Oleh Yuliyati Sambas
Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK
“No tax for education”. Semestinya prinsip tersebut menjadi pegangan negara dalam menjalankan tugasnya untuk mengurus rakyat. Namun kini wacana untuk melabrak prinsip tersebut mulai mengemuka di ranah eksekutif dan legislatif.
Jika sebelumnya jasa pendidikan tak terkategori dalam lingkup non-Jasa Kena Pajak (JKP), maka ke depannya pemerintah telah mengambil ancang-ancang mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada jasa pendidikan. Sebagaimana tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Rencana ini tak main-main, melalui Staff Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo mengungkap bahwa dikarenakan kini pemerintah masih fokus dengan penanganan pandemi, maka rencana pemberlakuannya akan segera diterapkan seusai mereda. Besarannya pun telah diajukan, yakni sebesar 7%. (kontan.co.id, 8/9/2021)
Rencana kebijakan itu termaktub dalam Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Beleid teranyar kini dalam posisi pembahasan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI.
Pemerintah sendiri berdalih pengenaan pajak itu bersifat terbatas dan akan diberlakukan secara ketat. Terbatas hanya diperuntukkan bagi sekolah-sekolah yang tidak mengikuti sisdiknas (sistem pendidikan nasional) dan tidak menerapkan prinsip nirlaba. Semisal sekolah-sekolah internasional yang menyedot biaya ratusan juta. Ketat dalam arti akan memantau agar tidak sampai meluas ranah wajib pajaknya hingga ke sekolah-sekolah lainnya. Padahal hal demikian itu tak semestinya dilakukan. Itu karena pendidikan adalah kebutuhan atas setiap individu rakyat. Sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam mengantarkan anak bangsa menjadi generasi berkualitas dan berkarakter baik. Mau orang kaya atau miskin, dari kalangan jelata hingga sosialita, sungguh semua wajib diposisikan sebagai rakyat yang berhak mendapat pengurusan dari negara, termasuk perkara pendidikannya.
Bukahkah UUD 1945 pun mengamanatkan bahwa pendidikan itu adalah hak semua komponen rakyat? Tampak sekali betapa hanya dengan alasan hendak memperluas jangkauan objek wajib pajak, justru berani mengkhianati amanah konstitusi.
Bisa diyakini bahwa fakta kebijakan ini kian menyempurnakan gambaran lepasnya tanggung jawab negara dalam melayani pendidikan secara berkualitas dan gratis. Alih-alih demikian, negara justru sibuk mencari celah memperbanyak pungutan dari rakyat.
Hal itu tak mengherankan ketika terjadi di negara dengan prinsip kapitalisme sekuler. Dalam prinsip kapitalisme, sebuah negara dipandang baik jika rakyat diberi kesempatan untuk mandiri dalam meraih kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Subsidi-subsidi yang akan “memberatkan” kas negara terus dipangkas. Sebaliknya, sektor-sektor pajak atas rakyat, jangkauannya akan diperluas. Wacana pendidikan gratis dan berkualitas pun kian menjadi hal utopia.
Di balik itu, lumbung-lumbung kekayaan negeri yang secara hakiki adalah milik rakyat, justru dibagi-bagikan pada para korporat baik lokal terlebih asing. Harta rakyat berlarian, kian menebalkan kantong-kantong cukong kapitalis. Sementara rakyat diperas sampai sekarat, dengan penarikan sedikit demi sedikit subsidi yang tersisa dan perluasan jangkauan objek pajaknya.
Maka yang terjadi, pendidikan yang semestinya mudah untuk diurusi hingga digratiskan dengan kualitas pelayanan yang prima pun tak mampu diberikan oleh negara. Pemerintah senantiasa berdalih bahwa kas negara tak mencukupi jika harus menggratiskannya.
Bandingkan dengan sistem Islam dalam menjamin pendidikan gratis. Sungguh Islam memiliki sistem pemerintahan yang khas, yakni Daulah Khilafah. Pendidikan menjadi satu di antara sekian urusan rakyat yang wajib diselenggarakan secara gratis dan berkualitas. Bersamaan dengan kebutuhan kesehatan dan juga keamanan.
Sistem ekonomi yang mantap dan stabil, menunjang diberlakukannya kebijakan itu. Harta kekayaan alam yang melimpah dipandang sebagai al-milkiyah ammah (harta publik) yang wajib dikelola negara untuk dikembalikan seutuhnya bagi sebesar-besarnya urusan dan kebutuhan rakyat.
Adapun terkait pajak, Islam memosisikan sebagai sumber pendapatan negara di saat ekstra ordinary. Ketika kas negara dalam kondisi kosong dan hanya dipungut secara insidental hanya bagi masyarakat muslim dari kalangan kaya saja. Ketika kas negara telah terisi kembali maka pajak pun dengan segera dihentikan.
Hal itu pernah diberlakukan secara gemilang selama kurun waktu yang sangat panjang, sekitar 14 abad.
Jika demikian, “no tax for education” hanya bisa diraih dalam sistem pemerintahan Islam. Sementara di alam kapitalisme ia hanya serupa isapan jempol semata. Wallahua’lam.