Oleh K. Subroto
(Arrahmah.com) – Sejarah menjadi amat penting dalam perjalanan peradaban manusia, di tengah masyarakat sebagai pelajaran hidup yang telah dilalui oleh pendahulunya. Selain untuk mengungkap jatidiri suatu bangsa atau peradaban, sejarah juga sebagai bahan motivasi dan sekaligus bahan instrospeksi, supaya tidak terjatuh di lubang yang sama, mengulang kesalahan yang sama yang pernah dialami generasi sebelumnya. Karena sejarah pasti akan selalu terulang dengan aktor yang berbeda.
Sejarah umumnya ditulis oleh pemenang dengan perspektif pemenang juga tentunya. Demikianlah kenyataan yang berlaku di seluruh dunia. Dan pemenang dalam persaingan sebuah peradaban yang kemudian menjadi penguasa menggantikan peradaban sebelumnya berusaha sekuat tenaga mengecilkan kontribusi lawannya dalam memajukan masyarakat, atau bahkan kalau bisa berusaha menguburnya sehingga peradaban yang dikalahkan tidak akan pernah bangkit kembali dan menjadi ancaman bagi penguasa pemenang.
Demikian jualah yang terjadi dengan sejarah Indonesia. Sebuah nama yang baru muncul di tahun 1850 di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia No. 4 yang awalnya disebut Indunesians (Indu, bahasa Latin, artinya: India; Nesia, asal katanya adalah nesos, bahasa Yunani, artinya: kepulauan), yang artinya Kepulauan Hindia. Penulisan sejarah Indonesia dipelopori oleh para sarjana sejarah berkebangsaan Belanda, negara yang terlibat peperangan selama ratusan tahun hampir di seluruh pelosok Nusantara dengan para penguasa lokal dengan misi penjajahan. Tidak bisa dipungkiri bahwa sejarah yang ditulis Belanda dengan perspektif penjajah berusaha memandang sejarah Indonesia umumnya dan Jawa khususnya dengan sudut pandang penjajah Barat.
Penulisan sejarah Indonesia mengecilkan peran Islam dan politik Islam dengan berusaha memunculkan dan membesar-besarkan peran dan kejayaan politik negara-negara sebelum negara Islam berdiri di Nusantara. Hal demikian wajar karena selama ini hampir di semua daerah, penjajah Belanda selalu berhadapan dengan ulama dan pemimpin Islam ketika berusaha menancapkan kepentingan penjajah. Para ulama dan pemimpin Islam selalu mengumandangkan seruan jihad untuk mempertahankan wilayah dan hak-hak mereka yang berusaha dirampas oleh orang kafir Belanda.
Dengan kenyataan itu para orientalis Belanda memandang Islam sebagai ancaman terhadap keberlangsungan misi penjajahan. Sebagaimana pandangan seorang ahli strategi Belanda, Cristian Snouck Hurgronje yang memandang Islam sebagai faktor penghalang misi penjajahan terutama yang disebutnya sebagai Islam Politiek. Oleh karena itu Belanda berusaha sekuat tenaga mengubur sejarah kesuksesan politik Islam dalam mengatur masyarakat Indonesia. Di sisi lain didorong penelitian dan penulisan sejarah kegemilangan peradaban pra-Islam, khususnya kejayaan kerajaan Syiwa-Budha Majapahit. Eksistensi negara Islam berusaha dikaburkan dalam penulisan sejarah Belanda di masa lalu, dan berlanjut di era kemerdekaan. Bahkan ada yang menyebut eksistensi negara Islam sebagai ”ilusi”, sesuatu yang tidak pernah ada, atau “utopia”, hanya sebuah impian belaka.
Tulisan-tulisan sarjana Belanda banyak sekali mengangkat sejarah era pra Islam. Bahkan De Graaf menyebut bahwa terlalu banyak tulisan mengenai sejarah Jawa dan Bali yang diterbitkan dalam bahasa Belanda di abad 20 yang meneliti dan mengulas peradaban pra Islam yang merupakan peradaban yang datang dari India. Pandangan sejarah ala Barat lebih menonjolkan uraian-uraian ilmiah tentang masa Hindu-Jawa.
Jadi upaya deislamisasi sejarah Islam memang disengaja oleh penjajah Belanda sebagai pionir penulis sejarah Nusantara, sebagai salah satu upaya untuk mencegah kebangkitan kembali institusi politik yang berdasarkan Islam yang merepotkan bahkan mengancam kepentingan penjajahan. Seorang Sejarawan Belanda, De Graaf mengakui bahwa selama hampir satu abad telah banyak waktu dan biaya dihabiskan untuk mengadakan penyelidikan kepurbakalaan terhadap bangunan-bangunan kuno pra-Islam, yaitu candi-candi, tetapi penyelidikan terhadap bangunan dan naskah kuno zaman Islam diabaikan.
Dampaknya para peneliti sejarah saat ini kesulitan mencari sumber referensi tulisan sejarah Indonesia kecuali dari tulisan-tulisan sejarawan Belanda. Maka kita dapati bahwa sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah sejak masa penjajah Belanda sampai saat ini selalu menonjolkan kegemilangan peradaban Syiwa-Budha Majapahit dan mengecilkan peran era Islam dalam memajukan masyarakat.
Kenyataannya, kejayaan politik dan peradaban Islam masa Demak dan Mataram tidak kalah dengan kejayaan era Syiwa-Budha Majapahit. Eksistensi negara yang berdasarkan Islam bukan sebuah ilusi tapi sebuah fakta sejarah yang berusaha ditutup-tutupi. Negara Islam yang besar, Kesultanan Demak dan Mataram serta negara-negara yang lebih kecil sesudahnya memenuhi syarat disebut sebagai sebuah negara.
Berdasar pasal 1 konvensi Montevideo 27 December 1933 mengenai hak dan kewajiban Negara (Rights and Duties of States) menyebutkan bahwa Negara sebagai subjek dalam hukum internasional harus memiliki empat unsur yaitu : penduduk yang tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang berdaulat dan kapasitas untuk berhubungan dengan Negara lain.
Demak telah mendeklarasikan diri sebagai sebuah negara Islam dengan konstitusi negara berdasar syariat Islam. Hukum-hukum Islam diberlakukan baik pada pejabat maupun rakyat jelata. Pengadilan syariat didirikan untuk menyelesaikan berbagai masalah yang timbul di masyarakat. Rakyat diperintahkan untuk menjalankan ibadah dengan contoh dan teladan dari pemimpin dan ulama.
Demak juga menjalankan politik luar negeri, dengan melakukan Jihad, mengirim pasukan Angkatan Lautnya melawan penjajah kafir Portugis di Malaka. Dan melakukan pembebasan-pembebasan wilayah di tanah Jawa.
Demak juga melakukan upaya memakmurkan rakyatnya dengan berbagai upaya meningkatkan ekonomi baik dalam bidang pertanian, perdagangan, industri dan hasil laut.
Negara Islam Mataram merupakan negara Islam yang besar di Tanah Jawa setelah era Demak. Mataram telah mendirikan peradilan Surambi yang pelaksanaannya berdasarkan syariat Islam. Islam dijadikan sebagai konstitusi negara. Mataram melakukan kebijakan politik luar negeri dengan melakukan jihad, dengan mengirim pasukan infanteri melawan penjajah kafir Belanda di Batavia.
Berdasarkan fakta sejarah, negara Islam telah ada dan berdaulat di Tanah Jawa pada tahun 1500-1700 M. Jadi bila ada ide atau wacana yang menginginkan kembalinya negara Islam di tanah Jawa (sebagaimana di masa lampau) bukan sebuah ilusi atau utopia, tapi merupakan upaya mengikuti jejak nenek moyang dan bagian dari upaya menghidupkan kearifan lokal.
Executive Summary Laporan Khusus Lembaga Kajian Syamina Edisi 4 / Maret 2017
(*/arrahmah.com)