JAKARTA (Arrahmah.id) – Seorang guru honorer salah satu SMP negeri di Jakarta Barat, Dhisky mengajukan permohonan uji materi yang mempersoalkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal 66 UU ASN itu mengamanatkan, penataan pegawai non-ASN diselesaikan paling lambat Desember 2024.
Menurut pemohon, pemberlakuan pasal itu bakal berdampak pemberhentian bagi pegawai non-ASN, termasuk guru honorer yang jumlah 2,3 juta lebih, sehingga menyebabkan kerugian konstitusional.
“Hal ini tentunya akan menjadi persoalan besar,” kata kuasa hukum Dhisky, Viktor Santoso Tandiasa, saat sidang pemeriksaan pendahuluan di MK, Jakarta, Selasa (17/9/2024).
Dia menuturkan bahwa berdasarkan data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, terdapat 2.355.092 tenaga honorer, yang 731.524 orang di antaranya merupakan guru honorer.
Dhisky sendiri sudah mengajar selama empat tahun, mendapatkan PTK Dapodik ID, dan masuk Pembagian Tugas Guru dalam Kegiatan Proses Belajar Mengajar atau Bimbingan.
Namun, dia belum mendapatkan Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) karena terkendala pengurusan yang tidak jelas.
Pada tahun 2022, Dhisky tidak bisa mendaftar Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Guru, karena data dapodik tidak dapat diverifikasi langsung di dalam akun Sistem Seleksi Calon ASN (SSCASN).
Kemudian, pada 2023 dia kembali tidak bisa ikut mendaftar PPPK karena di SSCASN terkunci hanya bisa melamar di sekolah induk, sementara pemerintah daerah tidak membuka formasi.
Dhisky juga pernah mengikuti ujian untuk mendapatkan Kontrak Kerja Individu (KKI) pada tahun 2023, tetapi dia tidak lulus tanpa ada alasan yang jelas.
“Artinya, apabila pemohon sampai pada bulan Desember 2024 belum berstatus ASN ataupun PPPK, maka dapat dipastikan pemohon akan diberhentikan sebagai pegawai non-ASN atau nama lainnya, dalam hal ini guru honorer, walaupun pemohon dapat lulus ujian untuk mendapatkan KKI sebagai guru kontrak,” tutur Viktor.
Lebih lanjut, kuasa hukum pemohon menjelaskan, penataan yang diamanatkan pada Pasal 66 UU ASN tidak serta-merta mengangkat seluruh pegawai non-ASN menjadi pegawai ASN.
Hal itu karena di bagian penjelasan Pasal 66 UU ASN, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “penataan” adalah termasuk verifikasi, validasi, dan pengangkatan oleh lembaga yang berwenang.
Artinya, penataan pegawai non-ASN harus memenuhi verifikasi dan validasi. Jika tidak memenuhi verifikasi dan validasi, maka pegawai non-ASN tersebut tidak dapat diangkat menjadi pegawai ASN.
Padahal, katanya, tidak semua pegawai non-ASN atau dengan nama lainnya tersebut tidak dapat memenuhi verifikasi dikarenakan ketidakmampuannya di lingkungan pekerjaan.
“Namun, lebih ke soal teknis administrasi yang belum bisa dipenuhi karena mekanisme yang cenderung subjektif dari penyelenggara negara,” imbuh Viktor.
Pasal 66 UU ASN tersebut berbunyi: “Pegawai non-ASN atau nama lainnya wajib diselesaikan penataannya paling lambat Desember 2024 dan sejak undang-undang ini mulai berlaku instansi pemerintah dilarang mengangkat pegawai non-ASN atau nama lainnya selain pegawai ASN.”
Menurut pemohon, pemberlakuan norma Pasal 66 UU ASN menjadi persoalan dan menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak membedakan antara pegawai non-ASN atau dengan nama lainnya dan keberadaan guru honorer yang diangkat oleh instansi pemerintah.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, pemohon meminta kepada MK agar menyatakan frasa instansi pemerintah pada Pasal 66 UU ASN bertentangan dengan UUD NRI 1945 bila tidak dimaknai “tidak termasuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah baik pada tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas.”
Sidang perdana Perkara Nomor 119/PUU-XXII/2024 itu dipimpin oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah. Pemohon diberikan waktu selama 14 hari ke depan untuk menyempurnakan permohonannya.
(ameera/arrahmah.id)