(Arrahmah.com) – Penelitian menyatakan “seorang gay mempunyai pasangan antara 20-106 orang per tahunnya. Sedangkan pasangan zina seseorang tidak lebih dari 8 orang seumur hidupnya.” (Corey, L. And Holmes, K. Sexual Transmissions of Hepatitis A in Homosexual Men.” New England J. Med., 1980, pp 435-438). 78% pelaku homo seksual terjangkit penyakit kelamin menular (Rueda, E. “The Homosexual Network.” Old Greenwich, Conn., The Devin Adair Company, 1982, p. 53).
Acara ulang tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ke 22, Kamis (25/8/2016) mengundang kontroversi karena dianggap mendukung LGBT.Pada acara tersebut AJI memang memberikan Penghargaan Suardi Tasrif Award kepada organisasi Forum Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, Queer Indonesia (LGBTIQ Indonesia). Organisasi ini dianggap menyuarakan kebebasan berekspresi kaum minoritas di Indonesia.
Seperti diberitakan, Menteri Agama, Lukman Hakim Saifudin mendapatkan kritikan terkait kehadirannya pada acara Aliansi Jurnalis Independent (AJI) yang memberikan penghargaan kepada organisasi forum Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Intersex, Queer (LGBTIQ).Menanggapi hal tersebut, Menag menyatakan bahwa kehadirannya dalam acara tersebut hanya diminta untuk menyampaikan orasi budaya dan tidak tahu menahu siapa saja yang akan memperoleh penghargaan dalam acara tersebut.
Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Tengku Zulkarnain berpendapat, Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin tidak cukup hanya meminta maaf lantaran telah memberikan pidato kebudayaan pada acara Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Sebab, acara yang diselenggarakan pada 26 Agustus tersebut juga diisi dengan pemberian penghargaan bagi LGBTIQ. “Sebagai menteri agama, apalagi beliau itu Muslim, tidak cukup minta maaf saja. Selain minta maaf kepada rakyat Indonesia, beliau juga wajib taubat,” kata Tengku kepadaRepublika.co.id, Rabu (31/8).
Tengku juga menuntut Menag menjelaskan sejelas-jelasnya maksud kehadirannya pada acara tersebut. Penjelasan menjadi penting karena kedatangan Menag di acara tersebut dikhawatirkan bisa diartikan sebagai dukungan terhadap kelompok LGBTIQ.
Menyasar Anak-anak
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menilai kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau LGBT menyasar anak-anak kurang mampu.”Sebulan lalu saya datang ke Lombok dan ada yang mensasar anak-anak laki SMP kurang mampu kemudian mereka dikasih hadiah, dua minggu setelah itu laki-laki itu sudah berbeda, mereka pakai lipstik dalam waktu sangat singkat,” kata Mensos di sela-sela rapat kerja dengan Komisi VIII di gedung MPR/DPR, Jakarta, Selasa (16/2).
Selain itu, kata Mensos, anak-anak itu juga menjadi korban perdagangan orang sehingga masalah ini harus dilihat secara komprehensif. “Mereka diperdagangkan dengan memanfaatkan kemiskinan keluarga mereka. Saya khawatir ada rekayasa sosial,” ucap Mensos kepada republika.com (17/2/16)
Senada dengan Mensos, Ancaman fenomena kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) saat ini sangat meresahkan para orangtua. Pasalnya, banyak anak mereka menjadi korban pelecehan seksual bahkan seringkali terjadi di sekolah. Ketua Divisi Kajian Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) Dinar Kania kepada okezone.com (27/2) mengatakan, semula kelompok tersebut menyebarkan paham dengan masuk ke dalam akademisi di setiap kampus. Namun, belakangan mereka sudah turun menyasar anak-anak.
“Mereka (LGBT) tahun 2009 larinya ke intelektual. Lalu masuk ke kampus-kampus, lalu turun mereka pilih anak-anak SMA. Modusnya untuk sosialisasi Aids. Lalu mereka masukan kesetaraan gender dan LGBT. Lalu turun lagi ke kelas anak-anak kecil yaitu SD (Sekolah Dasar),” katanya dalam Diskusi Kajian LGBT dalam Perspektif Keilmuan di Kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, Jumat (27/2/2016).
Analisis
Setelah reformasi, pada tahun 1998 organisasi-organisasi LGBT semakin meluas dibuktikan pula dengan adanya keikutsertaan perwakilan dari kaum lesbian, wanita biseksual, dan pria transgender (LBT) yang diundang secara resmi dalam Kongres Perempuan Indonesia. Mereka juga menggunakan pendekatan berbasis HAM yang kemudian membuka peluang kerjasama lebih lanjut dengan organisasi HAM arus utama. Dan enam organisasi LGBT yang berkantor pusat di Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta bergabung untuk memperkuat gerakan ini, yang kemudian menjadi awal terbentuknya Forum LGBTIQ (Lesbian Gay Bisexual Transgender Intersex dan Queer) Indonesia. Persatuan tersebut dibentuk pada Januari 2008 pada Konferensi International Lesbian Gay Bisexual Trans dan Intersex Association (ILGA) tingkat Asia yang ke-3 di Chiang Mai, Thailand.
Propaganda dan penyebaran LGBT telah menjadi gerakan yang melibatkan berbagai kelompok dan organisasi lokal dan internasional. Organisasi-organisasi LGBT saling terhubung satu sama lain. Langkah-langkah, aktivitas, aksi dan gerakan mereka dilakukan secara terkoordinasi berdasarkan strategi yang sudah mereka susun dan sepakati.
Dalam laporan nasional LGBT, di laman 64 tertulis: “Ada sejumlah Negara Uni Eropa yang mendanai program jangka pendek, terutama dalam kaian dengan hak asasi manusia LGBT. Pendanaan yang paling luas dan sistematis telah disediakan oleh Hivos, sebuah organisasi Belanda. Dimulai tahun 2003 pendanaan ini kadang-kadang bersumber dari pemerintaha negeri Belanda. Kemudian, Ford Foundation bergabung dengan Hivos dalam penyediaan sumber dana organisasi-organisasi LGBT. Kedua badan penyandang dana yang terakhir disebut diatas, mengarahkan pengunaan dananya pada advokasi LGBT dan hak asasi manusia dari pada penanggulangan HIV sebagaimana focus tradisional pemberi dana lainnya.” (Republika.co.id, 2016).
Organisasi LGBT di antaranya melakukan strategi: memperkuat jejaring dan kerjasama dengan lembaga-lembaga non-pemerintah bidang Hukum dan HAM, media massa, lembaga pengetahuan dan swasta; memperkuat jejaring Advokasi HAM untuk LGBTIQ; aktif mendorong dialog-dialog terkait penegakan HAM LGBTIQ di Indonesia, dsb.
Lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks (LGBTI) di Asia memiliki dua insiatif, yaitu melakukan kemitraan secara regional antara the United Nations Development Programme (UNDP), Kedutaan Besar Swedia di Bangkok, dan United States Agency for International Development (USAID).
Tujuan dari proyek tersebut adalah pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang menerima keberadaan LGBTI. Berikut tiga pencapaian yang ingin tercapai:
- Memiliki akses terhadap keadilan untuk melaporkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan mengakhirinya secara hukum.
- Melalui mobilisasi masyarakat dengan advokasi kebijakan yang efektif pada perubahan hukum dan kebijakan (dengan pembuat hukum, pemerintah daerah, lembaga peradilan, dan lembaga ak asasi manusia nasional).
- Melalui mobilisasi masyarakat untuk terlibat dalam dialog dengan stakeholder, seperti organisasi keagamaan, sektor swasta, aparat penegak hukum, lembaga pendidikan. Itu diperlukan untuk mengatasi stigma, diskriminasi, dan mengakhiri praktik-praktik berbahaya dalam pelanggaran HAM terhadap individu LGBT dalam pengaturan publik dan swasta, dan untuk memastikan individu LGBTI memiliki akses yang sama ke layanan umum. (republika.co.id, 12/2/2016)
Walhasil, gerakan dan propaganda LGBTIQ jelas membawa bahaya besar bagi negeri ini dan peduduknya. Umat harus menggencarkan dakwah dan tegas menolak LGBTIQ. Harus dinyatakan bahwa LGBT adalah penyimpangan perilaku. Dakwah harus dilakukan dengan menyadarkan pelaku LGBTIQ,sehingga mereka menyadari kesalahan mereka dan mereka mau bertobat. Amar makruf nahi mungkar juga harus digalakkan. Sikap awas dan kewaspadaan pada diri umat terhadap segala bentuk propaganda dan seruan LGBTIQ harus dibangun. Umat Islam juga harus dikuatkan dengan membina ketakwaan dan ketaatan pada syariah Islam. Sistem politik Islam harus diwujudkan untuk menangkal dan mencegah penyakit LGBTIQ secara praktis dan efisien.
Umar Syarifudin, Syabab HTI (praktisi politik)
(*/arrahmah.com)