TEHERAN (Arrahmah.id) — Setelah Revolusi Islam terjadi di Iran pada 1979, sejumlah pekerja seks perempuan dieksekusi oleh rezim baru dan rumah-rumah bordil ditutup. Namun, muncul upaya untuk melegitimasi penggunaan perempuan untuk seks saja, praktik ini dikenal dengan nama zawaj al mutaa – secara harafiah berarti ‘pernikahan untuk kenikmatan’.
Praktik ini, juga dikenal sebagai kawin kontrak, menentukan durasi pernikahan dan kompensasi yang diberikan kepada istri sementara, menjadi lebih umum terjadi.
Di bawah sistem Syiah, kawin kontrak diperbolehkan, dan tidak dianggap sebagai tindakan prostitusi. Praktik ini juga sangat jamak terjadi di kota-kota suci seperti Mashhad dan Qom, yang menjadi tujuan ziarah kaum Syiah dari seluruh dunia.
Berbagai video di media sosial menunjukkan pria-pria mencari seks di Mashhad, sementara pejabat kota berkilah mereka melakukan nikah sementara.
Sekarang, ada banyak sekali unggahan online yang menawarkan nikah mut’ah di Iran, termasuk di Telegram dan WhatsApp, dan mereka mengaku telah mendapatkan izin dari pemerintah.
Salah satu alasan yang mendorong naiknya harga-harga kebutuhan pokok yang mendasari tumbuhnya angka prostitusi adalah sanksi-sanksi ekonomi yang dijatuhkan oleh AS atas program nuklir Iran.
Sejak tahun lalu, inflasi di Iran naik 48,6%. Angka pengangguran juga naik dan bagi mereka yang sudah punya pekerjaan, upah mereka sangat sedikit.
Dengan semua alasan ini, jumlah pria berusia 20-35 tahun yang menjajakan seks pada perempuan dengan imbalan uang juga naik. Fenomena pekerja seks pria tersebar di kota-kota besar di Iran.
Salah satu di antaranya adalah Kamyar, yang berusia 28 tahun dan bekerja sebagai kasir supermarket. Dia tinggal bersama orang tuanya hingga tahun lalu dan tidak dapat membiayai hidup tanpa bantuan ayahnya. Sekarang, dia mampu menyewa apartemen di pusat Kota Teheran, dan berharap suatu hari nanti bisa pindah ke luar negeri.
“Saya menemukan pelanggan dari akun-akun media sosial saya,” dia mengaku, lansir BBC (18/3/2022).
“Perampuan-perempuan ini biasanya berumur 30-an dan 40-an tahun. Mereka memperlakukan saya dengan baik, membayar mahal, dan saya selalu menginap di rumah mereka. Dari mulut ke mulut, saya mendapatkan banyak klien,” ungkapnya.
Kamyar adalah seorang insinyur teknik terlatih, namun dia tidak melihat masa depan di bidang yang disukainya ini.
“Saya selalu ingin menjadi insinyur. Tapi di luar sana, tidak ada pekerjaan untuk saya,” katanya.
“Saya pernah jatuh cinta pada seorang gadis, tapi kami tidak direstui untuk menikah karena saya tidak punya pekerjaan tetap. Saya tidak bangga dengan pekerjaan yang saya lakoni sekarang. Tidur dengan orang asing demi uang bukanlah mimpi saya saat saya tumbuh.
“Tentu saja, saya merasa malu. Tapi dengan ini, saya bisa membiayai hidup. Saya berada di negara di mana satu-satunya masa depan yang terlihat bagi saya adalah kesengsaraan.”
Hal serupa juga diakui Neda, seorang perempuan yang telah bersatus janda.
“Saya malu dengan apa yang saya perbuat, tapi pilihan apalagi yang saya punya?” kata Neda, seorang janda di Teheran.
Di siang hari, Neda bekerja sebagai penata rambut, tapi di malam hari dia melakukan pekerjaan keduanya. Dia mengaku terpaksa harus menjajakan seks, hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Saya hidup di negara di mana perempuan tidak dihormati, ekonomi runtuh, dan harga-harga melambung tinggi nyaris setiap hari,” dia melanjutkan.
“Saya ibu tunggal. Saya harus mengurus anak saya. Dengan ini saya mendapatkan banyak uang, dan sekarang saya berencana membeli sebuah rumah kecil di kota. Ini kenyataan menyedihkan dalam hidup saya. Saya secara harafiah harus menjual jiwa saya.”(hanoum/arrahmah.id)