RIYADH (Arrahmah.com) – Bagi Arab Saudi, syarat untuk normalisasi hubungan dengan ‘Israel’ adalah pembentukan negara Palestina yang berdaulat dengan Yerusalem sebagai ibukotanya, seorang anggota senior keluarga kerajaan Saudi menegaskan kembali pada hari Jumat (21/8/2020).
Pangeran Turki al-Faisal tampaknya menanggapi Presiden AS Donald Trump yang mengatakan pada Rabu (19/8) bahwa dia mengharapkan Arab Saudi untuk bergabung dengan kesepakatan yang diumumkan minggu lalu oleh ‘Israel’ dan Uni Emirat Arab untuk menormalkan hubungan diplomatik.
UEA hanyalah negara Arab ketiga yang menjalin hubungan penuh dengan ‘Israel’ setelah lebih dari 70 tahun negara Zionis itu bercokol di Timur Tengah. Di bawah kesepakatan yang ditengahi AS, ‘Israel’ untuk sementara menangguhkan rencana untuk mencaplok permukiman di Tepi Barat yang diduduki, yang dicari Palestina sebagai bagian dari negara masa depan.
UEA mengklaim komitmen ‘Israel’ telah menghidupkan kemungkinan solusi dua negara untuk konflik ‘Israel’-Palestina.
‘Israel’ sampai sekarang tidak memiliki hubungan formal dengan negara-negara Teluk Arab tetapi berbagi keprihatinan dengan UEA tentang pengaruh dan tindakan regional Iran, bersama dengan peran UEA sebagai pusat bisnis regional, menyebabkan pencairan terbatas dan kontak rahasia dalam beberapa tahun terakhir.
Kesepakatan itu menimbulkan spekulasi bahwa negara-negara Teluk Arab yang didukung AS mungkin akan menyusul. Tetapi Pangeran Turki mengatakan Arab Saudi, kekuatan Teluk Arab terbesar yang secara tradisional memandu kebijakan terhadap ‘Israel’, mengharapkan ‘Israel’ membayar lebih.
“Setiap negara Arab yang mempertimbangkan untuk mengikuti UEA harus menuntut sebagai imbalan atas harga, dan itu harus menjadi harga yang mahal,” tulisnya di surat kabar Saudi Asharq al-Awsat.
“Kerajaan Arab Saudi telah menetapkan harga untuk menyelesaikan perdamaian antara ‘Israel’ dan Arab – itu adalah pembentukan negara Palestina yang berdaulat dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya, sebagaimana diatur oleh inisiatif almarhum Raja Abdullah.”
Rencana Liga Arab 2002 itu menawarkan hubungan normalisasi ‘Israel’ dengan imbalan penarikan ‘Israel’ dari semua wilayah – Tepi Barat, Gaza dan Yerusalem Timur yang diduduki – yang direbut dalam perang Timur Tengah 1967, dan sebuah negara Palestina di sana.
Tetapi Pangeran Turki juga menyuarakan pemahaman atas keputusan UEA, mencatat sekutu dekat Riyadh ini telah mengamankan syarat utama, yakni penghentian rencana aneksasi ‘Israel’.
Dalam reaksi Saudi pertama terhadap kesepakatan UEA-‘Israel’, Menteri Luar Negeri Faisal bin Farhan mengatakan pada Rabu (19/8) bahwa Riyadh tetap berkomitmen pada inisiatif perdamaian Arab.
Pangeran Turki, mantan duta besar untuk Washington dan mantan kepala intelijen, tidak memegang jabatan pemerintah sekarang tetapi tetap berpengaruh sebagai ketua Pusat Penelitian dan Studi Islam Raja Faisal. (Althaf/arrahmah.com)