Oleh : Siti Aisah, S. Pd
(Arrahmah.com) – Ketua Umum Persaudaraan Alumni (PA) 212 Slamet Maarif merespons pernyataan Presiden Joko Widodo yang minta agar tak ada kelompok yang merasa paling agamis dan Pancasilais. Ia menyatakan bahwa : “Bagi seorang muslim yang iman kuat pasti akan mengedepankan agama di atas segalanya.
Yang harus diperhatikan serius oleh Jokowi itu justru yang ingin merubah Pancasila dengan Trisila atau Ekasila tapi merasa paling Pancasilais,”.
Ia pun menambahkan bahwa demokrasi tidak boleh bertabrakan dengan nilai agama. Jangan mengatasnamakan demokrasi untuk membuang nilai agama dari ketatanegaraan yang ada itu tak beda dengan komunis.
Dalam kesempatan yang berbeda, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, demokrasi di Indonesia adalah menjamin kebebasan dan menghargai hak orang lain. Jokowi tidak ingin ada orang yang merasa paling agamis dan Pancasilais.
“Demokrasi memang menjamin kebebasan, namun kebebasan yang menghargai hak orang lain. Jangan ada yang merasa paling benar sendiri, dan yang lain dipersalahkan. Jangan ada yang merasa paling agamis sendiri. Jangan ada yang merasa paling Pancasilais sendiri,” ujar Jokowi dalam sidang tahunan MPR dan sidang bersama DPR-DPD yang disiarkan saluran YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (14/8).
(https://news.detik.com/berita/d-5134202/pa-212-respons-pidato-jokowi-soal-jangan-ada-merasa-paling-agamis-pancasilais)
Pancasila masih menjadi kambing hitam demokrasi. Atas nama kebebasan yang telah dijamin oleh demokrasi. Agama dijadikan hanya sebagai pemanis pancasila. Padahal nyatanya demokrasi menjauhkan jarak antara agama dari pancasila.
Ya, sekularisme telah memusnahkan nilai pancasila yang sebenarnya.
Sistem demokrasi saat ini menjadikan kekuasaan sebagai ladang mencari sesuap nasi. Hal ini dikarenakan pada dasarnya demokrasi telah berselingkuh dengan korporasi (pengusaha).
Mengatasnamakan nilai pancasila sila keempat yang mengamanahkan kekuasaan sebagai wakil rakyat, sementara rakyatnya sendiri tidak pernah merasa terwakili dan tuntutannya acap kali dianggap anjing menggonggong kafilah berlalu.
Politik transaksional yang telah menjadi budaya dalam sistem demokrasi, menjadikan nilai-nilai pancasila hilang seperti ditelan bumi. Demi membalas jasa para penyumbang dana pemilu. Para wakil rakyat lebih mengutamakan suara korporasi. Sebab, pada dasarnya para kapitalislah yang sebenarnya sedang mereka wakili.
Tak hanya itu nilai pancasila sila pertama yang mengandung makna agar rakyat Indonesia menjadi warga yang beriman dan bertaqwa serta hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya Tuhan Yang Maha Esa. Namun pada nyatanya menjadikan agama Esa (baca: Islam) ini sebagai monster yang dianggap sebagai penghambat kemajuan bangsa. Bagaimana tidak ajaran Islam dikriminalisasi, dan diedit sedemikian rupa agar bisa sesuai dengan pesanan sang korporasi.
Selanjutnya nilai dari sila kedua pancasila yang mengandung makna bahwasanya nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mesti diterapkan. Namun pada faktanya negeri ini menerapkan liberalisasi yang dasarnya mengagungkan kebebasan.
Diantaranya adalah kebebasan berekspresi yang menjadi dalih pornografi berbungkus Hak Asasi Manusia (HAM) agar diterima dimasyarakat. Diapik dengan cantik, konsep menutup aurat pun (baca: Pemakaian Cadar) dianggap ciri dari teroris yang notabene dicap sebagai manusia yang tidak adil dan beradab.
Sila ketiga mengamanahkan persatuan Indonesia. Namun, rakyat indonesia mudah sekali diadu domba, hingga bercerai berai dan sulit untuk kembali disatukan. Ajaran Islam tentang khilafah yang akan mempersatukan bangsa, seperti bersatunya kaum aus dan khajraz atau kaum Muhajirin dan ansor yang bersatu dalam naungan Islam di Madinah. Namun ternyata, khilafah dianggap sebagai perusak nilai pancasila.
Sila terakhir, yaitu Sila kelima mengandung arti bahwa pemerintah wajib memberikan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, ketidakadilan dan kezoliman ala politik transaksional yang terjadi dinegeri ini telah jelas meniadakan nilai-nilai luhur pancasila.
Saat ini pancasila seperti dosa investasi bagi bangsa ini karena telah dititipkan kepada ideologi kufur Kapitalisme – Komunisme. Keduanya telah nyata mengkhianati Pancasila. Kapitalisme sekuler nyata bertentangan dengan Pancasila karena mengandung paham deisme.
Paham deisme ini muncul dan populer pada abad pertengahan setelah masa kegelapan dan di masa awal abad pencerahan (enlightment). Paham ini mempercayai bahwa Tuhan menciptakan alam semesta ini dengan kuasanya. Namun, Tuhan tidak ikut campur dalam kehidupan manusia karena Tuhan hanya sebatas menciptakan kehidupan, sedangkan kehidupan manusia itu sendiri mutlak merupakan kehendak manusia yang berdiri sendiri, (wikipedia.com).
Inilah yang disebut sebagai sekularisme. Padahal dalam nilai-nilai pancasila sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari peran para ulama dan umat Islam saat itu. Para pahlawan yang berada digaris terdepan memerdekakan negeri ini berjuang atas nama Islam. Sebab saat itu pancasila belum terbentuk. Islam adalah agama sempurna yang ada sejak berabad-abad sebelum NKRI bersatu dari sabang sampai Merauke.
Corak dasar sekulerisme adalah pemisahan antara agama dan kehidupan, mengabaikan peran hukum Allah sebagai sumber perundang-undangan. Agama hanya diletakkan sebagai urusan private. Jelas ideologi sekulerisme bertentangan dengan sila satu pancasila. Sementara ideologi komunisme ateis yang meniadakan eksistensi Tuhan otomatis bertentangan dengan Pancasila.
Perlu dipahami para pahlawan terdahulu seperti Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Patimura, Imam Bonjol, Hasyim Asyari berjuang melawan penjajah atas nama keimanan kepada Allah, bukan karena Pancasila. Apalagi semua penjajah seperti Belanda dan Portugis adalah kaum kafir, bukan dari kalangan muslim.
Hal ini karena Islam tidak mengenal Kolonialisme yang selalu di lakukan para penjajah kafir dalam penaklukan wilayah. Islam hanya mengenal kata Jihad yang berarti mengajak kepada aturan Islam. Jika tidak mau maka konsekuensinya adalah membayar jizyah (baca: pajak bagi non muslim yang mampu).
Sementara ideologi Islam, selain mengakui adanya Allah, juga mengakui hukum-hukum Allah sebagai sumber aturan kehidupan bagi seluruh umat manusia. Islam menjamin terwujudnya seluruh nilai kebajikan dan kemuliaan bagi seluruh manusia hal ini disebabkan Allah adalah Sang Pemilik dan Sang Pencipta. Maka selayaknya hanya Allah SWT yang membuat hukum dan aturan untuk kebaikan seluruh makhlukNya.
Maka tidak ada jalan lain hanya dengan menitipkan Pancasila kepada Islam dan membuang jauh ideologi kufur kapitalisme sekuler liberal dan komunisme-materialisme-ateis. Dengan Islam maka akan lahir masyarakat yang beriman dan bertaqwa dengan munculnya peradaban mulia yang membawa rahmat dan berkah bagi segenap kehidupan manusia. Islam sudah sempurna. Tak perlu ditambah-tambahi sistem yang lain.
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya [QS Al A’raf : 96].
Jadi Pancasila itu mau ikut yang mana? Tetap ikut ke kapitalisme-komunisme atau ikut Allah & RasulNya?
Wallahu ‘alam biashawab
*) Member Akademi Menulis Kreatif Jabar
(*/arrahmah.com)