JERMAN (Arrahmah.id) – Negara-negara tertentu di Eropa mengambil langkah untuk melegalkan Islamofobia pada tahun 2020, ungkap sebuah penelitian.
Laporan Islamofobia Eropa yang disiapkan oleh profesor Enes Bayrakl dari Universitas Turki-Jerman dan Farid Hafez dari Universitas Georgetown menganalisis kebangkitan sentimen anti-Muslim di Eropa, termasuk pernyataan yang mendukung undang-undang yang menekan hak-hak Muslim Eropa.
Dilansir Daily Sabah pada Senin (3/1/2022), sekitar 37 akademisi, pakar, dan aktivis masyarakat sipil yang berspesialisasi dalam isu-isu yang berkaitan dengan rasisme berkontribusi dalam laporan tersebut, yang menganalisis status Islamofobia saat ini di 31 negara.
Di Austria, pemerintah mendirikan “pusat dokumentasi” pada Juli 2020 untuk memasukkan Muslim ke dalam daftar hitam. Pusat tersebut mengumpulkan informasi tentang institusi Muslim, termasuk lebih dari 600 masjid dan pusat pendidikan, ideologi, administrator, dan alamat mereka, dan membagikan peta digital yang disebut “Islam-Landkarte” yang berisi semua informasi ini kepada publik.
Komunitas Muslim marah dengan kebijakan pemerintahAustria tersebut.
Sebuah kelompok yang dipimpin oleh profesor Ednan Aslan dari Universitas Wina berpendapat bahwa peta digital menggambarkan Muslim sebagai penjahat potensial dan menyerupai pemerasan. Mereka juga menuduh pemerintah memanipulasi publik dengan mengkambinghitamkan umat Islam untuk lolos dari tuduhan korupsi.
Di Jerman, seorang hakim keturunan Turki diberhentikan dari tugasnya karena mengenakan jilbab, sementara Mahkamah Konstitusi di Belgia memutuskan bahwa pelarangan simbol politik dan agama di lembaga pendidikan pasca sekolah menengah adalah sah.
Mahkamah Konstitusi memutuskan pada awal Juni bahwa larangan jilbab tidak akan bertentangan dengan Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR).
Kasus ini dirujuk ke Mahkamah Konstitusi oleh pengadilan Brussels setelah mahasiswa Muslim menggugat Francisco Ferrer Brussels University College atas larangan semua simbol agama.
Putusan itu memicu reaksi di media sosial di kalangan anak muda dan mahasiswa, dengan organisasi hak asasi manusia juga mengecam langkah itu sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Sejak keputusan itu, 12 universitas dan perguruan tinggi Belgia telah meyakinkan siswa bahwa mereka tidak akan memberlakukan larangan seperti itu, menekankan bahwa kebebasan beragama dilindungi di ruang kelas mereka, menurut The Brussels Times.
Di Bulgaria, pegulat Muslim Muhammed Abdulkadir dituduh berpartisipasi dalam aksi teroris setelah berbagi foto dirinya mengenakan seragam militer di Suriah pada 2016.
Sedangkan di Denmark sebuah partai sayap kanan mengajukan undang-undang yang mengusulkan pelarangan jilbab di semua lembaga publik, meskipun parlemen menolak RUU tersebut,.
Di Prancis, Presiden Emmanuel Macron memperkenalkan undang-undang yang mengusulkan pelarangan jilbab bagi anak perempuan di bawah usia 18 tahun di ruang publik.
Sementara itu, politisi sayap kanan Belanda Geert Wilders juga mencoba memperkenalkan undang-undang serupa untuk melarang jilbab dan ritual pengorbanan selama Qurban Bayram, disebut juga dengan Idul Adha.
Wilders, yang dikenal dengan sikap anti-Muslimnya, sering memposting postingan yang menentang Muslim. Pada bulan April, ia membagikan postingan yang mengatakan “hentikan Islam, hentikan Ramadhan.”
“Islam bukan milik Belanda,” kata Wilders.
Pemerintah Swedia turut serta melarang pendirian sekolah-sekolah Muslim di negara itu setelah pengumuman Menteri Pendidikan Anna Ekstrom untuk mendukung langkah menentang sekolah-sekolah agama. (rafa/arrahmah.id)