PEKANBARU(Arrahmah.com) – Sebuah pesan singkat masuk ke telepon selular yang suaranya memecah keheningan dan mengagetkan Roudhatul Firdaus sekitar pukul 00.00 WIB pada Sabtu tengah malam (4/7).
Pesan itu tertanda dari Fathurrahman, sang adik yang sedang berjarak ratusan kilometer dari kediaman Roudhatul di Jln. Gunung Kelud Pekanbaru, Riau.
Isi pesan itu terus menggelayut di benar Roudhatul, menyisakan beragam pertanyaan. Intinya adalah meminta agar dirinya tidak mempublikasikan berita penganiayaan yang dilakukan polisi Mesir terhadap Fathurrahman dan tiga mahasiswa asal Riau yang kini terdaftar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir.
“Usul ana (saya) tidak usah lagi dipublikasikan. KBRI tadi juga bilang begitu. Kita takut efek baliknya bisa memukul kita lagi. Apalagi di Mesir tidak jelas UUD-nya. Cancel saja semuanya,” demikian isi pesan singkat yang ditunjukan Roudhatul kepada ANTARA ketika menemuinya pada Sabtu (4/7) siang.
Pria berkulit sawo matang itu terus penasaran mencerna isi pesan tersebut. Hingga ia akhirnya mencoba menghubungi telepon genggam adiknya, namun nihil karena panggilannya ditolak Fatturahman.
“Dia menutup telepon dari saya, tidak seperti biasanya. Padahal, saya tahu dia tidak sedang di dalam kelas karena sekarang kuliah sedang liburan musim panas. Sepertinya dia masih trauma,” katanya.
Ia mengatakan beberapa hari terakhir merasa gusar setelah peristiwa penganiayaan menimpa adik kandungnya itu. Fathurrahman, 23 tahun, adalah salah satu korban dari empat mahasiswa Indonesia yang berasal dari Kabupaten Rokan Hulu, Riau, yang sempat ditahan selama tiga hari oleh kepolisian Mesir tanpa alasan yang jelas.
Mereka antara lain Fathurrahman mahasiswa tingkat IV asal Desa Pematang Berangan, Kecamatan Rambah. Tiga korban lainnya adalah Ahmad Yunus yang juga mahasiswa tingkat IV asal Kecamatan Bangun Purba, Azril mahasiswa tingkat I asal Rokan IV Koto dan Tasrih Sugandi mahasiswa tingkat I asal daerah transmigrasi SP4.
Penahanan empat mahasiswa tersebut dilakukan “Amni Daulah” (polisi Mesir) pada 28 Juni 2009 hingga dibebaskan 1 Juli 2009. Mereka dijemput paksa dari sebuah rumah kost di Kairo. Dalam proses introgasi para mahasiswa mengaku sempat dianiaya seperti ditelanjangi, dipukuli dan disetrum. Bahkan, Fatturahman mengaku sempat disetrum di kemaluannya dan meninggalkan bekas luka-luka.
Kabar penahanan didapatkan Roudhatul dari salah satu kawan di Pekanbaru, yang berhubungan dengan rekan Fathurrahman di Mesir, pada 30 Juni lalu.
Namun, saat itu Roudhatul tidak bisa bisa menghubungi adiknya karena masih di tahanan. Roudhatul baru bisa menghubungi Fatturahman lewat layanan obrolan via internet dan telepon pada Kamis (2/7), setelah mahasiswa itu dibebaskan.
“Saya kira penangkapan itu biasa saja, tapi saya terkejut karena ternyata mereka juga disiksa di tahanan,” ujarnya.
Diduga Teroris
Menurut Roudhatul Firdaus, Fathurrahman sempat menceritakan kronologis peristiwa penganiayaan empat mahasiswa tersebut. Awalnya, kepolisian Mesir menyantroni rumah yang disewa para mahasiswa itu pada 28 Juni sekitar pukul 02.30 waktu setempat.
Saat itu polisi yang datang berjumlah 12 orang, lima diantaranya lengkap dengan sejata di tangan. Sedangkan lima orang polisi lainnya hanya mengenakan pakaian seperti warga sipil, seorang polisi lainnya terlihat membawa linggis, dan satu orang lagi membawa penggunting kawat.
Malam itu keempat mahasiswa sedang berada di rumah sewaan bersama seorang tamu yang bernama Jakfar. Fathurrahman menyewa tempat kos tersebut bersama empat mahasiswa Indonesia lainnya. Namun saat kejadian temannya yang bernama Ismail Nasution asal Tapanuli Selatan (Sumatera Utara) tidak ada ditempat itu.
Para mahasiswa itu mempersilakan polisi tersebut untuk masuk dan mereka menanyakan visa, sementara beberapa polisi lainnya langsung menggeledah rumah tanpa memberitahu maksud dan tujuan ataupun menunjukan surat penggeledahan. Kira-kira setelah 15 menit menggeledah rumah, ujar Roudhatul, polisi tampaknya tidak menemukan apa yang mereka cari.
“Adik saya (Fathurrahman) sempat menangkap pembicaraan telepon seorang polisi kalau yang dicari-cari tidak ditemukan,” kata Roudhatul.
Berdasarkan informasi, lanjutnya, polisi Mesir sebenarnya mengincar Ismail tanpa diketahui alasannya. Roudhatul mengatakan, polisi saat itu akhirnya menyuruh para mahasiswa untuk menyalakan semua komputer milik mereka, terdapat tiga komputer di rumah tersebut, tapi tetap tidak menemukan apa yang mereka cari.
Namun, tiba-tiba para polisi naik pitam karena melihat poster Syeikh Ahman Yasin, salah satu pemimpin Hamas Palestina, milik Ismail Nasution di salah satu dinding kamar dan memerintahkan agar benda itu segera ditanggalkan.
Seorang mahasiswa yang mencoba menanggalkan poster itu mendapat tiga kali pukulan di punggung karena polisi menilai ia terlalu lamban mencopot benda tersebut. Polisi akhirnya kembali menggeledah rumah dan mengambil beberapa buku karangan DR. Yusuf Al Qardhawi, cendikiawan Mesir yang sempat dipenjara pemerintah setempat karena keterlibatannya di gerakan Islam garis keras Ikhawanul Muslimin.
Para polisi kemudian menggiring mahasiswa malang tersebut ke mobil tahanan yang diparkir sekitar 30 meter dari rumah kost. Namun, hanya empat orang mahasiswa yang dibawa pergi karena seorang tamu yang bernama Jakfar dibebaskan dengan alasan belum cukup umur.
Ia mengatakan, Fathurrahman mengaku salah seorang polisi sempat melayangkan pukulan ke bagian belakang kepala para mahasiswa.
Para mahasiswa itu akhirnya sampai di kantor polisi tak lama setelah adzan Subuh berkumandang.
Polisi berpakaian preman menutup mata mereka dengan kain, dan membawa mereka ke sebuah kamar yang kotor dan pengap berukuran sekitar 4×4 meter. Seluruh barang-barang mereka seperti telepon genggam juga disita oleh polisi, dan mereka tidak diberi kesempatan untuk menelepon pihak keluarga.
“Di kamar itu para mahasiswa disuruh duduk tanpa boleh melonjorkan kaki sampai kira-kira jam 8.00 pagi waktu setempat,” ujar Roudhatul mengutip perkataan adiknya.
Mereka akhirnya menjalani proses interogasi setelah mendapat sarapan berupa manisan. Ia mengatakan, Fathurrahman sempat terkejut karena di ruangan itu juga banyak tahanan seperti mereka dari berbagai kewarganegaraan. Ia mengatakan Fathurrahman masih bisa mengingat bahwa saat itu terdapat 19 orang tahanan termasuk empat mahasiswa, yakni dua orang warga Prancis, seorang Kanada, lima warga Aljazair, dan sisanya dari Rusia.
Disetrum di Kemaluan
Roudhatul mengatakan, penderitaan mahasiswa Indonesia tersebut terus berlanjut dan semakin parah saat proses interogasi. Ia mengatakan adiknya mendapat giliran interogasi setelah adzan Dzuhur berkumandang.
Namun, baru saja Fathurrahman memasuki ruangan interogasi dengan mata ditutup kain, kemaluan adiknya langsung disetrum.
Mahasiswa jurusan Syariah di Universitas Al Azhar itu dihadapkan ke meja dan seorang polisi menanyakan siapa pemilik poster Syeikh Ahmad Yasin yang disita dari rumah mereka. Dan setelah menjawab pertanyaan itu, pantat Fathurrahmankembali disetrum beberapa kali.
Setelah itu, seorang polisi membuka paksa pakaian Fathurrahman dan menyuruhnya duduk di lantai dalam kondisi telanjang. Kaki mahasiswa berambut ikal itu diselonjorkan dan diikat, serta kedua tangan juga diikat ke belakang.
“Awalnya polisi menanyakan pertanyaan yang sederhana seperti dimana adik saya sholat, dan apakah dia selalu hadir setiap kuliah. Tapi setiap habis menjawab pertanyaan, polisi kembali menyetrumnya di bagian tangan hingga ke buah pelirnya,” ujar Roudhatul.
Berdasarkan pengakuan Fathurrahman, lanjutnya, pertanyaan dari polisi akhirnya mulai menjurus pada dugaan keterlibatan mereka dengan jaringan teroris dan pergerakan Islam garis keras.
Polisi menanyakan Fathurrahman apakah mengenal orang Mesir dan bermain bola dengan mereka, apakah dia kenal dengan Osama Bin Laden, mengenai pergerakan jihad, dan apakah dia anggota dari Ikhawanul Muslimin. Proses interogasi itu berlangsung sekitar 20 menit dan setiap menjawab pertanyaan ia diberi setruman di sekujur tubuh, seperti di paha, perut, puting susu.
“Sampai sekarang bekas setruman itu masih membekas di tubuh adik saya,” ujarnya.
Penderitaan para mahasiswa tersebut terus berlanjut setelah proses interogasi dan mereka dipindahkan ke tahanan “Hay Sittah” (distrik enam). Di tempat itu mereka dijebloskan ke sebuah tahanan yang berukuran sekira 3,5×4 meter yang diisi 19 orang. Ruangan tersebut hanya dilengkapi sebuah WC bersama, lampu penerang yang redup, sebuah lubang udara, dan tanpa jendela sehingga penghuninya tak bisa membedakan malam dan siang.
“Selama di dalam tahanan ini mereka tidak disediakan makanan dan air, sehingga mereka terpaksa minum air di kamar mandi. Di sana para mahasiswa juga terpaksa harus beli makanan sendiri melalui polisi di tahanan, dan dua hari itu hanya makan dua mangkok kosari (buah pakis),” ujar Roudhatul.
Empat mahasiswa malang ini ditahan di tempat itu selama dua hari hingga dibebaskan tanggal 1 Juli 2009. Tepat pada Rabu dini hari (1/2) sekitar pukul 02.00 waktu setempat, mereka dibebaskan dengan beberapa pesan dari polisi yakni, mereka dilarang berkumpul bersama Ikhwanul Muslimin, mereka cukup belajar saja di Mesir, dan polisi akan memulangkan mereka ke Indonesia apabila mereka ditangkap lagi.
Bukan Teroris
Roudhatul meyakini bahwa empat mahasiswa tersebut, termasuk adiknya, adalah korban salah tangkap dari pihak kepolisian Mesir. Ia menyayangkan bahwa hingga kini belum ada pernyataan permohonan maaf dari polisi setempat terkait peristiwa penahanan dan penganiayaan tersebut.
Padahal, ia mengatakan insiden itu telah meninggalkan trauma mendalam selain luka fisik akibat penganiayaan. Ia juga mengaku bisa merasakan trauma mendalam dari adiknya lewat pesan singkat terakhir dari Fathurrahman yang diterimanya.
Namun, apa yang paling disayangkannya adalah pihak KBRI di Kairo yang terkesan lamban menangani kasus penganiayaan terhadap warga negaranya sendiri. Bahkan, KBRI juga dinilai kurang tanggap dalam mengumpulkan bukti-bukti tindak penganiayaan seperti visum terhadap korban dari rumah sakit.
“Sampai sekarang adik (Fatturahman) saya juga belum divisum karena takut di rumah sakit akan kembali berurusan dengan intelejen Mesir. Seharusnya, KBRI memfasilitsi visum terhadap korban karena akan berguna untuk membuktikan telah terjadi penganiayaan,” ujarnya.
Ia berharap pihak KBRI memberikan perlindungan dan pendampingan untuk mengurangi trauma dari para korban. Sebabnya, ia khawatir kejadian tersebut akan berdampak pada keberlanjutan studi mereka di Kairo.
“Adik saya hingga kini takut mengangkat telepon dan berniat pindah rumah. Sedangkan dua mahasiswa tingkat pertama saking takutnya berencana pulang ke Indonesia,” katanya.
Roudhatul juga sangat yakin bahwa adiknya tidak terlibat jaringan pergerakan radikal ataupun masuk ke jaringan teroris seperti Al Qaeda. Ia menjelaskan, Fathurrahman adalah mahasiswa dengan beasiswa penuh dari Universitas Al Azhar dan hanya mengikuti organisasi pelajar dari Riau dan perkumpulan orang Sumatera selama di Mesir.
“Apa yang dilakukan polisi Mesir tidak mencerminkan azas praduga tak bersalah. Deplu harus mendesak pemerintah Mesir untuk menyampaikan permohonan maaf atas peristiwa penganiayaan ini,” ujarnya.
Ia mengatakan, Fathurrahman mengenyam pendidikan di sekolah agama milik keluarganya yang ada di Kota Pekanbaru dan Kabupaten Rokan Hulu. Fathurrahman menyelesaikan pendidikan dasar di MI Al Fattah di Pekanbaru, dan menamatkan pendidikan setingkat SMP dan SMA di Pondok Pesantren Khalid Bin Walid yang juga didirikan ayahnya di Rokan Hulu. Ia melanjutkan studinya ke Universitas Al Azhar pada tahun 2003, setelah sebelumnya sempat menganggur satu tahun.
“Adik saya bukan teroris, dan apakah seseorang bisa dicurigai sebagai teroris hanya karena buku yang dibacanya,” tegas Roudhatul.
Kabar penangkapan Fathurrahman juga mengejutkan orang yang mengenal dekat dengan lelaki itu. Tengku Sulaiman (49), pendamping Fathurrahman selama di MI Al Fattah juga mengaku menyesalkan insiden tersebut.
Pria beruban itu mengaku mengenal sosok Fathurrahman cilik dengan baik karena telah merawat dia selama anak itu tujuh tahun bersekolah di Pekanbaru sedangkan orangtuanya berada di Rokan Hulu. Menurut dia, Fathurrahman dikenal sebagai anak yang ramah, ramah, hobi bermain bola, dan gemar mengaji.
“Saya sering melihat dia membaca Al Quran sendirian di mesjid. Saya juga tak habis pikir kenapa polisi mencurigai dia,” katanya. (Althaf/antara/arrahmah.com)