SRINAGAR (Arrahmah.com) – Berhasil melarikan diri dari tangan umat Buddha ekstremis yang hendak menghabisi mereka di tanah air mereka sendiri, penderitaan Muslim Rohingya belumlah berakhir. Di tempat pengungsiannya, ribuan pengungsi Rohingya Muslim menghadapi penghinaan setelah dipaksa menjadi pekerja murah di Kashmir yang dikuasai India.
“Sejak kami meninggalkan tanah air kami, kami tidak diterima di mana-mana, seolah-olah kami ini bukan manusia,” kata Ahmad Irshad, seorang pengungsi Rohingya sebagaimana dirilis oleh onislam (11/11/2013).
“Kami sudah kehilangan harga diri, kehormatan dan martabat,” tambahnya.
Seperti ribuan pengungsi Muslim Rohingya lainnya, Irshad mempertaruhkan nyawanya untuk menghindari kematian dan penghinaan oleh Buddha ekstremis di tanah airnya di Burma.
Ribuan dari mereka datang ke India, yang tidak menandatangani konvensi PBB terkait dengan status pengungsi.
Karena tidak ada hukum yang berhubungan dengan pengungsi asing, pemerintah belum memutuskan apakah menerima atau tidak untuk memberikan status kepada pengungsi Rohingya atas dasar kasus per kasus, meninggalkan ribuan pengungsi dalam kondisi mengerikan.
Sesampainya di Kashmir, pengungsi Muslim Rohingya dipaksa untuk tenaga kerja murah di sebuah pabrik pengemasan kenari.
Meskipun hanya memberi sedikit uang, tapi itu satu-satunya harapan bagi Muslim Rohingya dalam mencari nafkah untuk bisa digunakan sekedar untuk membeli makan.
“Mereka membayar kami hampir dua dolar per hari,” kata Maryam Batool, seorang pengungsi Rohingya.
“Karena anak-anak kita tidak sekolah, kami juga membawa mereka bekerja, dan mereka mendapatkan uang dengan bekerja selama 10 jam sehari.”
Dijelaskan oleh PBB sebagai salah satu minoritas yang paling teraniaya di dunia, Muslim Rohingya menghadapi diskriminasi di tanah air mereka.
Mereka telah ditolak hak-hak kewarganegaraannya sejak amandemen terhadap undang-undang kewarganegaraan pada tahun 1982 dan diperlakukan sebagai imigran ilegal di rumah mereka sendiri.
Pemerintah Burma sebagaimana juga mayoritas Buddha menolak untuk mengakui istilah “Rohingya”, dan menyebut mereka sebagai “Bengali”.
Pada bulan Juli 2012, Presiden Burma Thein Sein mengatakan bahwa permasalahan Muslim Rohingya harus diselesaikan di negara ketiga.
Gambaran nasib Muslim Rohingya sudah jatuh tertimpa tangga pula. Terusir di negeri mereka sendiri, terhina di negara lain. Sudahkah kita peduli dengan nasib mereka? (ameera/arrahmah.com)