KUALA LUMPUR (Arrahmah.com) – “Kami sudah menjadi korban. Jangan jadikan kami sebagai korban untuk kedua kalinya.” Demikianlah permintaan sederhana dari Zafar Ahmad Muhammad Abdul Ghani terkait nasib ribuan Rohingya yang mengungsi di Malaysia yang mengalami siksaan dan pelecehan, sebagaimana dilansir oleh Astro Awani, Kamis (12/6/2014).
Zafar sendiri adalah orang Rohingya, minoritas etnis Muslim dari negara bagian Rakhine di Myanmar barat yang telah mengalami penganiayaan etnis dan agama di negara mayoritas beragama Buddha itu selama bertahun-tahun.
Rohingya tidak diakui sebagai warga negara oleh pemerintah mereka, dan dianggap imigran gelap di negara mereka sendiri, meskipun mereka mengklaim telah tinggal di sana selama berabad-abad.
Orang-orang Rohinya mengatakan bahwa mereka tidak diperbolehkan untuk mempraktikkan budaya mereka sendiri, agama atau bahkan berbicara dengan menggunakan bahasa mereka sendiri.
Ratusan orang telah tewas dibunuh, dan desa-desa mereka dibakar, yang diduga dilakukan oleh militer dan polisi.
Penganiayaan sistematis atau banyak orang menyebutnya “pembersihan etnis” telah menyebabkan ratusan ribu orang Rohingya mengungsi dari tanah air mereka untuk mencari suaka dan perlindungan. Mereka berangkat dengan kapal seadanya, menantang bahaya yang mengancam nyawa di depan mata, seperti tenggelam di laut lepas dan mengalami kelaparan dan penyakit, dengan harapan untuk sampai ke tanah yang akan menawarkan perlindungan.
Banyak diantara mereka yang mencapai di Bangladesh, yang lainnya mencapai Thailand, Kamboja, Indonesia, dan India. Beberapa diantaranya mereka ada yang mencapai Australia.
Di Malaysia, Rohingya telah mengungsi sejak tahun 80-an. Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) menyatakan bahwa ada 36.290 Rohingya di Malaysia (per April 2014). Kemungkinan ada beberapa ribu lagi yang belum ditemukan.
Astro Awani baru-baru ini mengunjungi beberapa dari Muslim Rohingya yang tinggal di ibu kota, Kuala Lumpur, dan menemukan kenyataan bahwa hidup sebagai pengungsi Rohingya di Malaysia sama sekali tidak mudah.
“Tidak peduli di mana kami pergi, selama kami hidup,” kata Zafar, yang tiba di Malaysia sebagai ‘manusia perahu’ 22 tahun yang lalu.
Bagi Zafar dan sebagian besar pencari suaka yang melakukan perjalanan berbahaya untuk melarikan diri dari pembunuhan dan penyiksaan di negaranya sendiri; mereka malah menjadi korban perdagangan manusia, eksploitasi migran dan pelanggaran di negara lain.
Akibatnya, mereka terjebak antara dua keadaan yang sulit; hidup tanpa status warga negara di Myanmar, atau hidup tanpa status warga negara di tempat baru mereka.
Malaysia bukan penandatangan Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951. Dengan demikian, tidak ada mekanisme hukum di tempat itu untuk memberikan status apapun bagi para pengungsi. Meskipun pemerintah Malaysia secara bertahap telah melunak sikapnya selama bertahun-tahun, pengungsi Rohingnya masih rentan terhadap pelecehan dan penahanan.
“Saya ditangkap 14 kali. Di Malaysia saya bisa mengatakan dengan jelas apa yang terjadi di kamp-kamp tahanan, penahanan di kantor imigrasi dan kepolisian.
“Berpikir tentang hal itu membuat saya benar-benar sedih. Kami juga manusia,” kata Zafar, yang telah memimpin Organisasi Hak Asasi Manusia Etnis Rohingya Myanmar d di Malaysia (MERHROM) selama beberapa tahun.
Banyak para pengungsi Rohingya yang tidak diizinkan untuk bekerja meskipun mereka memegang kartu UNHCR.
Zafar mengatakan bawah banyakdiantara mereka yang terpaksa bekerja secara ilegal untuk mencari nafkah bagi mereka dan keluarga mereka di sini. Hanya majikan yang baik hati akan mengambil mereka sebagai pekerja dan dan kadang mereka mendapatkan bayaran yang murah.
Zafar beruntung menikah dengan seorang wanita Malaysia dan dapat menjalankan bisnis toko kelontong yang didaftar atas nama istrinya.
Sedangkan yang lainnya tidak memiliki kesempatan istimewa seperti Zafar. Warga Rohingnya hanya bisa melakukan upaya kecil untuk mengekspresikan keinginan mereka, sementara kehidupan mereka tetap berada dalam keadaan yang tidak pasti.
“Saya tidak bisa berada di sana (kembali di Myanmar). Mereka akan menangkap dan membunuh saya. Paman saya sudah ditembak mati,” kata Ibrahim Amir Hamzah, (31), yang telah menangkap lebih dari 50 kali oleh otoritas Malaysia selama 12 tahun terakhir.
“Saya hanya ingin bekerja dan mencari makan di sini, saya tidak bisa kembali,” kata Nur Iislam Abu Bashar, (24).
Muhammad Yusuf, (40), mengurus tujuh anggota keluarga dan tidak memiliki pekerjaan yang stabil. “Ini sulit. Bagaimana? Kita tidak bisa bekerja dan hanya hidup bantuan orang-orang.”
“Kembali? Bahkan saya tidak memiliki desa lagi. Banyak yang telah mati ditembak, desa saya dibakar, habis!” kata Muhammad Yusuf.
Beberapa dari sekian banyak anak-anak yang berada di sini juga ingin belajar, tetapi hanya segelintir yang bisa dibantu oleh para relawan yang mendirikan pusat pendidikan bagi mereka.
Bagi Zafar, yang telah mengalami kehidupan yang sedikit lebih baik dengan bantuan istrinya yang warga Malaysia, tapi dia masih berharap segala sesuatunya membaik dan dia bisa kembali ke Myanmar. Dia juga berharap dirinya dan orang-orang Rohingya yang lain bisa tinggal secara legal di Malaysia.
(ameera/arrahmah.com)