Oleh : Henny (Ummu Ghiyas Faris) Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
(Arrahmah.com) – Kasus yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) selalu menorehkan kisah panjang yang tidak berkesudahan. Dari kasus pembunuhan, pemerkosaan, menjadi gambaran betapa sulitnya kehidupan TKI di negeri orang. Demi pundi-pundi untuk bertahan hidup mereka harus menghadapi kenyataan itu walaupun harus menantang maut sekalipun.
Sudah banyak kasus TKI dirundung masalah. Ya, sudah lama bangsa ini menjadi pengekspor TKI ke berbagai negara. Sudah lama bangsa ini dilecehkan sebagai bangsa buruh, karena mayoritas hanya bisa bekerja di sektor kasar/rendahan. Tapi, selama ini tidak pernah mencari jalan keluar bagaimana menghentikan ekspor TKI sebagai tenaga kasar itu.
Selama ini, semakin banyak TKI diekspor, pemerintah semakin bangga dan senang karena devisa negara mengalir deras. Maka itu mereka disemati “pahlawan devisa”, meski nasib mereka bukannya bak pahlawan, malah terjajah.
Dikutip dari nasional.kompas.com (Kamis, 19/09/2013) sekelompok masyarakat yang menamakan dirinya ‘Save Wilfrida, Save Indonesia‘ mengkritik Pemerintah Indonesia yang tidak memberi perhatian serius terhadap nasib Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tengah menunggu vonis mati di Malaysia, Wilfrida Soik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dianggap sibuk memikirkan urusan partainya sehingga lupa memperjuangkan nasib TKI di luar negeri. Anggota Komisi IX DPR Rieke Diah Pitaloka menjelaskan, hingga 29 Agustus 2013, ada 185 warga negara Indonesia di Malaysia terancam hukuman mati. Dari jumlah tersebut, mayoritasnya adalah TKI. Satu di antara mereka adalah Wilfrida Soik. Gadis belia ini sedang menunggu vonis hukuman gantung di Malaysia.
Akar Masalah
Wilfrida adalah korban perdagangan manusia yang direkrut secara ilegal dengan modus pemalsuan dokumen dan usia, yang masih di bawah umur. Wilfrida menjadi TKI di Malaysia saat Indonesia dalam posisi moratorium, atau tidak dapat mengirim pekerja rumah tangga dari Indonesia ke Malaysia. Di Malaysia, Wilfrida dipekerjakan sebagai pengasuh lanjut usia. Oleh majikannya, Wilfrida sering menerima perlakuan kasar dan tindak kekerasan. Ia kini menghadapi vonis gantung atas tuduhan membunuh sang majikan.
Kasus Wilfrida Soik merupakan satu bagian dari sederet pelecehan dan kekerasan yang dialami TKI. Ia terancam hukuman gantung tapi tidak ada pembelaan yang memadai dari pemerintah. Sementara itu di Arab Saudi, pemerintahnya justru memberlakukan moratorium dan pemutihan dokumen. Artinya, TKI yang dokumennya sudah kadaluwarsa atau mereka yang masuk sebagai TKI ilegal, maka diberi izin tinggal secara legal.
Perlu kita ingat, bahwa pelecehan, kekerasan yang menyengsarakan TKI, secara verbal maupun non verbal yang dialami TKI, adalah sebuah akibat. Lalu pertanyaannya, apakah akar penyebabnya?
Pertama, selama pemerintah Indonesia masih mengekspor TKI ke berbagai negara, masalah TKI akan terus ada. Itulah yang menjadi PR besar pemerintah; bagaimana menghentikan pengiriman TKI selamanya, dengan menyejahterakan mereka. Masalah ini terjadi karena pemerintah tidak berniat membuka lapangan pekerjaan di dalam negeri, sementara potensi membuka lapangan pekerjaan sangat terbuka luas. Pemerintah lebih cenderung menjadi perantara/calo untuk merayu investor, ketimbang memikirkan pembangunan industri berbasis tenaga kerja.
Kedua, sistem yang digunakan adalah sistem sekuler-kapitalis yang tidak menyejahterakan rakyat, selama itu pula TKI akan terus menjadi bulan-bulanan. Penderitaan buruh migran Indonesia di berbagai negara, sebenarnya tidak beda dengan yang dialami oleh buruh dalam negeri. Jaminan kesejahteraan dan hak-hak normatif buruh banyak yang terabaikan. Pemerintah lebih pro pengusaha dengan alasan menjaga iklim investasi, dan yang dikorbankan adalah buruh.
Ketiga, ketertarikan rakyat negeri ini untuk tinggal di luar negeri dengan alasan ekonomi, lifestyle atau penghargaan pemerintah, sejatinya merupakan fakta yang menyedihkan. Alasan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah negeri ini kurang mampu memakmurkan dan menyamankan rakyatnya untuk hidup di negeri sendiri.
TKI dalam Pandangan Islam
TKW (Tenaga Kerja Wanita) adalah TKI perempuan warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah yang telah ditetapkan. TKI sering disebut pahlawan devisa karena dalam setahun dapat menghasilkan devisa.
Menjadi TKW/TKI yang bekerja di luar negeri hukumnya haram, berdasarkan 2 (dua) alasan utama:
Pertama, karena TKW telah bekerja di luar negeri tanpa disertai mahram atau suaminya. Padahal syara’ telah mengharamkan seorang perempuan muslim melakukan perjalanan (safar) sehari semalam tanpa disertai mahram atau suami, meski untuk menunaikan ibadah haji yang wajib. (Imad Hasan Abul Ainain; ‘Amal Al-Mar’ah fi Mizan As-Syari’ah Al-Islaamiyyah, hal.42; Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtimaâi fi Al-Islam, hal. 35).
Dalam masalah ini Imam Ibnu Qudamah menyatakan siapa saja perempuan yang tidak punya mahram dalam perjalanan haji, tidak wajib naik haji.(Al-Mughni, 5/30). Tertuang dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيْرةَ يَوْمٍ إِلَّا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ. رواه البخاري ومسلم
“Tidak halal perempuan yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali disertai mahramnya.” (HR Bukhari no 1088; Muslim no 1339)
Berdasarkan hadits ini, haram hukumnya menjadi TKW di luar negeri. Karena umumnya TKW tidak disertai mahram atau suaminya dalam perjalanannya ke luar negeri. TKW itu pun tetap dianggap musafir yang wajib disertai mahram atau suaminya, selama dia tinggal di luar negeri hingga dia kembali ke negeri asalnya (Indonesia). (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jamiâ li Ahkam Al-Shalah, 2/337).
Kedua, menjadi TKW juga haram ditinjau dari segi lain, yaitu keberadaan TKW telah menjadi perantaraan munculnya berbagai hal yang diharamkan syara’. Misalnya, terjadinya pelecehan seksual, perkosaan, kekerasan, pembunuhan, pemotongan upah, dan pungutan liar. Semua ini telah diharamkan oleh syara’ berdasarkan dalilnya masing-masing. Maka, menjadi TKW hukumnya haram berdasarkan kaidah fiqih; الوَسِيْلَةُ اِلَى اْلحَرَامِ مُحَرَّمَةٌ (segala perantaraan yang mengakibatkan terjadinya keharaman, hukumnya haram). (M. Shidqi Burnu, Mausuâ ah Al-Qawaâid al-Fiqhiyyah, 12/199).
Atas dasar dua alasan ini, haram hukumnya menjadi TKW yang bekerja di luar negeri. Pengiriman TKW ke luar negeri pun wajib dihentikan, sesuai kaidah fiqih; الضَّرَارُ يُزَالٌ (segala macam bahaya wajib dihilangkan). (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa Al-Nazha’ir, hal. 83; M. Bakar Ismail, Al-Qawaâid Al-Fiqhiyyah Bayna Al-Ashalah wa Al-Taujih, hal. 99).
Problem TKI sangat kompleks. Semua permasalahan ini harus segera disolusikan dengan sistem yang benar, yaitu sistem Islam agar semua permasalahan ini tuntas dan tidak terulang lagi kasusnya. Semua itu tidak akan bisa sempurna diwujudkan kecuali dengan penerapan syariah Islam secara total dan menyeluruh (kaaffah) oleh seorang Khilafah dalam bingkai Daulah al-Khilafah ar-Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwah. Wallâhu a’lam bish-shawâb.
(arrahmah.com)