WASHINGTON (Arrahmah.com) – AS menjatuhkan sebuah bom dengan kekuatan peledak setara dengan 11 ton TNT di kompleks gua yang digunakan oleh cabang ISIS di Afghanistan, klaim Pentagon pada Sabtu (15/4/17). Bom tersebut secara resmi dinamai GBU-43 atau Massive Ordnance Air Blast (MOAB), yang dijuluki ‘ibu dari semua bom’.
GBU-43 dengan berat 9.797 kg ini dijatuhkan pesawat MC-130 di distrik Achin di provinsi Nangarhar, dekat perbatasan Afghanistan dengan Pakistan, menurut Pentagon.
Di Gedung Putih, Presiden Donald Trump mengatakan bahwa aksi pemboman tersebut merupakan “misi sukses lain” yang dilakukan AS. Menurut CBS News, saat ditanya apakah Trump secara pribadi mengotorisasi penyerangan tersebut, ia mengatakan “semua orang tahu persis apa yang terjadi”.
“Apa yang saya lakukan adalah untuk memberikan otoritas pada militer,” lanjut Trump. “Kami memiliki militer terbesar di dunia dan mereka telah melakukan tugas mereka seperti biasa. Jadi, kami telah memberi mereka otorisasi total dan itulah yang mereka lakukan.”
Sekretaris Pers Gedung Putih Sean Spicer mengatakan bahwa penyerangan tersebut menargetkan sebuah “sistem terowongan dan gua yang digunakan para pejuang ISIS untuk bergerak dengan bebas.”
Spicer mengatakan AS “mengambil semua tindakan pencegahan yang diperlukan” untuk meminimalkan korban sipil.
Tidak mengherankan, kantor Presiden boneka Afghanistan Ashraf Ghani mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa serangan AS merupakan bagian dari operasi gabungan antara tentara Afghanistan dan internasional.
“Pasukan Afghanistan dan pasukan asing secara ketat mengkoordinasikan operasi ini dan dengan sangat ekstra hati-hati untuk menghindari korban sipil,” klaimnya.
Dalam sebuah pernyataan, komando AS di Afghanistan mengatakan bahwa serangan tersebut “dirancang untuk meminimalkan resiko terhadap Pasukan Afghanistan dan AS yang melakukan operasi pembersihan di wilayah tersebut sekaligus memaksimalkan penghancuran pejuang dan fasilitas ISIS.”
Jenderal John Nicholson, kepala Pasukan AS dan internasional di Afghanistan, mengatakan “senjata tersebut mencapai tujuan yang telah ditetapkan”.
Nicholson mengatakan keputusan untuk menggunakan bom tersebut didasarkan pada penilaian kebutuhan militer dan bukan pertimbangan politik yang lebih luas.
Sementara itu, mantan presiden boneka Afghanistan Hamid Karzai mengutuk aksi penjatuhan bom non-nuklir terbesar yang pernah digunakan dalam pertempuran, dengan mengatakan Afghanistan seharusnya tidak digunakan sebagai “tempat uji coba” bagi senjata apapun. Dalam serangkaian posting Twitter-nya, Karzai mengatakan: “Ini bukan perang melawan teror tapi penyalahgunaan yang tidak manusiawi dan paling brengsek terhadap negara kita sebagai tempat uji coba senjata baru dan berbahaya.
Duta Besar Afghanistan untuk Pakistan, Dr Omar Zakhilwal, juga membagi pandangannya melalui Twitter. Menyinggung pemboman Afghanistan sejak 1979, yang pertama oleh Uni Soviet dan kemudian AS, Zakhiwal mengatakan: “Jika bom besar menjadi solusi, kita akan menjadi tempat yang paling aman di bumi saat ini.”
Hindustan Times mengutip seorang wartawan Afghanistan dalam Twitter-nya: “Sementara ‘orang barat yang beradab’ merayakan Paskah, “Muslim Afghanistan yang tidak beradab dan barbar” dijatuhi bom seberat 21.000 pon.. Menjatuhkan ‘ibu dari semua bom’ adalah drama lain yang dipertontonkan Trump yang menjelaskan bahwa tanah Muslim hanyalah laboratorium bagi Barat.”
Bom GBU-43 ultra-berat yang sama dengan 11 ton TNT memiliki radius ledakan 1,6 km di setiap sisinya. Di sebuah desa yang berjarak 5 kilometer dari daerah pegunungan yang terpencil, dimana bom tersebut dijatuhkan, para saksi mengatakan tanah berguncang, namun rumah dan pertokoan tampak tidak terpengaruh.
“Bom malam tadi sangat besar, ketika dijatuhkan, di mana-mana tanah seperti gemetar,” kata seorang penduduk kepada kantor berita Reuters, menambahkan bahwa dia yakin tidak ada warga sipil di daerah tersebut yang terkena tembakan.
Al Jazeera mengutip juru bicara sebuah rumah sakit di Nangarhar timur, yang mengatakan bahwa fasilitas tersebut tidak menerima korban tewas atau terluka akibat serangan tersebut.
Sementara itu, ISIS membantah dari pihaknya jatuh korban jiwa.
“Sumber keamanan pada agen berita Amaq membantah ada korban yang tewas atau terluka akibat serangan Amerika di Nangarhar menggunakan GBU-43/B,” kata kantor berita kelompok tersebut lewat media sosial.
Taliban, sementara itu, mengutuk pemboman tersebut. “Menggunakan bom besar ini sama sekali tidak dapat dibenarkan dan akan meninggalkan dampak material dan psikologis bagi rakyat kami,” kata Taliban dalam sebuah pernyataan.
GBU-43 seberat 9.797 kg tersebut dikembangkan pada tahun 2003 sebelum invasi ke Irak. Menurut Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld tes sebelumnya dilakukan di Florida yang dimaksudkan untuk menunjukkan “besar insentif” yang harus diserahkan oleh diktator Irak Saddam Hussein dan “cadangan konflik dunia”.
GBU-43 belum pernah digunakan dalam pertempuran sejak uji pertamanya di tahun 2003.
Marcus Weisgerber, editor bisnis global Defense One, mengatakan kepada CBS News bahwa bom berat ini digunakan untuk “menembus batu dan beton dan kemudian begitu mereka berhasil melewatinya, mereka meledak, menciptakan kerusakan pada apa pun yang ada di bawahnya.”
“Bom ini adalah jenis senjata yang paling cocok bagi misi semacam ini,” kata Weisgerber kepada CBS News.
“Bom ini memukul target yang berada di bawah tanah.”
Bahan peledak GSX, BLU-82 ‘Daisy Cutter’, yang berbobot 5.700 kg adalah pendahulu dari GBU-43. BLU-82 ‘Daisy Cutter’ dilaporkan dikembangkan untuk menciptakan zona pendaratan helikopter di hutan lebat selama konflik Vietnam.
Bom tersebut dijatuhkan pada perang Teluk Waron tahun 1991. Pada bulan November 2001, pesawat tempur AS menjatuhkan Daisy Cutter seberat 15.000 pon di Afghanistan. USA Today melaporkan pada bulan November 2001 bahwa Pentagon mengakui bahwa dua bom seukuran mobil, senjata non-nuklir paling kuat yang dimiliki AS, telah dijatuhkan pada tentara Taliban dalam seminggu terakhir. (althaf/arrahmah.com)