Ayman Alamodi berumur 18 tahun ketika ia mulai bekerja sebagai nelayan di Jalur Gaza. Tapi itu 30 tahun yang lalu, jauh sebelum pengepungan Mesir-“Israel” di wilayah Palestina yang membuat hampir tidak mungkin bagi bapak empat anak itu untuk menyediakan makanan bagi keluarganya.
“Pengalaman saya dari perang yang sedang berlangsung, ini menjadi kian memburuk, intensitas serangan udara dan kehancuran telah memaksa saya untuk tinggal di rumah,” ungkap Alamodi kepada Al Jazeera dan menjelaskan bahwa para nelayan hampir
tidak mungkin melakukan pekerjaannya di bawah rentetan serangan udara dan penembakan angkatan laut di lepas pantai Gaza.
Setidaknya 1.922 warga Palesina teah gugur, 9.806 lainnya terluka sejak operasi militer “Israel” di Jalur Gaza yang dimulai pada 8 Juli lalu. 64 tentara Zionis dilaporkan tewas bersama dengan dua warga “Israel” dan seorang pekerja Thailand, menurut klaim otoritas Zionis “Israel”.
72 jam gencatan senjata yang dimulai pada Selasa, memberikan kesempatan singkat untuk nelayan setempat, namun Alamodi mengatakan ia tidak dapat menangkap apa-apa ketika ia melaut. Alamodi berbagi perahu dengan sembilan nelayan lainnya, semuanya anggota keluarga besarnya.
“Hari ini tidak ada ikan. Kami pergi (melaut) selama 72 jam gencatan senjata untuk mencoba mendapatkan makanan untuk keluarga kami, namun kami tidak mendapatkan apa-apa,” ujarnya sambil mengeluarkan seekor kepiting dari jaring ikannya.
“Ini adalah semua yang Anda dapatkan ketika diperbolehkan untuk melaut tidak lebih dari dua atau tiga mil.”
Sejak perang dimulai, nelayan Palestina telah menderita kerugian yang parah setelah jet tempur tentara Zionis menyerang gudang penyimpanan peralatan memancing. Amjad Shrafi, wakil kepala Sindikat Nelayan Gaza, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa serangan “Israel” telah membuat kerugian bagi industri perikanan sekitar 3 juta USD dalam satu bulan terakhir di sepanjang garis pantai Gaza.
“Pemboman di ruang kerja nelayan, di mana peralatan memancing termasuk motor dan jaring disimpan, dimaksudkan untuk mendorong kami jauh dari laut,” ujar Shrafi. “Ini adalah bentuk hukuman kolektif.”
Selama beberapa tahun terakhir, ratusan nelayan Palestina telah ditangkap, terluka dan bahkan di bunuh di lepas pantai Gaza. Sementara itu, angkatan laut “Israel” juga telah menyita 54 kapa nelayan, menurut pernyataan Shrafi. Pada semester pertama tahun 2014 saja, kapal angkatan laut “Israel” menembaki nelayan Gaza setidaknya 177 kali.
Lebih dari satu bulan lalu, pada tanggal 6 Juli, pemerintah Zionis mengurangi daerah penangkapan lepas pantai Gaza dari enam menjadi tiga mil. Ini adalah pembatasan keempat kalinya sejak perjanjian gencatan senjata mulai berlaku setelah serangan pada tahuun 2012 lalu di Jalur Gaza.
Para pejabat otoritas Zionis tidak memberikan penjelasan mengapa batas ini diberlakukan atau apakah hal itu menjadi keputusan permanen atau sementara, menurut Gisha, pusat hukum advokasi untuk kebebasan pergerakan Palestina.
Berdasarkan perjanjian Oslo, Palestina seharusnya diberi akses ke 20 mil laut di lepas pantai Gaza.
“Buang-buang waktu, tidak ada ikan di jarak tiga mil, tapi jika lebih jauh keluar, di wilayah enam mil, ada batu alam di mana kami dapat menemukan berbagai ikan,” ujar Alamodi, menambahkan bahwa ia ingat saat ia mampu melampaui 12 mil dan menangkap semua jenis ikan di Mediterania.
Dr. Moen Rajab, seorang ekonom di Universitas Al Azhar mengatakan bahwa “Israel” telah sengaja menargetkan industri perikanan Gaza untuk membendung keuntungan dan memutuskan warga Palestina dari profesi bersejarah. “Perang ekonomi ini adalah untuk memaksa nelayan mengandalkan amal dan akhirnya meninggalkan Palestina,” ujar Rajab.
Menurut PBB, setidaknya 95 persen dari nelayan Gaza bergantung pada bantuan internasional untuk bertahan hidup, sedangkan jumlah nelayan telah menurun dari sekitar 10.000 pada tahun 2000 menjadi 3.500 pada Juli 2013. Nelayan Palestina telah kehilangan 1.300 ton metrik ikan per tahun antara tahun 2000-2012 sebagai akibat dari pembatasan “Israel”.
Keponakan Alamodi, Mouneer (34), mencari penghidupan dari perahu keluarga, namun ia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa yang ia dapatkan tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Biaya sebesar 200 NIS (58 USD) untuk menjalankan generator untuk daya perahu setiap harinya, namun ia hanya membawa 50 NIS saat pulang. Kemudian hasil tersebut dibagi kepada saudara-saudaranya, masing-masing mendapatkan 5 NIS.
“Kami hidup dengan berhutang kepada stasiun gas, kami membayar setengah dari apa yang kami peroleh dan kami hidup dari setengah lainnya,” ujar Mouneer yang menambahkan bahwa ia tidak bekerja selama sebulan terakhir. Motor perahu keluarga juga hancur dan biaya perbaikan mencapai 25.000 NIS.
Nelayan lain, Saleh Abu Ryala, yang ruang kerjanya telah dihancurkan dalam pemboman “Israel”, mengatakan bahwa mungkin butuh waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan kakinya kembali.
Aymaan Alamodi mengatakan bahwa berakhirnya blokade Gaza adalah permintaan utama Palestina dalam negosiasi antara “Israel” dengan Hamas untuk mengakhiri kekerasan di Gaza.
“Kami hanya ingin kebebasan untuk melaut,” ungkap Alamodi. “Dan mempertahankan keluarga kami persis seperti apa yang kakek-nenek kami lakukan.” (haninmazaya/arrahmah.com)