberi tanggapan terhadap eksepsi TPM minggu depan. Aku terhenyak. Hmm, masih butuh waktu seminggu untuk pementasan sandiwara yang sudah didesain berbulan-bulan. Oh, pikirku, seperti sinetron menunggu hari. (hal 22)
Ghazali juga memprotes pemerintah karena begitu mudahnya menuduh para jihadis sebagai teroris dalam paragraf berikut:
Mendapat stigma negatif sebagai keluarga teroris memang menyakitkan bagi Santi dan anak-anaknya. Apa dasar dan kepentingan anak itu sehingga disebut sebagai anak teroris, jerit hatinya pedih. Apa yang salah dengan anak itu? Siapa yang akan menanggung beban sanksi sosial yang amat buruk itu? Di sana ada sensitivitas terhadap rasa kemanusiaan. Anak-anak yang orangtuanya ditangkap polisi karena diduga terkait atau memang benar-benar teroris, mempunyai hak dan kesempatan yang sama dengan anak-anak lain untuk tumbuh dan berkembang. Anak-anak tidak boleh dikaitkan dengan keyakinan yang dipilih orangtuanya. Anak-anak itu tidak tahu apa-apa tentang terorisme, termasuk juga perbuatan orangtuanya.” (hal. 43)
Kisah perkenalan Khairul Ghazali dengan Ustadz Abdul Somad dimulai dengan episode berikut ini:
Inilah pengalaman pertamaku berurusan dengan gagak-gagak biru negara jiran. Padahal, hari itu aku akan berangkat ke Kuala Pilah, Negeri Sembilan, untuk mengikuti majelis pengajian yang dipimpin oleh Ustadz Abdul Halim dan Ustadz Abdul Somad. Keduanya, kabar yang santer kudengar, buron rezim Soeharto gara-gara menolak asas tunggal Pancasila. Aku sudah beberapa kali mengikuti pengajian mereka.
Kehadiran kedua ustadz itu di Malaysia begitu cepat tersiar. Bahkan sampai negeri tetangga, Singapura, berita kedatangan tokoh garis keras itu menjadi perbincangan. Kabar yang begitu cepat menyebar itu boleh jadi karena kedua ustadz dianggap tokoh vokal yang melarikan diri ketika sedang diadili. (hal. 104)
Ghazali juga menuturkan dengan kalimat-kalimat yang rapi:
Di negeri kami waktu itu sangat diyakini bahwa orang yang menentang Pancasila bisa hilang, entah terkubur di mana. Maka banyak orang yang memilih kabur ke luar negeri. Orang itu tak akan berani pulang, karena ia akan lenyap selama-lamanya. Jangan coba-coba melanggar keyakinan ini, kalau tak hendak terkena tuduhan subversib, dan hilang raib. Abdul Somad dan Abdul Halim mungkin tak ingin melanggar keyakinan itu.
Kedua tokoh itu kabarnya sering merekrut para pemuda yang bersedia berperang di Afghanistan. Mereka mengantar para pemuda ke Afghanistan sejak tahun 1985 untuk berperang melawan Uni Soviet yang menginvasi negara miskin itu tahun 1979. Belakangan baru kuketahui bahwa rakyat Afghanistan yang miskin dan bertelanjang kaki mampu melawan Uni Soviet. Pada masa itu Uni Soviet memiliki kekuatan militer terbesar di dunia, melambangkan kedigjayaan Pakta Warsawa. Hampir sepuluh tahun di Afghanistan, pada tahun 1989 mereka dipaksa untuk mundur meninggalkan Afghanistan dalam keadaan kalah, dipermalukan dan dihinakan. Pada akhir tahun itu pula, bendera Uni Soviet diturunkan dan dilipat rapi di berbagai kedutaan dan kantor-kantor Uni Soviet di seluruh dunia. Dibuang ke dalam keranjang sampah sejarah. Namanya dihapus dari peta dunia. (hal. 105)
“Untuk tujuan mengusir Soviet itulah aku berkenalan dengan Ustadz Abdul Somad, dengan cara perkenalan yang tak pernah diperhitungkan sebelumnya,” ujar Ghazali mengisahkan perkenalannya dengan Abdul Somad. (hal. 105)
“Kita menginginkan bangsa yang sejahtera, aman sentausa, adil dan bijaksana. Siapa yang tidak menginginkan bangsa Indonesia sejahtera, kecuali orang-orang yang bermental inlender, atau hipokrit. Pemerintah seharusnya tidak hanya membuat konsep kenegaraan berdasarkan ideologi sekuler tetapi juga harus berdasarkan Islam yang dianut oleh mayoritas bangsa kita. Sepertinya bangsa ini harus berpikir ulang, evaluasi diri, benarkah hukum-hukum yang telah ditegakkan bisa mewadahi dan mengikat seluruh rakyat, pemerataan ekonomi, keadilan hukum, kesejahteraan rakyat, benarkah hal itu telah terwujud semenjak bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya? Lihatlah, bangsa ini tiada henti terus mengalami konflik intern, dan bencana setiap saat meratah negeri ini tanpa ampun. Hutang kian hari kian menumpuk. Kesejahteraan rakyat berat sebelah, tidak merata. Korupsi membudaya dari atas hingga ke bawah. Yakinlah, hanya Islam satu-satunya solusi yang bisa membawa rakyat kepada amanat perjuangan bangsa ini sewaktu merintis kemerdekaannya dahulu. Jadi kita harus berjihad untuk menegakkan syariat Islam di persada ini…” (hal. 111)
Sesudah pertemuan yang pertama itu, aku semakin rajin bertandang ke markas Ustadz Somad. Kharisma dan auranya seperti magnet menarikku untuk setia menjadi pengikutnya. Apalagi diiming-imingi huurun ‘ain, bidadari surga, rasanya aku ingin cepat-cepat mengantarkan nyawaku satu-satunya ini ke Afghanistan agar bisa bersanding dengan bidadari yang lebih cantik dari bintang kejora, intan berlian— aku tak tahu mana yang asli dan palsu—dan lebih indah dari sinar bulan tanggal 14.
“Aih, mengapa tidak dari dulu ustadz mengajarkan ilmu jihad kepadaku. Orang tak tahu jihad malas berjihad.”
Ustadz Somad tersenyum. Senyumnya mengembang lebar seperti cake atau roti ditaburi baking powder, zat pengembang yang membuat makanan itu bengkak disengaja.
Orang yang malas berjihad, kebiasaan orang munafik. Orang macam kita, ni? Kalau perlu saban hari berjihad. Apalagi ladang jihad kini terbentang luas di negeri yang kini tertindas, Afghanistan.” (hal. 113-114)
Ada bagian yang cukup menarik dari novel ini yaitu dialog antara tokoh “aku” dengan Abdul Somad:
Nada bicaranya lebih berwibawa dan semakin serius. Aku kian ingin tahu.
“Berbahagialah kau belum terlalu kenal dengan Soeharto.”
“Tetapi saya tahu Soeharto, presiden kedua Indonesia.” Tentunya sesuai dengan umurku waktu itu, sembilan belas tahun.
“Kalian terbiasa diracuni dengan sejarah palsu. Soeharto itu tukang bohong dan raja pembual. Wajahnya saja menunjukkan ia lugu sebagai pembual, sehingga semua jenderal, menteri, gubernur, bupati, camat sampai lurah dan ketua RT percaya dengan kepolosan wajah campurannya, antara Cina dan Jawa. Soeharto, walaupun sempat didesas-desuskan sebagai anak yang dilahirkan dari perempuan Jawa yang dihamili oleh majikan laki-lakinya dari etnis Cina, tetap saja berbundakan orang Jawa. Oleh karena itulah, walaupun mata Soeharto terlihat jauh lebih sipit daripada mata orang Jawa pada umumnya, bagi kebanyakan rakyat Indonesia Soehartolah presiden pertama di Indonesia yang kononnya berasal dari suku Jawa.“
“Terus terang, aku bingung, ustadz.”
“Bingung? Bahkan semua rakyat juga bingung dibuat presiden priyayi yang berdarah biru dari kelasbangsawan ini. Ia pintar menyulap sejarah bangsanya, sehingga semua rakyat percaya kepadanya. Tapi tidak kepada kami, golongan yang sebaya atau hampir seumur dengannya, yang tahu persis sejarah jatuh bangunnya republik ini.” (hal. 114-115)
Cukup hebat sosok laki-laki pendiri pesantren Al-Mu’min, Ngruki itu. Hidupnya cukup sukses untukseorang ustadz seusianya. Bahkan ia sosok yang nyaris sempurna dengan predikatnya yang juga sebagai seorang da’i vokal seantero Jawa Timur. Maha Pemurah Allah yang telah memberinya kelebihan-kelebihan ilmu.
Kadang kerut merut di dahinya bertambah satu jika ia sedang merancang sebuah cerita atau menulis sebuah syair jihad. Ia selalu bersama segelas kopi untuk mengganjal mata. Dunianya ibarat negeri antah berantah yang jauh jaraknya seperti permukaan bumi dan langit, tanpa batas. Kebaikan dan kedermawanannya tiada tandingannya. Ia adalah ayah yang hampir tanpa cacat. Ia ikut mendidik anak-anaknya dengan pola didik dan motivasi yang tinggi.
Ustadz Abdul Somad. Tidak ada yang salah dengan laki-laki itu, ia begitu terhormat di mata murid-muridnya, pantas dikagumi di kalangan teman-temannya. Lidahnya tajam berbisa. Demi Allah tidak ada yang kurang dengan sosok dirinya kecuali lidahnya lebih tajam dari pedang. Lidahnya telah melibas belasan bahkan mungkin puluhan kali rezim Suharto, seolah-olah membenamkan orde baru itu ke dasar lumpur hingga meluap-luap seperti lumpur Lapindo. Mencincang habis harga diri, martabat, bahkan kehormatan penguasa yang seolah-olah menjadi raja itu. Kadang-kadang ia seperti gelombang yang membadai tak terukur. Ia bergejolak tanpa permisi, menggulung, dan mengaduk-aduk pantai. Menyeret segala macam benda yang berada di tepian, kemarahan, kesedihan, kejengkelan. Sampai akhirnya, penguasa itu memutuskan: menangkapnya.
Tetapi menangkap ustadz kurus tinggi itu bukanlah solusi yang tepat. Terjadi perdebatan di kalangan petinggi negara di tahun 1980-an. Sebagian menginginkan batang tubuhnya bersimbah darah. Sebagian lain hanya ingin lelaki berwajah Arab itu di-Nusakambangan-kan. Sampai di tahap ini, banyak orang menyanjung tinggi militansi Ustadz Somad, bahkan memujinya sebagai lokomotif jihad di tanah air. (hal. 167-168)
Ada dialog menarik dengan pak Syukur di dalam novel ini, dimana Abdul Somad mengatakan:
“Dirimu tak bisa mengerti tasbih ini jika dalam keadaan tak sadar. Coba jernihkan pikiranmu kembali. Melupakan setiap syair kebodohan, hidupkan hatimu dengan jihad, merusakkan tatanan negeri ini yang dibangun oleh sistem penjajahan yang menghisap, yang kita warisi sampai hari ini, mungkin sampai esok lusa, atau entah sampai kapan. Jangan mati sebelum kau bangkit menemukan dirimu dalam kafilah jihad, membebaskan negeri ini dari warisan kolonial, korupsi dan kebobrokan hukum yang merampas hak-hak rakyat kita.” (hal. 170)
“Saudaraku, Syukur. Kau harus tahu, kebenaran itu ternyata harus diperjuangkan. Tak ada kata mati untuk beramal shaleh agar kelak kita bisa merengkuh cinta sejati Allah. Kita harus terus menapaki dan bersatu dalam ikatan jema’ah, seperti kerikil-kerikil yang bersatu di sungai hingga indah kelihatan. Mari kita merangkai alif, ba, dan huruf lainnya dalam bingkai syariat, menjadikan negeri ini bersatu di bawah naungan syariat.”
Pak Syukur diam merenung. Tatkala ucapan Ustadz Somad bertiup-tiup di telinganya, ia kembali memikirkannya, seperti merenungi gunung dan lembah yang selama ini menyelimuti. Terbayang olehnya kampung dengan sungainya yang mengalir panjang membasahi setiap jengkal tanah yang membuat negeri ini hidup. Ataupun menyaksikan kelelawar pergi ke arah barat ketika matahari tenggelam di ujung batas horison langit. Subhanallah, ia kembali menemukan jejak Khalik. Tapi ia tetap tak suka dengan pendapat Ustadz Somad. Coba untuk dibantahnya. Ustadz Somad mendahuluinya.
“Bicara tentang jihad, Abdullah Azzam adalah contoh typikal yang tepat. Bisa kita merujuknya.” (hal. 171)
“Syukur, kau beragama terlalu memakai akal, macam orang-orang liberal, bisa sesat kau nanti, dan kau akan menjadi tawanan akalmu sendiri. Seperti orang komunis, payah kau nanti bertobat. Lihat masyarakat kita, sudah seperti orang komunis semua, tak ada yang mau memakai syariat, bahkan melecehkan jihad.”
“Aku tidak termasuk orang yang melecehkan jihad ya, ustadz.”
“Tapi nadamu seperti itu. Ayo kalau berani, sama-sama kita bergandeng bahu menentang rezim thaghut Soeharto karena dia adalah Fir’aunnya Indonesia!” (hal. 174-175)
Tentang Usaid (Ubaid) pula, Khairul Ghazali menulis dalam penggalan-penggalan kalimat berikut:
gurunya, Ustadz Abdul Somad, ia juga dinobatkan sebagai jihadis dan ideolog. Dia radikal fanatik, penuh semangat menyala-nyala. Dia menganggap pemerintah sama dengan thaghut, harus diperangi. Dia juga menyalahkan dan menuduh pemerintah kafir, agen Amerika. Dia tidak peduli akan mendapat banyak kesulitan dengan menentang pemerintah. Baginya, pemerintah lebih jahat dari Hindia Belanda di zaman penjajahan. Seakan-akan dia pernah hidup selama 300 tahun di zaman itu. (hal. 236-237)
Tentang penyiksaan yang dialami Usaid selama diinterogasi oleh Densus 88, digambarkan dengan cantik oleh Khairul Ghazali:
Dia tertangkap karena kelalaiannya di jalan raya Sisingamangaraja Medan, padahal bersama teman-temannya dia lenggang kangkung keluar dari pegunungan dan bermalam di dalam kendaraan hingga melintasi perbatasan negeri Serambi Mekah. Usaid tertangkap petugas yang telah lama memburunya. Ia pun tak ayal lagi menjadi sasaran pelampiasan kejengkelan para petugas yang telah sekian lama terpendam. Kadangkala kulihat ia terpincang-pincang, atau dipapah, atau mukanya seperti baru terkena sengatan puluhan lebah. Sekali waktu terlihat ia kembali ke selnya dengan menyapu kakinya ke lantai seperti kain pel. Pemandangan biasa. Telah hilang kemerdekaan pribadi. Setiap orang telah diberi ijasah bekas luka seperti gigitan serangga atau amukan benda tumpul yang tak bermata, apalagi ber-nurani. (238)
Ghazali menulis dialog yang indah berikut ini:
“Saya itu awalnya ingin menegakkan syariat Islam untuk membawa negeri ini ke jalan yang lebih baik karena hanya dengan syariat Islam, negara akan menjadi lebih baik. Saya ingin beribadah. Saya ingin berjihad, saya peduli dengan bangsa ini. Saya yakin dengan jihad pemerintah ini akan lebih baik,” Usaid mengenang.
Sungguh, kata-kata yang meleleh hikmah dan semangat tinggi melangit. Pilihannya menjadi teroris–menurutnya mujahidin—sudah ia pertimbangkan matang karena ia ingin syariat Islam menginvasi negara ini seperti Tuanku Imam Bonjol dengan pasukan Paderinya menginvasi Tanah Batak (1816-1833) untuk Islamisasi daerah itu.
Usaid menyebutkan, kegiatan di Serambi Mekah bentuknya berbeda dengan kegiatan yang selama ini dilakukan oleh Dr. Azhari dan Noordin M Top dengan melakukan pengeboman di berbagai tempat di sana-sini, yang menimbulkan korban orang-orang yang tidak berdosa, bahkan tidak tahu apa kesalahannya hingga mereka harus dibom. Baginya, program jihadnya adalah lintas tandzim. Berbagai kelompok-kelompok jihad akhirnya membentuk suatu jemaah dan kesatuan untuk tegaknya syariat. Banyak kalangan yang berpahaman radikal bersatu hati dan mendukung penuh konsep itu. Semangat mereka berkobar, kepercayaan diri meroket. Saling berpelukan dan meneriakkan takbir.
“Tidak ada gunanya menjadi Muslim apabila tidak melakukan kegiatan ‘amaliyat berupa i’dad (persiapan), tadhrib (latihan) dan ightiyalat (operasi khusus),” katanya dengan semangat yang meluap-luap mengenang ucapan gurunya, yang juga mantan guruku, Ustadz Abdul Somad. Aku tegang mendengar kisah perjalanannya membelah hutan tropis yang masih dihuni oleh Panthera tigris sumatrae, kucing besar berbelang-belang.(hal.241-242)
Tentang Abu Yosef (Abu Yusuf atau Mustakim), Khairul Ghazali melukiskan dalam dialog berikut:
Seri kemenangan gemerlap pada matanya. Ia menyeka lehernya yang penuh keringat dengan tangannya, berulang-ulang. Ia nampak ragu. Sebentar ia menoleh pada kawan-kawannya yang sedang menunggu perintahnya, sebentar pandangannya ke gunung-gunung tua, sebentar pada pokok-pokok raksasa yang berdiri kokoh di tengah-tengah hutan perawan itu.
Abu Yosef mulai berpikir, pemuda-pemuda Islam yang datang ke Jantho, bertempur untuk mempertahankan keyakinan. Pikirannya mengembara jauh. Jauh ke zaman DOM (Daerah operasi militer di zaman Soeharto), d mana separatis GAM mampu bertahan lebih dari tiga puluh tahun di hutan-hutan tebal dan gunung tinggi. Malahan GAM mampu menjatuhkan mental tentara ketika itu, menjadikan GAM satu kekuatan tangguh di hutan-hutan yang tak terjamah oleh pasukan khusus sekalipun.
Mengingat perjuangan GAM—yang mengarungi perjalanan sejarah yang penuh regangan otot, kepalan tangan, dan pengorbanan nyawa itu—menjadi sumber spirit bagi Abu Yosef yang kini terjepit. Sejarah yang penuh darah memang telah mendera Aceh, dan kini ia ingin mengulanginya kembali. Semangatnya tumbuh kembali seperti benih kacang yang baru mendapat siraman hujan. (hal. 285)
Novel ini diakhiri dengan catatan menarik Ghazali tentang kezaliman vonis hakim, tidak terlibatnya dirinya dalam tindak kejahatan yang dituduhkan, dan tentang indahnya jihad di dalam sijn (penjara):
Pandanganku tiba-tiba tertumbuk pada sebuah foto di koran lokal yang memuat beritaku kemarin, tergeletak di lantai selku. Di samping foto itu terdapat berita yang berjudul, Perampokan Itu Keji:
“…saat ini ia masih terus menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Medan. Sudah sekitar belasan kali ia menjalani persidangan dan belasan saksi pula sudah dihadirkan di hadapannya… namun ia tak pernah mengakui bahwa dirinya adalah pelaku perampokan bank CIMB Niaga Medan. Terlebih ia dikaitkan dengan otak pelaku dari 12 terdakwa dan selalu dikaitkan dengan terorisme. Dalam persidangan ia selalu membantah bahwa dirinya sama sekali tidak terlibat…”
Tapi, aku masih menyimpan koran lokal lainnya, yang memperlihatkan fotoku dan foto teman-temanku diborgol dan digiring oleh polisi bertopeng, sedang menuju ruang pengadilan untuk mendengar vonis.
Pesta vonis dimulai. Beragam hukuman dipamerkan. Pada saat itu juga aku mengerti, Tim Pengacara Muslim tak cukup kuat melawan jaksa dan hakim. Aku menunduk. Hatiku tenggelam dalam vonis yang mendera. Dan tiba-tiba aku kelihatan menjadi lebih tua. Tak pernah terbayang di benakku adanya vonis semacam ini di bawah kolong langit ini. Suaraku parau, hampir-hampir tak keluar dari kerongkongan.
Menyatakan menerima hukuman dengan berat hati. Pasal kesalahan: menyembunyikan informasi. Tak lagi pasal berlapis-lapis seperti awan.
Bagaimana harus membela diri terhadap ketukan palu hakim ini? Barangkali hanya Pak Syukur yang bisa menyejukkan hatiku dengan kata-katanya yang terngiang-ngiang di telingaku: ini bukan musibah atau bencana yang memelaratkan, anggaplah ini perang syahid kalian. (hal. 368-369).
–Oleh: M. ADLIN–
(salam-online/arrahmah.com)