TRIPOLI (Arrahmah.com) – Libya dalam bahaya jika jatuh ke tangan ‘ekstrimis’ Islam dan jika pemerintahan yang stabil tidak segera dibentuk, sekjen NATO memperingatkan pada Senin (12/9/2011).
Dalam wawancara bersama harian Telegraph, Anders Fogh Rasmussen mengklaim bahwa Islam (yang selalu dilabeli Barat dengan ‘ekstrimis’) akan berusaha untuk memanfaatkan setiap kelemahan di saat Libya berusaha bangkit kembali pasca runtuhnya kekuasaan Muammar Gaddafi.
Rasmussen berbicara di tengah bertambahnya sejumlah bukti mengenai pecahnya kepemimpinan pemberontak di Tripoli. Kata-katanya disinyalir akan mencemari euforia yang saat ini menyapu Tripoli setelah revolusi.
Peringatannya ini datang saat kepala Dewan Transisi Nasional (NTC), Mustafa Abdul Jalil, mengatakan kepada para pendukungnya di Tripoli bahwa Syariah Islam akan menjadi “sumber utama” dari pembuatan undang-undang baru di Libya.
Jalil, yang baru tiba di ibukota baru pada Sabtu, menyampaikan pidato publik pertamanya di Lapangan Syuhada atau salah satu “Lapangan Hijau” milik Gaddafi.
“Kami adalah muslim, muslim moderat, dan kami akan tetap di jalan ini,” katanya. Meski menggembar-gemborkan Syari’ah Islam, Jalil tetap mengusulkan bahwa Libya harus seperti tetangganya, Mesir, yang masih memungkinkan ruang kebebasan sekuler.
Sudah muncul tanda-tanda adannya perpecahan isu, termasuk peran masa depan milisi Islam yang memainkan bagian penting dalam revolusi.
Mahmoud Jibril, perdana menteri sementara Libya, juga tiba di Tripoli pada akhir pekan lalu setelah mengeluh bahwa dia terlalu sibuk untuk memimpin revolusi sendiri. Pada hari Minggu malam ia terpaksa mengumumkan bahwa perombakan pemerintahan pertama akan berlangsung dalam waktu tujuh sampai sepuluh hari.
“Kami tidak dapat mengesampingkan kemungkinan bahwa para ekstrimis akan mencoba untuk memanfaatkan situasi dan mengambil keuntungan dari kekosongan kekuasaan,” ujar Rasmussen cemas. (althaf/arrahmah.com)