JAKARTA (Arrahmah.com) – Partai-partai politik di Indonesia saling bersaing, mengerahkan semua kekuatan media dalam mempromosikan partai mereka dan kandidat mereka untuk pemilu mendatang.
Iklan televisi dan radio memainkan peranan penting dalam kampanye. Nampak jelas raja media yang terkait dengan partai politik berupaya mempengaruhi opini publik secara sporadis.
Bayangkan sebuah perang kampanye kini terjadi pada tiga media terkait tiga partai politik peserta pemilu yang dipimpin oleh raja media dan memiliki beberapa perusahaan. Mereka secara kumulatif mencekoki 50 persen pangsa pemirsa di Indonesia. Dan masyarakat ternyata merasa bosan.
Pada Hanura ada Hary Tanoesudibyo. Ia presiden CEO dari MNC Group, perusahaan media yang memiliki hampir 40 persen pangsa pemirsa.
Pada Golkar ada Aburizal Bakrie. Ia pemegang saham utama dalam kelompok VIVA , yang memiliki TV One dan ANTV.
Pada Nasdem ada Surya Paloh yang memiliki Metro TV melalui Media Group.
Judhariksawan , Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, mengatakan “Mereka harus menyadari bahwa peran mereka sebagai pemilik dan pemimpin partai adalah dua sisi yang berlawanan. Mereka dapat menggunakan perusahaan media mereka tetapi dilarang memanfaatkan untuk keuntungan individual. UU Penyiaran dan Penyiaran dan Standar Program Pedoman melarang pemilik media atau pemegang saham untuk menyalahgunakannya untuk kelompok atau kepentingan pribadi.”
Namun, delapan stasiun televisi pada hari pertama kampanye saja, ditemukan telah menayangkan iklan politik yang lebih dari apa yang diporsikan. Sebagian besar milik MNC, VIVA dan Media Group. Narsis politik terlihat sangat signifikan.
Seorang politikus senior Golkar mengatakan bahwa stasiun TV cenderung melanggar aturan karena partai politik yang membayar untuk iklan khawatir bahwa mereka tidak mendapatkan ekspos media yang cukup. Parpol kurang pede jika diiklankan sebentar saja.
Rizal Mallarangeng , kepala penelitian dan pengkajian kebijakan Golkar, mengatakan kepada Chanel News Asia : “Bagaimana Anda bisa membuat semacam argumen, membuat beberapa jenis pesan dalam 30 detik? Ini terlalu pendek untuk memberikan waktu yang cukup kepada pemirsa untuk bernalar.”
Analis mengatakan selama masa kampanye, orang-orang dengan aset media semakin menggunakan kekuasaan mereka untuk mempengaruhi isi berita dan pemrograman untuk mempengaruhi opini publik.
Ade Armando , dosen di Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, mengatakan “Para wartawan yang bekerja di media-media tersebut, mereka tidak independen lagi. Mereka sedang digunakan oleh pemilik untuk hanya melaporkan hal-hal baik tentang pemilik yang politisi dan memberikan propaganda terhadap orang-orang yang mengancam posisi pemilik.”
Namun, analis menguatkan bahwa para pemilih semakin cerdas dan secara perlahan mampu membedakan propaganda. Mereka mengatakan para pemilih juga dapat mengandalkan lanskap media di Indonesia yang beragam, baik melalui media tradisional atau baru. Mereka sudah dapat memilih informasi untuk membantu mereka memutuskan apa harus memilih dalam pemilihan umum atau tidak sama sekali. (adibahasan/arrahmah.com)