MAJDAL SHAMS (Arrahmah.id) – Penduduk kota Majdal Shams di Dataran Tinggi Golan yang diduduki ‘Israel’ pada Senin (29/7/2024) mengejek dan mengusir Perdana Menteri ‘Israel’ Benjamin Netanyahu, yang sedang mengunjungi kota Druze tersebut menyusul serangan mematikan yang menewaskan 12 anak-anak.
Penduduk setempat terdengar meneriakkan “Pembunuh! Pembunuh!”, “Keluar, penjahat perang” dan “Kamu tidak diterima di sini!” saat Netanyahu, ditemani oleh kepala dinas intelijen ‘Israel’ Shin Bet, tiba di lokasi pembantaian Sabtu.
“Wahai kaum Zionis, keluarlah dari tanah Arab yang merdeka ini”, seru yang lain.
Warga Majdal Shams juga membawa poster bertuliskan “Penjahat perang” dan “Hentikan pembunuhan anak-anak” saat Netanyahu muncul.
Netanyahu bukan satu-satunya pejabat yang merasakan kemarahan warga Majdal Shams. Menteri Keuangan yang ekstremis, Bezalel Smotrich, dicemooh dan diusir oleh para pelayat saat ia mencoba menghadiri upacara pemakaman.
“Kamu pembunuh, keluar dari sini!”, “Dia seharusnya tidak datang ke sini sama sekali” “Dia datang untuk menari di atas darah anak-anak kita”, orang-orang terdengar berteriak.
Netanyahu, yang tidak mengakui para demonstran, bersumpah ‘Israel’ akan memberikan “tanggapan keras” terhadap tembakan roket yang menewaskan 12 anak.
“Anak-anak ini adalah anak-anak kita… Negara ‘Israel’ tidak akan, dan tidak bisa, membiarkan ini berlalu. Respon kami akan datang dan akan lebih keras,” kata Netanyahu di lokasi serangan, menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh kantornya.
Majdal Shams menjadi pusat perhatian setelah serangan mematikan yang menewaskan 12 anak laki-laki dan perempuan berusia antara 10 dan 16 tahun, setelah sebuah roket menghantam lapangan saat anak-anak itu bermain sepak bola.
‘Israel’ menyalahkan Hizbullah, meskipun kelompok Lebanon itu telah membantah keterlibatan apa pun dan menuding ‘Israel’.
Serangan terhadap Majdal Shams telah memicu kekhawatiran akan terjadinya baku tembak lebih lanjut antara Hizbullah dan ‘Israel’, yang memicu eskalasi yang lebih besar di wilayah yang sudah bergejolak itu.
Keduanya terlibat dalam baku tembak lintas perbatasan hampir setiap hari, satu hari setelah serangan militer mematikan ‘Israel’ di Jalur Gaza meletu pada 7 Oktober.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri rezim Suriah mengatakan ‘Israel’ bertanggung jawab atas serangan tersebut. Dalam sebuah pernyataan pada Ahad (28/7), kementerian tersebut mengatakan: “Sebagai bagian dari upayanya untuk meningkatkan situasi di wilayah kami dan memperluas lingkaran agresi terhadapnya, entitas pendudukan ‘Israel’ melakukan kejahatan keji kemarin di kota Majdal Shams di Dataran Tinggi Golan Suriah, yang diduduki sejak 1967, dan kemudian menyalahkan Perlawanan Nasional Lebanon atas kejahatannya.”
“Rakyat kami di Dataran Tinggi Golan Suriah yang diduduki, yang selama puluhan tahun menolak pendudukan ‘Israel’ untuk melepaskan identitas Arab Suriah mereka, tidak akan tertipu oleh kebohongan dan tuduhan palsu pendudukan tersebut terhadap perlawanan nasional Lebanon,” tambah kementerian tersebut.
Setidaknya 24 orang dari wilayah yang dianeksasi ‘Israel’ telah tewas sejak itu, dengan lebih dari 100 warga sipil Lebanon tewas, di samping lebih dari 300 pejuang Hizbullah.
Di ‘Israel’, 10 warga sipil, seorang pekerja pertanian asing, dan 20 tentara tewas.
Ribuan pelayat berkumpul di kota yang mayoritas penduduknya beragama Druze untuk memakamkan anak-anak tersebut pada Ahad dan Senin (29/7).
Para lelaki berpakaian hitam dan memakai topi putih dengan hiasan merah di atasnya mengusung peti jenazah yang dilapisi kain putih, para remaja putra secara simbolis mengusung bola sepak di atas kepala mereka, dan para wanita menangis sembari memeluk anak-anak.
“Sudah cukup. Kami berharap perang akan berakhir. Sudah cukup tragedi dan pertumpahan darah ini,” kata seorang wanita kepada AFP .
Siapakah penduduk Druze di Dataran Tinggi Golan?
Populasi Druze di Dataran Tinggi Golan yang diduduki sebagian besar mengidentifikasi diri sebagai warga Suriah, dengan sebagian besar menolak menerima kewarganegaraan ‘Israel’ setelah negara itu merebut dua pertiga wilayah dari Suriah pada 1967 dengan Arab-‘Israel’ pada tahun yang sama. Wilayah itu kemudian dianeksasi secara resmi pada 1981, dalam sebuah langkah yang tidak diakui oleh masyarakat internasional, kecuali Amerika Serikat di bawah Presiden latar belakang perang Donald Trump sejak 2019.
Namun, penduduk kota tersebut berstatus penduduk di ‘Israel’.
Sejumlah besar penduduk Druze di Dataran Tinggi Golan telah memperoleh kewarganegaraan ‘Israel’ sejak 2011, karena kekhawatiran terhadap Perang Saudara Suriah.
Meskipun berstatus demikian, penduduk Dataran Tinggi Golan telah menjadi sasaran kebijakan diskriminatif seperti alokasi tanah dan air, karena meningkatnya permukiman ‘Israel’ yang menghalangi akses ke sumber air. Sekitar 25.000 warga Yahudi ‘Israel’ tinggal di Dataran Tinggi Golan yang diduduki saat ini, di 30 permukiman.
Selain itu, UUD Negara-Bangsa Yahudi tahun 2018 yang diajukan oleh parlemen, yang secara resmi menetapkan ‘Israel’ sebagai “rumah bersejarah bagi orang-orang Yahudi” dengan “Yerusalem bersatu” sebagai ibu kotanya, juga memicu kekhawatiran akan adanya diskriminasi lebih lanjut di kalangan Druze.
Undang-undang tersebut juga menyatakan bahwa “hak untuk menjalankan penentuan nasib sendiri secara nasional” di ‘Israel’ adalah hak yang unik bagi orang-orang Yahudi, dan menetapkan bahasa Ibrani sebagai satu-satunya bahasa resmi ‘Israel’, sehingga menempatkan bahasa Arab ke dalam “status khusus”.
Wilayah perbukitan yang berbatasan dengan Yordania dan Lebanon itu dianggap sebagai wilayah pendudukan berdasarkan hukum internasional dan resolusi Dewan Keamanan PBB. Suriah telah berulang kali menuntut agar wilayah itu dikembalikan. (zarahamala/arrahmah.id)