(Arrahmah.com) – Pemerintah terus mewacanakan penerapan konsep new normal life. Yakni pola hidup adaptif terhadap ancaman virus Covid-19 yang ditengarai baru akan benar-benar hilang dalam waktu yang sangat lama.
Di beberapa tempat, konsep ini sudah mulai diterapkan dalam bentuk pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pusat-pusat kegiatan ekonomi, pusat-pusat ibadah, sarana dan prasarana transportasi, sudah mulai berjalan meski dengan berupaya menerapkan protokol kesehatan.
Persiapan yang dilakukan mulai dari tata cara beribadah sampai langkah masuk ke restoran akan diatur. Provinsi Bali, Yogya, dan Kepulauan Riau jadi proyek percontohan pertama.Persiapan protokol new normal ini disampaikan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, usai rapat kabinet dengan Presiden Joko Widodo, Senin (18/05).
Menurut peneliti epidemiologi dari Eijkman -Oxford Clinical Research Unit Henry Surendra terdapat empat hal yang harus dipenuhi sebelum melakukan pelonggaran pembatasan sosial.
Pertama, laju kasus baru sudah turun secara konsisten, atau angka reproduksi (R0) kasus turun signifikan misalnya sudah sampai dengan kurang dari sama dengan satu.
Kedua adanya tren penurunan populasi berisiko dalam hal ini penurunan PDP, ODP, dan OTG.
“Ketiga, jumlah dan kecepatan tes sudah memadai, yaitu kapasitas tes PCR, jadi minimal sudah tidak ada lagi tumpukan antrean sample di laboratorium dan stok reagen aman untuk 1-2 bulan ke depan.
“Terakhir adalah kesiapan sistem kesehatan. Tidak hanya kapasitas rumah sakit yang siap menampung jika terjadi lonjakan kasus, tapi juga kapasitas tim di lapangan dalam melakukan deteksi dini, pelacakan kasus dan kontak, serta pelaporan secara real time,” kata Henry.
Ketika empat syarat tersebut belum terpenuhi maka keputusan melakukan pelonggaran PSBB akan sangat berbahaya karena berpotensi meningkatkan risiko penularan Covid-19 di masyarakat.
Apalagi, kata Henry, berdasarkan penelitian di luar negeri bahwa sekitar 80% kasus Covid-19 adalah kasus infeksi tanpa gejala.
Sementara itu, direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, menilai rencana pengurangan atau pelonggaran aturan pembatasan sosial yang dibungkus dalam bentuk protokol new norma ladalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kelompok bisnis, tanpa mempertimbangkan sisi kesehatan masyarakat.
Polemik new normal akan terus berkembang sekiranya pemerintah memberlakukan kebijakan tersebut karena landasan keliru. Aspek ekonomi serta permintaan kapitalis yang merasa terganggu jika pembatasan sosial terus dilakukan, menjadi semakin kentara saat ini. Hal ini diperparah dengan lepas tangannya negara terhadap dampak ekonomi yang kian kentara saat pemberlakuan PSBB. Akhirnya masyarakat yang semakin merasa susah mau tidak mau mengikuti alur new normal ini karena alasan ekonomi. Begitulah sejatinya jika kapitalisme liberal menjadi kendali dalam pengambilan kebijakan. Berbagai cara dilakukan meski sejatinya wabah masih mengintai di hadapan.
Penerapan konsep new normal life dalam pandangan Islam?
Setidaknya ada empat hal yang harus kita perhatikan dengan seksama, sehingga kita tidak salah dalam mengambil keputusan, yang satu dengan lainnya sesungguhnya saling berkaitan, bahkan bisa dikatakan bermuara pada satu hal.
(1) Kaidah as-Sababiyah
Syekh Abdul Karim as-Saamiy dalam kitabnya As-Sababiyah, Qoidatu Injazi al’Amali wa Tahqiqi al Ahdafi menyatakan bahwa as–sababiyah adalah upaya mengaitkan sebab-sebab fisik dengan akibat-akibatnya yang juga bersifat fisik dalam rangka mencapai target dan tujuan tertentu.
Upaya tersebut dilakukan dengan cara mengetahui seluruh sebab yang mampu menghantarkan pada tercapainya tujuan serta mengaitkannya dengan seluruh akibat secara benar.
Dalam sebuah hadits disebutkan: Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi (Saw.) yang hendak meninggakan untanya. Ia berkata, “Aku akan membiarkan untaku, lalu aku akan bertawakal kepada Allah.” Akan tetapi Nabi (Saw.) bersabda, “Ikatlah untamu dan bertawakkalah kepada Allah.”
Dengan kata lain perintah untuk melaksanakan suatu aktivitas berarti perintah untuk menjalani sebab-sebab dan merealisasikan qa’idah sababiyah, baik berimplikasi pada perolehan pahala –yaitu ketika menjalankan kewajiban maupun amalan sunah– atau tidak berimplikasi sedikit pun –yaitu ketika menjalankan amalan mubah.
Hal ini dilakukan agar kita tidak terjebak pada kesia-siaan dan rutinitas. Ketika seseorang berpikir tentang dan usaha untuk mewujudkan tujuan tersebut, berarti dia telah menjalani prinsip as-sababiyah dalam aktivitasnya.
(2) Memperhatikan Pendapat Ahli
Setiap muslim, ketika ia hendak melakukan sesuatu, sesungguhnya ia dituntut untuk memahami terlebih dahulu apa hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan tersebut.
Apalagi seorang pemimpin atau penguasa muslim, maka sesungguhnya ia pun terikat dengan aturan Allah ketika hendak membuat kebijakan.
Selain itu, Rasulullah SAW sebagai pemimpin, telah mencontohkan kepada kita agar memperhatikan pendapat orang-orang ahli atau ahlil khubroh jika itu berkaitan dengan pemikiran, strategi, atau pada hal-hal yang diperlukan adanya pendapat ahli.
Salah satu contohnya adalah berkaitan dengan penentuan markas kaum muslimin ketika perang Badar, maka Rasulullah merujuk pada pendapat sahabat Khubab. (Syakhshiyah Islamiyyah jilid 1, karya Syekh Taqiyyuddin An-Nabhaniy).
Dan ketika pun seorang penguasa merujuk kepada pendapat ahli, tidak berarti citra atau prestisenya turun, justru terpuji karena ia merujuk pada yang benar dan tentunya akan menyelamatkan rakyatnya.
(3) Memperhatikan hukum atau kaidah tentang dharar (kemudaratan)
Syariat Islam telah melarang seseorang mengerjakan sesuatu aktivitas yang membahayakan dirinya sendiri atau membahayakan orang lain, terutama saudaranya sesama muslim, baik berupa perkataan atau perbuatan, tanpa alasan yang benar.
Hadis Rasulullah (Saw.): “Janganlah kalian meminum dari air sumur kaum Tsamud sedikitpun, dan janganlah kalian mengambil airnya untuk wudu dan salat, dan adonan yang telah kalian aduk berikanlah kepada unta. Janganlah kalian makan sedikit pun darinya. Dan pada malam ini janganlah seseorang keluar kecuali bersama temannya.”
Air secara umum hukumnya mubah untuk dimanfaatkan, dan air sumur bangsa Tsamud pada asalnya adalah bagian dari air yang secara umum dimubahkan. Akan tetapi karena ia mengandung dharar, maka air sumur bangsa Tsamud secara khusus diharamkan untuk dimanfaatkan. Sedangkan air (sumur lainnya) secara umum tetap berada dalam kemubahannya.
(4) Yakin akan qadha Allah dan bertawakal pada–Nya
Keimanan terhadap qadha akan berpengaruh positif terhadap aktivitas manusia dalam keadaaan apa pun.
Keyakinan tersebut akan mendorongnya untuk melakukan aktivitas, bukan malah menjadikannya sebagai fatalis. Karena selama sebab-sebab yang menghantarkan terhadap tujuan itu masih berada dalam lingkaran yang dikuasainya, dia masih bisa untuk mengupayakannya.
Demikianlah tuntunan Islam untuk kita semua –siapa pun kita– mengharuskan kita tunduk dan patuh terhadap syariat. Islam dengan rinci menuntun kita untuk merujuk kepada setidaknya empat poin ini ketika kita hendak bersikap berkaitan dengan rencana new normal life ini.
Terlebih kepada penguasa atau kepala negara, ketika hendak mengambil kebijakan ini, sudah seharusnya ia memperhatikan bahkan bertanya kepada ahlil hubrah ‘orang-orang ahli/pakar’ terkait masalah ini, dalam hal ini tenaga medis, ahli epidemiologi, dan sebagainya, seharusnya mempertimbangkan dengan saksama apakah akan memberikan kemudharatan pada rakyatnya atau tidak.
Demikian halnya umat Islam, sungguh pun jika penguasa tetap menurunkan kebijakan new normal, dengan alasan untuk memulihkan ekonomi tanpa memperhatikan bagaimana nasib nyawa rakyatnya, maka terkait dengan aktivitas individu sesungguhnya kita pun sudah bisa bersikap dengan merujuk kepada pendapat ahli. Karena mereka lebih berkompeten dalam hal ini, bagaimana pun kita harus menjaga diri dari kebinasaan dan kemudaratan.
Kita pahami dengan benar, bahwa kejadian ini adalah ketetapan Allah, hanya saja kita tidak bersikap pasrah atau fatalis, tetapi sudah seharusnya kita mempertimbangkan dengan matang.
Menyiapkan segala sesuatunya dengan maksimal dan seksama, memperhatikan pendapat orang-orang yang ahli di bidang kesehatan dan sebagainya yang berkaitan dengan pandemi ini. Menimbang baik buruknya, apakah justru menimbulkan kemudaratan bagi kita atau keluarga kita.
Di samping itu, setiap muslim harus menyadari bahwa terjadinya pandemi dalam waktu yang lama sudah seharusnya kita yakini bahwa ini semua adalah dengan izin Allah, sebagai musibah, ujian, dan teguran sayangnya Allah untuk kita semua.
Yakin bahwa ini adalah ketetapan Allah yang akan menjadikan kita bersabar menghadapi pandemi ini, sambil terus berupaya keras dan maksimal menjalani semua aktivitas-aktivitas kita, melaksanakan peran-peran kita dengan baik sebagai ibu, istri, anak, ataupun bagian dari masyarakat, walaupun saat ini sebagian besar aktivitas kita lakukan di rumah dengan tetap memperhatikan kesehatan diri dan keluarga kita. Kita yakin, bahwa banyak sekali hikmah yang Allah berikan bagi kita atas kejadian ini.
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Bukti-buktinya sudah sangat jelas, berdasarkan data-data yang ada, kasus Covid-19 di Indonesia masih cenderung meningkat. Jangan sampai kebijakan new normal life justru memunculkan datangnya gelombang kedua yang semakin besar bahayanya bagi umat. Naudzu billahi min dzalik.
Oleh: Ima Husnul Khotimah
(*/arrahmah.com)