WASHINGTON (Arrahmah.com) – NATO telah meluncurkan pengawasan udara 24 jam ke Libya melalui pesawat pengintai AWACS, lansir Al Arabiya pada Senin (7/3/2011). Langkah ini didasarkan pada rencana NATO dalam mempersiapkan bantuan bagi Libya jika perang sipil semakin parah.
“Keputusan itu memang dibuat untuk meningkatkan kemampuan pengawasan NATO melalui AWACS. Kami membuatnya beroperasi 24 jam selama tujuh hari. Kami akan memiliki gambaran lebih baik dari apa yang sebenarnya sedang terjadi di sana,” kata Duta Besar, Ivo Daalder, pada wartawan.
Presiden AS Barack Obama sebelumnya menyatakan bahwa bahwa NATO sedang mempertimbangkan opsi militer dalam menanggapi situasi di Libya seperti Inggris dan Perancis sedang menyusun resolusi PBB tentang zona larangan terbang di negara Afrika Utara.
Obama, yang berbicara setelah berdiskusi dengan Perdana Menteri Australia, Julia Gillard, mengatakan kedua negara sepakat bahwa kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah Libya terhadap rakyatnya tidak bisa diterima.
Kemudian Gedung Putih mengatakan Amerika Serikat tidak akan menutup kemungkinan penggunaan pasukan darat AS untuk merespon pertumpahan darah di Libya, tetapi pilihan itu bukan prioritas utama. Gedung Putih juga menambahkan bahwa Amerika Serikat bisa memberikan senjata kepada pasukan oposisi di Libya.
Negara-negara Teluk Arab telah menyuarakan dukungan mereka terhadap larangan terbang yang akan dikenakan terhadap pemerintah Libya, dan menyerukan untuk melakukan pertemuan darurat Liga Arab dalam rangka membahas situasi di negara Afrika Utara.
“(Para menteri luar negeri) menyeru Dewan Keamanan (PBB) untuk melindungi warga sipil Libya, termasuk melalui zona larangan terbang,” kata pernyataan yang dikeluarkan setelah pertemuan para menteri, dibacakan oleh Abdulrahman al-Attiyah , sekretaris jenderal Gulf Cooperation Council.
Sementara itu, Rusia telah menyatakan penentangan mereka terhadap setiap intervensi militer asing di Libya, kantor berita Interfax mengutip pernyataan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov.
“Menurut kami, intervensi asing, apalagi militer, bukan cara yang bisa dipakai untuk menyelesaikan krisis di Libya. Rakyat Libya harus menyelesaikan masalah mereka sendiri,” kata Lavrov, seperti dikutip Interfax.
Pada saat yang sama, Inggris dan beberapa negara lain berusaha untuk merumuskan zona pelarangan terbang di atas Libya di Dewan Keamanan PBB, seperti diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague, pada Senin (7/3).
Hague mengatakan kepada parlemen Inggris, ia mendapatkan laporan yang dapat dipercaya bahwa pasukan pemerintah Libya telah menggunakan helikopter tempur untuk menyerang warga sipil.
Kejahatan terhadap kemanusiaan
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal NATO, Anders Fogh Rasmussen, mengatakan serangan terhadap warga sipil di Libya merupakan “kejahatan terhadap kemanusiaan”, sehingga tidak mungkin bagi dunia untuk terus “berdiam diri”.
“Serangan-serangan yang meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil dapat dikatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata Rasmussen dalam konferensi pers di markas NATO.
Ia mengatakan, respon berlebihan rezim Gaddafi terhadap protes telah menciptakan krisis kemanusiaan yang perlu menjadi pusat perhatian.
Rasmussen menambahkan bahwa: “Saya tidak bisa membayangkan masyarakat internasional dan PBB berdiri diam jika Kolonel Gaddafi dan rezimnya terus menyerang rakyatnya sendiri secara sistematis.”
“Konspirasi untuk memecah belah Libya”
Menanggapi sikap Barat, Menteri Luar Negeri Libya, Kussa Mussa, mengatakan pada hari Senin (7/3) bahwa Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis adalah mitra dalam konspirasi untuk memecah belah dan memecah belah Libya.
Secara terpisah, Gaddafi menuduh Perancis campur tangan dalam urusan internal negaranya dan menyalahkan al-Qaeda untuk pemberontakan melawan rezimnya, dalam sebuah wawancara yang disiarkan Senin (7/3) oleh televisi France24.
Gaddafi menyatakan ada rencana besar Barat di Libya, yakni dengan membangkitkan keberadaan “ekstremis bersenjata,” dan “sel tidur” al-Qaeda.
“Libya memainkan peran penting dalam perdamaian regional dan perdamaian dunia,” tambahnya. “Kami adalah mitra penting dalam memerangi al-Qaeda.”
“Ada jutaan orang kulit hitam yang bisa datang ke Mediterania untuk menyeberang ke Prancis dan Italia, dan Libya memainkan peran dalam menjaga keamanan di Mediterania,” katanya, berbicara melalui penerjemah.
Gaddafi membantah pasukan keamanannya menembak orang yang tidak bersalah, dan dalam wawancara pada hari Senin (7/3) ia mengulangi pernyataannya bahwa kekerasan tersebut didalangi oleh al-Qaeda.
“Uni Afrika telah mengirimkan komisi penyelidikan untuk menunjukkan bahwa apa yang dipublikasikan tentang Libya di luar negeri adalah 100 persen bohong,” Gaddafi mengatakan dalam wawancara.
“Dunia memiliki informasi yang tidak didasarkan pada apa pun dan yang sama sekali tidak masuk akal,” katanya.
Seorang pejabat di markas besar Uni Afrika di ibukota Ethiopia, Addis Ababa, mengatakan pihaknya memang telah membuat tim pencari fakta untuk konflik di Libya, tetapi tim tersebut belum berangkat ke Tripoli.
Perancis pada Minggu (6/3) memuji pembentukan dewan nasional oleh para pemimpin oposisi untuk melawan Gaddafi, dan mengatakan bahwa Paris mendukung dewan tersebut, dalam sebuah pernyataan kementerian luar negeri.
Dewan ini bertemu pada Sabtu (5/3) di Benghazi, Libya timur, dan menyatakan dewan ini dibentuk sebagai badan perwakilan tunggal untuk semua rakyat Libya.
Gaddafi pun menyatakan, “Mereka yang menenteng senjata di Benghazi adalah al-Qaeda dan mereka tidak memiliki klaim ekonomi atau politik. Mereka adalah AQIM (al-Qaeda wilayah Islam Maghrib)”.
Gaddafi mengklaim dewan interim nasional di Benghazi adalah gerbang bagi gelombang Islamisme.
“Jika ‘para teroris’ ini menang, mereka tidak pernah mau percaya pada demokrasi,” pungkasnya. (althaf/arrahmah.com)