Oleh Irfan S Awwas
Apabila kita mendengar isu Negara Islam Indonesia (NII), maka yang terlintas dalam pandangan masyarakat adalah, kelompok yang ingin mengganti NKRI dengan Negara Islam, dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Seperti, mengeksploitasi wanita bercadar untuk merampok dan memeras uang, termasuk mengancam dibunuh bila keluar dari komunitas tersebut.
Akibatnya, serentetan persepsi negatif itu, tidak saja berdampak buruk bagi komunitas itu, tapi juga terhadap Islam itu sendiri. Bahkan akhir-akhir ini, tidak saja mengaitkan gerakan Islam Syari’at dengan NII, tapi juga menyematkan labelalisasi terorisme.
Kasus terbaru adalah terungkapnya kasus Laila Febriani alias Lian, 7 April 2011, pegawai honorer Departemen Perhubungan, yang terdampar dua hari di Masjid At Ta’awun dikawasan Puncak, Bogor. Ketika ditemukan, Lian dalam kondisi linglung dicurigai akibat indoktrinasi aliran sesat, bahkan ia sudah merubah gaya berpakaiannya dengan mengenakan Jilbab Lebar dan bercadar.
Di balik kasus ini muncul kesan untuk memojokkan citra berbusana Muslimah dengan jilbab lebar dan bercadar. Tak hanya itu, Lian menyebut banyak pria berjenggot tebal diantara mereka yang mengindoktrinasinya.
Gerakan NII Palsu
Upaya mendiskreditkan misi NII yang diproklamirkan SM. Kartosuwiryo, 12 syawal 1368 H/ 7 Agustus 1949 M, telah dilakukan bukan saja oleh mereka yang memusuhinya. Tapi, yang lebih berbahaya justru munculnya gerakan sempalan NII, yang melakukan penyimpangan atas nama NII oleh orang yang malah mengaku sebagai penerus perjuangan NII. Salah satu upaya jahat itu dilakukan oleh Totok Abdussalam alias AS Panji Gumilang, pimpinan Ma’had Al-Zaytun, Inderamayu, Jawa Barat, di bawah payung gerakan NII KW 9.
Padahal, misi NII yang diperjuangkan SM. Kartosuwiryo dan NII KW 9 versi AS Panji Gumilang membawa misi kontradiktif, berbeda dalam tujuan, dan bertentangan secara aqidah. NII atau DII/TII Kartosuwiryo berjuang menegakkan Negara Islam Indonesia berdasarkan Quran dan Sunnah.
Sebaliknya, NII KW 9 yang dipimpin AS Panji Gumilang dengan Ma’had Al-Zaytun sebagai sentral aktivitasnya, melakukan penipuan, dan pemerasan atas nama NII. Pemahaman keagamaan, dan prilaku pengikutnya yang sama sekali tidak bisa dikategorikan Islami, adalah fakta kongkrit. Mereka menafsirkan ayat-ayat Al-Quran menggunakan metode safsathah, tafsir semau gue berdasarkan kepentingan hawa nafsu.
Karakteristi NII KW 9 versi Panji Gumilang dapat dilihat dari pemahaman keagamaan, dan perilaku pengikutnya:
Pertama, ingkar Sunnah: Pengajian-pengajian diselenggarakan sangat eksklusif dan tertutup. Materi awal tentang kebenaran Al-Quran, berikutnya akan selalu menggunakan Al-Quran sebagai rujukan, jarang sekali menggunakan hadits.
Alasannya, adanya perkataan Nabi Saw : “Inna khairul hadits kitaballah – sebaik-baik hadits adalah kitabullah.” Mereka menolak hadits dengan menggunakan dalil hadits. Dalam hal ini, NII KW 9 menggunakan kalimat yang benar untuk tujuan kebathilan, sebagaimana dikatakan Imam ‘Ali bin Abi Thalib, Kalimatu haqqin yuradu biha bathilun.”
Sedang Ustadz yang memberikan pengajian selalu menyembunyikan identitasnya, dengan alasan security (keamanan). Bukan itu saja, calon pengikut NII KW 9 diajak ke suatu tempat untuk dibai’at, selama dalam perjalanan matanya ditutup.
Mereka menafsirkan ayat-ayat Al-Quran semau gue, sesuai kepentingan hawa nafsunya. Penggunaan hujjah Al-Quran hanya sekedar alat legitimasi atas suatu pemahaman sesat. Misalnya, peristiwa Isra’ Mi’raj ketika Rasulullah Saw naik ke langit ke tujuh, mereka artikan sebagai tujuh tingkat struktur pemerintahan, yaitu RT, RW, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, dan Presiden. Ibadah shalat dianggap bukan kewajiban setiap Muslim, karena belum futuh Makkah, padahal Al-Quran sudah turun 30 juz dan Rasulullah Saw sudah wafat.
Kedua, menghalalkan yang diharamkan Allah : Siapa saja di luar kelompoknya dianggap kafir, karena itu halal darahnya dan dan hartanya boleh dirampas, dengan menganggapnya sebagai harta rampasan (fa’i). Jama’ahnya diperas, dijadikan objek pengumpulan dana dengan alasan infaq dan shadaqah, sementara penggunaan dana yang terkumpul tidak transparan. Para anggota jama’ah yang tidak berinfaq dianggap berhutang. Karena itu mereka membolehkan pengikutnya untuk mencuri, merampok, berdusta atas nama agama demi memenuhi tuntunan bai’atnya.
Istilah NII hanyalah kedok, untuk memudahkan rekrutmen para aktivis Muslim, sementara di sisi lain mereka menghalalkan darah dan harta sesama Muslim diluar kelompoknya, persis perilaku dan pemahaman kaum komunis PKI.
Kelompok NII (Negara Intelijen Indonesia) KW 9 ini disinyalir banyak pengamat dan aktivis Muslim, sebagai pembawa misi terselubung untuk menghancurkan Islam dari dalam. Melakukan penyimpangan aqidah dan syari’ah dengan memakai label Islam, mengikuti pandangan Napoleon Bonaparte yang menyatakan : “Jika mau membunuh kuda, gunakan kuda.”
Gerakan NII KW 9, juga mengusung misi intelijen. Tujuannya membangun citra negatif bagi gerakan yang bertujuan menegakkan Syari’ah Islam secara kaffah, menakut-nakuti umat Islam. Labelisasi Islam terhadap perilaku dan pemahaman yang bertentangan dengan ajaran Islam, adalah di antara metode dakwah yang ditempuh NII KW 9 pimpinan Totok Salam alias AS Panji Gumilang. Pusat gerakan aliran sesat KW 9 di Ma’had Al-Zaytun (bukan Az-Zaytun), Haurgeulis, Kabupaten Inderamayu, Jawa Barat.
Jadi, Darul Islam atau NII pimpinan SM. Kartosuwiryo yang diproklamasikan 12 syawal 1368 H/ 7 Agustus 1949 M, hanya menjadi tameng gerakan KW 9 (Komandemen Wilayah 9), sama sekali tidak memiliki kaitan sejarah, baik secara harakiyah maupun ideologis dengan NII KW 9 pimpinan Totok Salam. Hal ini penting ditegaskan, agar masyarakat tidak keliru menilai, dan tidak rancu dalam memahami peran sentral Darul Islam dalam membangkitkan semangat jihad, untuk membasmi kebathilan.
NII bentukan intelijen ini sungguh jauh benar karakternya dengan NII yang semua dirintis Kartosoewirjo, Daud Beureuh. Upaya formalisasi syariat Islam di lembaga negara selalu dikaitkan dengan Negara Islam Indonesia (NII), karena dianggap memiliki benang merah dengan Darul Islam atau NII pimpinan SM. Kartosuwiryo.
Darul Islam, dipandang sebagai embrio atas suatu paham yang mengedepankan pentingnya melaksanakan Syari’at Islam secara sistemik, melalui jalur kekuasaan pemerintahan. Karena tanpa kekuasaan, Islam tidak akan bisa secara optimal melaksanakan misi Rahmatan Lil ‘Alamin.
Maka di zaman SM Kartosuwiryo, istilah NII bukan sekadar nama sebuah gerakan keagamaan, melainkan institusi Negara dengan konstitusi Islam yang memiliki kekuasaan berdaulat penuh. Memberi label NII pada aktivitas gerakan keagamaan, sangat riskan dari sudut pandang keamanan, juga dapat disalah gunakan sebagai alat penipuan secara ideologis.
Penolakan penggunaan nama NII terhadap aktivitas yang hanya sekadar gerakan, tanpa basis teritorial serta otoritas kekuasaan yang jelas, selain sebagai upaya mengamankan dan mengamalkan amanah perjuangan. Juga, meluruskan pemahaman yang keliru, memberi nama pada sesuatu yang bukan menjadi namanya. Menganggap gerakan sebagai Negara, koordinasi sebagai kekuasaan pemerintahan, sangat rentan terhadap penyusupan dan penyalahgunaan wewenang.
Negara Intelijen
Pada tanggal 27 Agustus 1999, masyarakat pergerakan Islam dikejutkan oleh sebuah pemberitaan berkenaan dengan diresmikannya sebuah pesantren oleh Presiden B.J. Habibie, di Indramayu (Jawa Barat). Pesantren termegah di Asia Tenggara itu bernama Ma’had Al-Zaytun, yang dipimpin oleh Syaikh Al-Ma’had AS Panji Gumilang.
Yang membuat kalangan pergerakan terkejut bukanlah semata-mata karena kemegahan pesantren yang berdiri di tengah-tengah kemiskinan rakyat sekitarnya, tetapi terutama karena sosok yang bernama AS Panji Gumilang, yang tak lain adalah Abu Toto, alias Toto Salam.
Pada tanggal 14 Mei 2003 Jenderal AM Hendropriyono (dalam kapasitasnya sebagai Kepala BIN), atas nama Presiden RI (waktu itu) Megawati, memenuhi undangan Panji Gumilang untuk menancapkan patok pertama bangunan gedung pembelajaran yang diberi nama Gedung Doktor Insinyur Haji Ahmad Soekarno. Kehadiran Jenderal Hendropriyono ketika itu diikuti hampir seluruh pejabat tinggi BIN.
Pada Pemilu Legislatif 5 April 2004, terdapat sekitar 11.563 pemilih yang tersebar di 39 TPS Khusus Al-Zaytun, hampir seluruhnya (92,84 persen) diberikan kepada Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) pimpinan Jenderal Purn. Hartono dan Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut—putri Soeharto). Selebihnya (618 suara) diberikan kepada Partai Golkar.
Tanggal 5 Juli 2004, masyarakat kembali dikejutkan oleh pemberitaan seputar Pemilihan Presiden, yaitu ketika Al-Zaytun berubah sementara menjadi ‘TPS Khusus’ yang menampung puluhan ribu suara (24.878 jiwa) untuk mendukung calon presiden Jenderal Wiranto. Ketika itu, puluhan armada TNIAD hilir-mudik mengangkut ribuan orang dari luar Indramayu yang akan memberikan suaranya di TPS tersebut. Dalam perkembangannya, hasil dari TPS Khusus ini dianulir.
Sebelum kasus penimbunan senjata oleh Brigjen Koesmayadi diungkap oleh KSAD Jenderal TNI Djoko Santoso (yakni pada 29 Juni 2006), beberapa tahun sebelumnya sejumlah aktivis Islam pernah melaporkan kepada aparat kepolisian tentang adanya timbunan senjata di Al-Zaytun, pada sebuah tempat yang dinamakan Bunker.
Laporan itu baru ditindak-lanjuti aparat kepolisian beberapa bulan kemudian, setelah ratusan senjata itu dipindahkan ke tempat lain, dan bunker tempat penyimpanan senjata sudah berubah fungsi. Senjata-senjata itu milik seorang jenderal aktif yang sangat berpengaruh pada masanya.
Dari rentetan fakta di atas, tampaknya sulit untuk mencegah bila ada yang menyimpukan bahwa Toto Salam alias Abu Toto adalah sosok yang disusupkan ke dalam gerakan Islam, dengan proyek mercusuarnya berupa Ma’had Al-Zaytun.