Oleh: Ustadz Budi Ashari, Lc.
(Arrahmah.com) – An Nawawi siapa? Apa An Nawawi ulama besar abad 7 hijriyah itu? Ulama ternama asal Syiria? Maksudnya An Nawawi penulis Arba’in dan Riyadhush Shalihin?
Ya, ya…benar. Beliaulah yang akan kita bahas di sini.
Tapi mengapa judulnya seperti itu?
Bukannya beliau adalah ulama luar biasa. Sangat cerdas. Dengan karya yang lebih panjang dari usianya. Rujukan utama dalam madzhab Syafi’i. Penulis berbagai bidang ilmu.
Benar. Semua benar.
Tapi sabar dulu. Mari kita ikuti penuturan An Nawawi sendiri,
Ibnu Al Aththar berkata: Syeikh (Imam An Nawawi) bercerita kepada saya: Ketika umur saya 19 tahun, saya dibawa oleh ayah saya ke Damaskus pada tahun 49 (maksudnya: 649). Saya tinggal di Madrasah Ar Rawahiyyah. Aku tinggal di sana sekitar 2 tahun. Belum pernah aku letakkan punggungku ini di tanah. Makananku hanya sekadar yang disediakan oleh Madrasah, tidak ada yang lain.
Aku hafal Kitab At Tanbih dalam 4,5 bulan.
Dalam 2 bulan pertama atau kurang dari itu aku membaca: Wajib mandi karena masuknya Hasyafah dalam Farj.
Aku memahami (dari kalimat itu) artinya bunyi perut. Dan aku selalu mandi dengan air dingin setiap perutku berbunyi. (Tarikh Al Islam, Adz Dzahabi)
Hasyafah dalam Bahasa Arab berarti kulit kemaluan laki-laki. Sementara Farj artinya kemaluan perempuan.
Jadi sebenarnya pembahasan kitab At Tanbih yang sedang dipelajari dan dihafalnya berbicara tentang hubungan suami istri yang mewajibkan mandi junub setelahnya.
Kitab At Tanbih adalah kitab ringkas tentang fikih. Sebagai kitab fikih bagi pembelajar awal. Versi hari ini setebal 188 halaman (versi word). At Tanbih dihafal (bukan sekadar dihafal atau dipelajari). Dalam 4,5 bulan kitab itu berhasil dihafal oleh An Nawawi.
Saat ia mulai menghafal kitab itu, usianya sudah menginjak 19 tahun. Usia yang tidak lagi muda bagi anak-anak muda hari ini. Bahkan sudah usia mahasiswa.
Ternyata An Nawawi ‘tidak cerdas’ bahkan di usia mahasiswa. Memahami pembahasan tentang hubungan suami istri. Dia pun tidak mengerti apa yang dimaksud dengan hasyafah dan farj. Hingga dia menyimpulkan sendiri bahwa artinya adalah bunyi perut. Untuk itulah, sebagaimana petunjuk fikih dalam kitab itu yang mewajibkan untuk mandi, setiap perutnya berbunyi An Nawawi mandi dengan air dingin, apapun cuacanya saat itu di Syiria.
An Nawawi ‘tidak cerdas’ mengenai seksual, padahal usianya tak lagi muda; 19 tahun.
An Nawawi ‘tidak cerdas’ tentang perempuan, hingga ia tidak paham sekadar urusan suka lawan jenis.
An Nawawi ‘tidak cerdas’ dalam hal ini. Tidak ada yang tersimpan di otaknya kosa kata yang berhubungan dengan seksual. Sehingga dia kesulitan untuk memahami kata yang sangat lazim digunakan dalam bahasa Arab dan Fikih itu.
Bandingkan itu dengan ‘kecerdasan’ anak-anak hari ini. Usia 19 tahun mereka telah menguasai dengan sempurna semua hal tentang seksual. Berbagai perbendaharaan kosa kata seksual sudah tersimpan dengan sangat baik di otak mereka.
Anak-anak sekarang ‘sangat cerdas’ membahas hal ini dalam setiap tulisan mereka.
Anak-anak sekarang ‘sangat cerdas’ sehingga mereka sudah memahaminya seratus persen dan bahkan sebagian telah ‘mengamalkannya’ sebagai ‘amanah’ otak mereka.
Jangankan usia 19 tahun. Jauh sebelum itu pun mereka telah menguasai ilmu ini.
Ternyata jauh perbandingan An Nawawi yang ‘tidak cerdas’ dalam masalah ini, dibandingkan dengan anak-anak sekarang yang ‘super cerdas’.
Inilah salah satu ‘kebanggaan’ zaman yang tertulis di balik tirai kalimat: Anak sekarang pintar-pintar. Pengetahuan mereka sangat banyak, melebihi orangtuanya.
Inilah salah satu makna dari nyanyian zaman: Memang zamannya beda! Anak sekarang biarpun masih kecil sudah pintar.
‘Selamat’, anak Anda ‘cerdas’…!
(fath/parentingnabawiyah/arrahmah.com)