BRUSSELS (Arrahmah.com) – Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan yang setia kepada pemimpin terguling Libya, Muammar Gaddafi, benar-benar “mengejutkan” dan pasukan NTC tidak dapat berharap untuk membalikkan keadaan melalui pertempuran medan perang, juru bicara NATO mengatakan pada hari Selasa (11/10/2011).
Komentar Kolonel Roland Lavoie ini ditujukan untuk menekan pasukan mantan penguasa Libya agar meletakkan senjata mereka dan terlibat dalam pembicaraan Dewan Transisi Nasional Libya (NTC) yang saat ini mengambil alih kendali pemerintahan.
Sebaliknya, di tempat-tempat seperti Sirte, loyalis Gaddafi terus mempertahankan diri, meskipun mereka telah kehilangan satu demi satu kendali atas bagian penting dari pusat kota, kata Lavoie.
“Jadi dari perspektif itu, tidak masuk akal untuk (Gaddafi dan para loyalisnya) terus mengandalkan kekuatan yang tersisa,” katanya.
NATO sebenarnya ingin memperingatkan bahaya dari perlawanan bersenjata yang berlarut-larut terhadap otoritas pemerintahan baru yang dipimpin oleh NTC. NTC telah menolak upaya berulang-ulang oleh Uni Afrika dan lain-lain untuk menengahi antara pihak yang bertikai.
NATO telah menyatakan akan mengakhiri kampanye pemboman yang berlangsung selama tujuh bulan jika tidak ada lagi sisa-sisa ancaman yang signifikan dari orang-orang Gaddafi. NATO berdalih selama ini pihaknya hanya melakukan penjagaan udara di beberapa tempat, terutama terhadap di Sirte, kota kelahiran Gaddafi, dan kota Bani Walid, yang masih dikendalikan pasukan pro-Gaddafi.
Aliansi militer salibis ini telah dikritik karena diduga menyalahgunakan resolusi PBB Maret yang seharusnya dilakukan dalam rangka melindungi warga sipil di Libya untuk membenarkan serangan udara brutal demi menggulingkan rezim Gaddafi. Pesawat-pesawat tempur NATO telah melancarkan sekitar 9.500 serangan selama periode itu. (althaf/arrahmah.com)