GAZA (Arrahmah.id) – Mantan kepala unit Mossad Hostages and Missing in Action, Rami Igra, menyatakan bahwa proposal pertukaran tahanan terbaru ‘Israel’ kepada Hamas adalah “penawaran paling sulit yang pernah diajukan” dan “tidak akan diterima” oleh kelompok perlawanan tersebut. Pernyataan ini disampaikannya dalam wawancara dengan Radio 103 FM pada Rabu (16/4/2025).
“Pertanyaan terbesar, dan mungkin dari situ kita akan mengerti di mana posisi kita, adalah mengapa Negara ‘Israel’ mengajukan usulan ini, yang jelas tidak akan diterima oleh siapa pun,” kata mantan pejabat senior Mossad tersebut. “Mereka memasukkan isu perlucutan senjata di dalamnya, serta hari setelahnya, sementara jelas bahwa Hamas telah berupaya sejak awal untuk bertahan hidup dan tidak akan menyetujuinya.”
Ia menambahkan bahwa ‘Israel’ mengajukan usulan ini “karena Netanyahu tahu bahwa waktunya hampir habis, bukan untuk para prajurit yang ditawan, tetapi untuk dirinya sendiri. Trump dengan jelas mengatakan, selama konferensi pers di mana Netanyahu dibiarkan begitu saja, bahwa perang harus berakhir, dan akan segera berakhir.”
Igra menekankan bahwa penting untuk mempertimbangkan bahwa Trump akan segera melakukan perjalanan ke Arab Saudi, yang mengusulkan investasi sebesar $1,3 triliun di AS, dan yang menuntut solusi untuk pembentukan negara Palestina guna menormalisasi hubungan dengan ‘Israel’.
“Mengingat semua keadaan ini, jelas bagi Netanyahu bahwa sebagaimana mereka memaksanya untuk melaksanakan tahap pertama [dari gencatan senjata dan perjanjian pertukaran tahanan], mereka akan memaksanya untuk melaksanakan tahap kedua, yang akan mencakup solusi Mesir, yang menetapkan aturan komite administratif di Gaza.” Kami telah kalah dalam pertempuran ini, dan kami tidak punya pilihan lain, tambahnya.
“Masalah ini bergerak cepat ke Iran, dan Netanyahu sibuk mengancam Iran dengan retorika seperti “penghancuran rezim ala Libya”, tapi AS sama sekali tidak menghiraukan. Sementara itu, krisis Gaza yang sebenarnya mendesak justru terbengkalai. Kita harus menyadari bahwa Netanyahu tidak menyiapkan skenario pemerintahan alternatif di Gaza setelah menghancurkan Hamas. Dia membuang-buang waktu satu setengah tahun hanya demi menghindari keputusan sulit yang bisa menjatuhkan pemerintahan koalisinya.”
AS Pemegang Kendali Sebenarnya
Orang Amerika, katanya, adalah mereka yang memutuskan. “Trump sibuk dengan seratus urusan berbeda, tapi ujung-ujungnya dia ingin menang Hadiah Nobel Perdamaian dengan mencapai normalisasi hubungan ‘Israel’-Arab Saudi sebagai prestasi politik. Netanyahu cuma ingin bertahan berkuasa – tapi itu akan sulit baginya. Mau tidak mau dia akan terpaksa terima fase kedua, tekanan AS membuatnya tak punya pilihan lain. Pelajaran dari insiden di Hungaria, ingat bagaimana Netanyahu meninggalkan Hungaria dalam perjalanan ke Trump, dia pulang seperti anak yang baru dihajar Trump.”
Realita Pahit yang Harus Diterima ‘Israel’
Realita pahit yang harus diterima ‘Israel’ adalah bahwasanya AS pemegang kendali sebenarnya, kebijakan Timur Tengah ditentukan Washington, bukan Jerusalem. Netanyahu terjepit antara tuntutan sekutu ultra-kanan dan tekanan AS yang tak terbendung dan normalisasi dengan Saudi menjadi taruhannya. Trump akan paksa ‘Israel’ berkompromi, apapun sikap Netanyahu. Pada akhirnya ini bukan lagi soal apa yang ‘Israel’ inginkan, tapi apa yang AS perintahkan. (zarahamala/arrahmah.id)