(Arrahmah.com) – Banyak masalah yang belum terselesaikan di negeri ini, ditambah meningkatnya korban Covid karena penanganan yang tidak maksimal, menjadikan masyarakat kecewa. Terlihat kegagalan penguasa dalam menangani wabah. Masyarakat dipaksa menelan pil pahit dari setiap kebijakan yang dikeluarkannya. Mungkin sebuah kalimat ini yang dirasakan oleh masyarakat saat ini.
Seperti diketahui, pemerintah tampaknya akan segera melonggarkan aktivitas sosial, serta ekonomi dan bersiap kembali beraktivitas dengan skenario “new normal”. Dalam upaya menekan penyebaran pandemi Covid-19, Presiden Jokowi menyebut sudah saatnya, masyarakat dapat hidup berdamai dengan Covid-19. “Artinya, sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan virus ini untuk beberapa waktu kedepan,” (kompas.com, 07/5/2020).
Hal ini kemudian mendapatkan respon kritik dari beberapa tokoh. Salah satunya, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menyatakan skenario new normal yang ingin diterapkan pemerintah, terutama disektor bisnis maupun layanan publik dianggap masih terlalu dini. Sebab, pemerintah dinilia belum mampu untuk mengendalikan penyebaran Covid-19 mengingat kurva positif belum melandai. Padahal, Word Heart Organization (WHO) menganjurkan sebuah syarat bahwa new normal hanya boleh dilakukan ketika suatu negara sudah berhasil mengendalikan penyebaran Covid-19. (Tribunnwesmaker.com, 27/05/2020).
Dengan memberlakukan kondisi new normal, secara tidak langsung pemerintah mengumumkan kekalahannya dalam menghadapi pandemi ini. Negara tak memiliki nafas yang panjang dalam bertahan dari serangan Corona-19.
Epidemiologi FKM Universitas Hasanuddin Ridwan Amiruddin menilai, rencana penerapan hidup normal baru atau new normal life yang dipilih pemerintah terkesan prematur. Pasalnya, penerapan new normal diberlakukan ketika kasus virus corona Covid-19 di tanah air masih tinggi. (kanalkalimantan.com 29/5).
Ridwan menjabarkan, mengapa ia mengatakan prematur, lantaran Covid-19 di Indonesia masih belum mencapai puncaknya, angkanya terus bertambah signifikan setiap harinya. Padahal, WHO sendiri telah menetapkan 6 kriteria dalam menentukan negara tersebut bisa menerapkan new normal, salah satu dari kriteria tersebut adalah kurvanya sudah melandai.
Bagaimana bisa negara ini menentukan sikap, jika data saja masih bermasalah. Sehingga, masalah dari kacaunya data, jika tidak mau disebut kebijakan “kebijakan yang tak berbasis data akurat” yaitu langkah yang ditempuh pastinya tidak akan menyelesaikan masalah.
New normal diberlakukan, pun menyampingkan pendapat sains. Segala sesuatu yang menghalangi kepentingan ekonomi akan diabaikan. Hal ini telah membuat kekhawatiran para ahli memuncak, khususnya wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia atau IDI, Muhammad Adib Khumaidi, berpendapat bahwa saat ini terlalu cepat untuk mengambil langkah new normal. Pemerintah harus memiliki indikator dan kriteria berbasis data penanganan corona secara medis dan epidemiologis. (financialExpress.com).
Masih lekat dalam benak kita, bagaimana penerapan new normal Korea Selatan pada 6 Mei 2020 lalu mencabut pembatasan sosial dan menerapkan konsep new normal ini. Namun, kebijakan tersebut yang diterapkan Korea Selatan setelah kurva infeksi Covid-19 menurun nyatanya tidak bisa bertahan lama. Alhasil, kebijakan itu terbukti gagal dimana lonjakan infeksi virus Covid-19 terbesar terjadi pada Kamis (29/5).
Dengan pemberlakuan new normal, sesungguhnya pemerintah saat ini, bahkan dunia telah menyerah mengahapi virus ini. Lumpuhnya ekonomi Indonesia akibat pandemi membuat pemerintah sangat kewalahan, apalagi sejak diterapkannya PSBB, pengeluaran negara menjadi lebih besar daripada pemasukan. Demi menyelamatkan ekonomi yang porak-poranda diterjang Corona, nyawa rakyat pun tidak ada harganya. Sehingga, prioritas utama pemerintah adalah menstabilkan kembali perekonomian waluapun jutaan nyawa rakyat menjadi taruhannya.
Negara seakan semakin tidak peduli terhadap kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat. Di saat bersamaan setiap orang harus berjuang lebih berat lagi mengurusi kehidupannya, berhadapan dengan keganasan wabah saat ini.
Inilah wajah kapitalisme yang sesungguhnya, tidak akan pernah kita jumpai kebaikan didalamnya, selain kepentingan ekonomi. Kepentingan akan materi dan harta benda jadi tujuan utama para penganut kapitalisme.
Bagi peradaban kapitalisme, penerapan konsep jahat tersebut sah-sah saja, sebab aspek kemanusiaan harus tunduk pada kepentingan para kapital. Rakyat selalu dikorbankan, bahkan di tengah krisis dan wabah ini pun para kapitalis tidak mau rugi dan tetap berusaha meraup sebesar-besarnya keuntungan.
Sejatinya, penerapan new normal bukan malah menyelamatkan rakyat dari keterpurukan, melainkan menambah kesengsaraan rakyat. Sehingga new normal dianggap sebagai kebijakan gagal, bahkan fatal. Oleh karenanya, kebijakan new normal tidaklah tepat, yang tepat adalah kebijakan lockdown total dengan kemandiriaan ekonomi sebagai penopannya.
Kepentingan kesehatan dan nyawa rakyat diabaikan. Seandaix awal wabah menyebar diberlakukan locdown dengan dipeenuhnya kebutuhan mayarakat tentu kondisi ini bisa segera diatasi. Hal ini tidak bisa terjadi dalam kapitalis. Selalu kepentingan materi yang diutamakan, dan rakyat jadi korban. Ini menjadi bukti bahwa sistem ini gagal dan tidak mampu menyelesaikan persoalan umat manusia.
Hanya Islamlah umat manusia dapat berharap untuk terbebas dari ancaman pandemi Covid-19, sebab Islam menjadikan nyawa manusia sebagai sesuatu yang sangat berharga yang wajib dilindungi oleh negara. Bukan sebagai komuditas yang berharga keuntungan materi dari pelayanan kesehatan. Karena kesehatan dalam Islam adalah hak rakyat, dan pemimpin wajib memenuhinya dengan murah bahkan gratis.
Islam adalah agama sempurna dan paripurna. Setiap rincian di dalamnya memang ditujukan untuk memberikan konstribusi terhadap perdaban dunia. Akan tiba masanya sains dan teknologi kembali berjaya di masa kepemimpinan Islam dan sains diberikan porsi dalam pengambilan kebijakan. “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan di antara kalian manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.
Sebagaimana yang pernah dilakukan Umar bin Khathab menghadapi wabah tha’un di Syam. Khalifah dengan cepat mengisolasi wilayah terdampak serta memenuhi kebutuhan rakyat, maka wabah tak menyebar keluar.
Kebijakan yang tepat akan menjadikan kehidupan rakyat tenang dan tak diliputi kecemasan. Rakyat akan mencintai pemimpinnya, karena mengurusinya dengan sepunuh hati. Tak ada untung rugi, baginya menjalankan amanah hanya mengharapkan ridho-Nya. Wallahu a’lam bi shawab.
Oleh: Hamsia (Komunitas peduli umat)
(ameera/arrahmah.com)