TEL AVIV (Arrahmah.com) – Perdana Menteri “Israel” Benjamin Netanyahu memperingatkan Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada Rabu (23/4/2014) dengan mengatakan bahwa Abbas harus memilih antara berdamai dengan “Israel” atau Hamas. Pernyataan Netanyahu itu datang saat Abbas melakukan pembicaraan dengan Hamas, sebagaimana dilansir oleh WordBulletin.
Delegasi dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan perwakilan Hamas mengadakan pembicaraan bersama untuk memperbaiki hubungan diantara mereka pada Selasa (22/4) di Jalur Gaza. Pembicaraan tersebut merupakan pembicaraan pertama mereka sejak konflik 2007 di mana tentara yang setia pada Abbas kehilangan kendali atas wilayah Gaza yang telah jatuh ke tangan Hamas.
Tawaran rekonsiliasi itu bertepatan dengan pertemuan antara Fatah dan negosiator “Israel” yang mencoba untuk memperpanjang pembicaraan damai yang disponsori AS melampaui batas waktu 29 April. Sumber dari kedua belah pihak mengatakan bahwa tetap terjadi perbedaan pendapat yang kuat setelah mereka melakukan pembicaraan di Yerusalem.
“Apakah dia (Abbas) menginginkan perdamaian dengan Hamas atau perdamaian dengan “Israel”?” Kata Netanyahu, dalam sambutannya kepada wartawan pada pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Austria Sebastian Kurz.
“Anda dapat memilih salah satu tetapi tidak yang lain. Saya berharap dia memilih perdamaian dengan “Israel”. Sejauh ini dia tidak melakukannya.”
Juru bicara Abbas, Nabil Abu Rdeineh, mengatakan bahwa persatuan Palestina adalah masalah internal.
“Abbas memilih perdamaian dan persatuan rakyat Palestina,” kata Abu Rdeineh. “Pilihan mempersatukan rakyat Palestina memaksa perdamaian, dan tidak ada kontradiksi apapun antara rekonsiliasi dan negosiasi.”
Lieberman, dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh juru bicaranya, mengatakan bahwa Abbas tidak bisa berdamai dengan kedua belah pihak, Abbas harus memilih berdamai dengan “Israel” atau Hamas, sebuah organisasi “teroris” yang ingin menghancurkan “Israel“.
Pejabat Palestina yang menghadiri pertemuan pada Selasa (22/4) mengatakan telah terjadi “kesepakatan prinsip” untuk membentuk “pemerintahan ahli“, sebuah istilah untuk kabinet yang dikelola oleh teknokrat bukan politisi, mungkin dalam lima minggu ini.
Sejak tahun 2011, Hamas dan Fatah gagal untuk menjalankan kesepakatan bersatu akibat pertikaian dalam pembagian kekuasaan dan juga konflik dengan “Israel”. Hanya sedikit warga Palestna yang mengharapkan terobosan dalam kebuntuan perundingan kedua kelompok yang semakin memperburuk kondisi politik Palestina.
PM Netanyahu menuding Presiden Abbas telah memberikan permintaan yang tidak bisa diterima. Menurutnya, Abbas meminta “Israel “untuk membekukan aktivitas pemukiman di Yerusalem dan fokus pada penetapan demarkasi Palestina.
“Kami berusaha untuk memulai kembali perundingan dengan Palestina. Setiap kali kami mencapai poin tertentu, muncul syarat tambahan yang dia (Abbas) tahu “Israel” tidak akan bisa mengabulkan,” tandasnya.
Kerry mencoba menghidupkan kembali pembicaraan damai “Israel”-Palestina pada bulan Juli setelah absen hampir tiga tahun, dengan tujuan untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama puluhan tahun dan mendirikan sebuah negara Palestina yang berdampingan dengan “Israel”.
Negosiasi jatuh ke dalam krisis bulan ini ketika “Israel” menolak untuk membebaskan gelombang terakhir dari tahanan Palestina kecuali setelah “Israel” mendapat jaminan bahwa Palestina akan melanjutkan pembicaraan sampai melampaui akhir April.
Setelah “Israel” gagal untuk membebaskan para tahanan, Abbas menanggapi dengan menandatangani 15 perjanjian internasional, termasuk Konvensi Jenewa tentang pelaksanaan perang dan pendudukan. “Israel” mengecam langkah itu sebagai langkah sepihak terhadap “kehidupan bernegara” kedua belah pihak.
(ameera/arrahmah.com).