JAKARTA (Arrahmah.com) – Ditangkapnya Umar Patek alias Abdul Ghoni alias Abu Syeikh alias Umar Arab di Pakistan dinilai tidak berdampak yang signifikan, pasalnya ‘para pengikutnya’ diduga telah berpendapat bahwa aksi ‘terorisme’ tidak dibenarkan.
Demikian yang diungkapkan mantan Anggota Jamaah Islamiyah, Nasir Abbas pada acara peluncuran komik berjudul ‘Kutemukan Makna Jihad’ di Jakarta, Jumat (9/9/2011).
“Saya menduga tidak adanya respon yang signifikan terhadap penangkapan Umar Patek dikarenakan para pengikutnya sudah mulai menyadari,” ucapnya
Nasir menambahkan, sekalipun ada diantara pengikut Umar Patek yang belum ‘sadar’, namun, kepolisian Indonesia dinilai telah melakukan pegamanan yang baik dan pencegahan yang baik.
Nasir menilai bahwa Umar Patek masih koperatif dengan Pemerintah Indonesia. Hal tersebut terlihat saat Umar diperiksa di Mako Brimob, tempat Umar ditahan.
“Saya dengar, Umar Patek cukup kooperatif dalam mengungkap apa yang telah dilakukan yang telah dilakukan. Kalau soal regenerasi, itu tidak pernah berhenti. Tetapi dilakukan diam-diam,” tandas Nassir.
Umar Patek diduga kuat terlibat peristiwa Bom Bali I. Umar ditangkap di Pakistan bersama istrinya. Pada peristiwa Bom Bali I yang menewaskan 202 orang. Umar diduga berperan sebagai peracik dan perangkai bom, serta memantau kondisi lapangan, dengan menggambar denah lokasi, serta mencocokkan waktu dan tempat.
Umar pun juga pernah berjuang bersama Front Pembebasan Islam Moro (MILF) di Mindanao pada 1995. Tiga tahun berikutnya, Umar menjadi instruktur di kamp militer Jemaah Islamiyah di Hudaibiyah, Filipina.
Terkait masalah ‘terorisme’, Mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI), Nasir Abas juga mengimbau generasi muda agar menghindari dan mewaspadai pelatihan militer di hutan. Sebab kegiatan tersebut bisa mengarah untuk mengajak pada kebencian, permusuhan, dan memerangi pemerintah.
“Nah unsur ini yang sudah ada tanda-tanda mengarah pada hal-hal yang tidak kita inginkan,” kata Nasir.
Menanggapi hal tersebut, Nasir berharap ada training motivasi untuk para pemuda. Perlu juga mengikuti berbagai kegiatan positif. “Anak muda juga harus pandai-pandai memilih. Jangan sampai melukai orang atau membunuh orang,” ucapnya.
Ia memberi contoh bahwa pelaku bom bunuh diri di JW Marriott Dani Dwi Permana, 17 Juli 2009. Saat itu Dani berusia 17 Tahun atau baru lulus Sekolah Menengah Atas (SMA). Jaringan ‘terorisme’ Nurdin M Top melalui Saefudin Zuhri kemudian merekrut Dani agar bersedia menjadi pelaku bom bunuh diri.
Nasir berpendapat bahwa Dani memaknai Jihad secara keliru. Ia juga mengatakan bahwa Islam tidak mengajarkan umatnya untuk merusak lingkungan, menyakiti diri sendiri, membunuh orang lain, apalagi sesama muslim.
Tidak hanya itu, Nasir mengklaim bahwa Dani terbuai dengan janji yang selalu ‘dicekoki’ organisasi ‘teroris’, bahwa dengan menjadi pelaku bom bunuh diri adalah salah satu cara mati syahid, masuk surga, dan ditemani 72 bidadari. (lptn/arrahmah.com)