XINJIANG (Arrahmah.com) – Sekelompok ulama Uighur dari provinsi Xinjiang, Cina, telah mendesak negeri-negeri kaum Muslim untuk menekan Cina untuk mengakhiri perang melawan rekan-rekan mereka.
Menurut panel PBB, lebih dari satu juta Muslim ditahan di tempat yang oleh kelompok hak asasi manusia dan aktivis disebut sebagai pusat penahanan massal di wilayah barat yang terpencil.
Selama kunjungan ke ibu kota Qatar, Doha, para pemimpin dari Cendekiawan Muslim Turkistan Timur (SMSET) yang berbasis di Turki, menuduh Beijing terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis terhadap warga Uighur dalam upaya menghapus warisan budaya dan agama mereka.
“Pemerintah Cina melancarkan perang budaya terhadap rakyat kami dengan mencoba memaksa kami untuk meninggalkan kepercayaan kami dan warisan kami untuk menjadi atheis dan komunis seperti mayoritas masyarakat Cina,” ujar abdel Khaleq Uighur seperti dilansir Al Jazeera pada Rabu (20/3/2019).
Pada bulan Januari, Cina mengeluarkan undang-undang Sinifikasi baru yang berusaha “melebur” Islam dalam lima tahun ke depan, langkah baru Beijing untuk menulis ulang bagaimana agama itu dipraktikkan. Sinifikasi diklaim sebagai proses peleburan komunitas non-Cina ke dalam mayoritas budaya Cina Han.
Tidak ada negara Muslim besar yang secara terbuka mengutuk Cina atas tuduhan penahanan massal orang-orang Uighur dan etnis minoritas Muslim lainnya kecuali Turki, yang menyerukan agar Cina menutup kamp-kamp tersebut. Beijing mengklaim kamp-kamp itu sebagai “pusat re-edukasi”.
Orang-orang Uighur yang tanah kelahirannya berada di jantung Jalan Sutra Kuno, mengatakan Beijing melihat kehadiran mereka sebagai penghambat perkembangan ekonomi dan ekspansi ke arah barat melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) andalannya.
Diluncurkan pada 2013, dorongan investasi besar-besaran bertujuan untuk membiayai dan membangun infrastruktur di sekitar 80 negara di seluruh dunia, termasuk Timur Tengah dan sebagian Eurasia.
“Dengan kereta api berkecepatan tinggi dan perkembangan transportasi darat lainnya, Cina berusaha untuk mempromosikan perdagangan darat dan laut secara simultan antara Cina dan Timur Tengah,” ujar Wang Jian, seorang profesor sejarah dan ekonomi politik internasional di Akademi Ilmu Sosial Shanghai, mengatakan dalam sebuah makalah yang diterbitkan pada 2017.
Mohammad Mahmoud dari SMET berpendapat bahwa janji-janji Cina akan kekayaan besar dan pembangunan ekonomi dari proyek-proyek BRI nya telah mencegah negara-negara mayoritas Muslim untuk mengatasi tindakan keras terhadap warga Uighur.
“Saya berharap bahwa negara-negara Muslim dapat mengatasi ketakutan mereka terhadap Cina dan mengatasi pelanggaran HAM beratnya terhadap komunitas kami,” ujarnya. (haninmazaya/arrahmah.com)