Oleh : K. Mustarom
(Arrahmah.com) – Konflik di Suriah kini memasuki tahun kelima. Jumlah korban semakin meningkat, hingga mendekati 500.000 korban jiwa. Bagi rakyat Suriah, pengeboman, pembunuhan dan penyiksaan adalah horor yang mereka hadapi setiap hari.
Suriah mengungkap sebuah fakta tentang ketidakberdayaan Dewan Keamanan PBB di era rivalitas yang tajam hari ini. Karena di Suriah, sistem di PBB bekerja, tapi tidak untuk rakyat Suriah.
Apa yang terungkap dari konflik di Suriah tentang PBB adalah bahwa sistem tersebut “tidak bermoral”, bahkan saat ia “berfungsi” sekalipun. Ia dipasang untuk menjalankan kepentingan great powers—dan mengurangi kemungkinan terjadinya perang di antara mereka. Sistem tersebut memberikan sebuah tatanan dasar. Tapi, tatanan tersebut jauh dari keadilan—sebagaimana yang kita lihat di Suriah, dan gagal untuk menghadirkan perdamaian.
Banyak yang terkejut dengan meningkatnya eskalasi kekerasan yang terjadi di sana. Namun, sejatinya hal yang paling mengejutkan adalah semua orang terkejut dengan kegagalan PBB tersebut. PBB adalah organisasi yang cacat yang tidak mampu untuk mencapai tujuan-tujuan yang ia nyatakan, apalagi memenuhi kebutuhan dan harapan berbagai pihak yang tertindas dan mengalami penderitaan di seluruh dunia—yang menjadikan PBB sebagai harapan terakhir mereka.
Setelah berulangkali mengeluarkan resolusi untuk mengatasi konflik di Suriah, dengan nilai F yang mereka dapatkan, PBB mengeluarkan Plan of Action to Prevent Violent Extremism.
Mereka menganggap kelompok radikal Islam sebagai ancaman terbesar bagi tatanan dunia dan nilai-nilai Barat. Untuk melawannya, segala upaya pun dilakukan, mulai dari serangan darat, serangan udara, pembunuhan, penyiksaan, penahanan secara masif, hingga sanksi ekonomi. Yang terbaru, mereka membuat pendekatan lain yang diberi nama “Prevent Violent Extremism” untuk mencegah tersebarnya paham-paham ekstrimisme. Langkah ini diambil karena program deradikalisasi, yang mencoba untuk mengubah pikiran orang-orang yang sudah radikal, dinilai tidak efektif.
Globalisasi program PVE ini tidak lepas dari usaha pemerintah AS sebagai penggerak utamanya. Plan of Action memberikan lebih dari 70 rekomendasi kepada seluruh negara anggota dan juga sistem PBB untuk mencegah penyebaran ekstremisme kekerasan. PBB juga merekomendasikan negara anggotanya untuk mengadopsi inisiatif yang ada dalam plan of action tersebut yang berfokus pada tujuh area kunci untuk menangkal violent extremism, yaitu:
- Dialog dan Pencegahan Konflik
- Menguatkan Good Governance, HAM, dan Aturan Hukum
- Pelibatan Komunitas
- Penguatan Pemuda
- Persamaan Gender dan Pemberdayaan Perempuan
- Pendidikan, Pengembangan Skill, dan Kemudahan Lapangan Kerja
- Komunikasi Strategis, Internet, dan Media Sosial
Plan of action tersebut bukan tanpa kritikan, banyak lubang cacat di sana yang membuat sejumlah akademisi memberikan catatan dan kritikan.
Pertama, tidak mendefinisikan apa itu violent extremism, bahkan PBB menyerahkan definisi tersebut pada negara masing-masing yang berpotensi disalahgunakan untuk melakukan represinya atas rakyatnya.
Kedua, tidak mampu memberi bukti yang meyakinkan tentang penyebab violent extremism. Tidak banyak bukti yang mendukung penyebab violent extremism yang diklaim oleh Plan of Action. Plan of Action sendiri menjelaskan bahwa tidak ada konsensus di antara para ahli tentang “apa yang menyebabkan violent extremism” dan tidak ada bukti kuantitatif tentang apa yang menyebabkan seseorang menjadi ektrimis atau teradikalisasi. Tentu saja, konsensus ini akan makin sulit dicapai jika definisi saja tidak jelas.
Ketiga, PVE memiliki dampak menyeluruh, di mana ia bisa memasukkan kepentingan yang legal di bawah bendera “menekan violent extremism“. Plan of Action tidak mendasarkan konsep violent extremism pada hukum internasional. Tidak jelas, apakah seluruh aksi violent extremism bisa dianggap melanggar hukum, terutama yang terjadi di saat konflik. Namun di saat yang sama, Plan of Action berusaha menampakkan diri menghormati hukum internasional sebagai jalan utama untuk menghentikan momok violent extremism.
Keempat, jika PVE gagal, biaya politik dan keamanannya tidaklah nol. Jika Plan of Action diimplementasikan, sebagaimana harapan Sekjen PBB, maka seluruh negara di dunia akan memiliki National Plan of Action tentang PVE. Negara akan mengerahkan sumber dayanya untuk usaha ini. Mereka akan membuat hukum baru. Mereka akan mengubah ke mana dana pembangunan dan bantuan akan diinvestasikan. Para pejabat mereka akan terus menyorot komunitas, kelompok etnis, atau kelompok agama yang “rentan” terhadap terorisme. Komunitas tersebut akan terus diawasi atas nama PVE. Negara akan meningkatkan usaha untuk membuat orang “lebih moderat”, atau mengajari mereka bahwa ‘teks-teks agama mereka mempunyai tafsir yang lain dari yang mereka yakini’.
Karenanya, PVE berpotensi menciptakan para violent extremist sebanyak yang berhasil mereka cegah. Ada potensi pukulan balik di sini, dan hal ini harus dipandang serius dalam lingkungan geopolitik saat ini.
Represi yang timbul dari inisiatif tersebut tidaklah mengejutkan. Akar dari semua itu terdapat pada cacat semantik dan konseptual yang melekat di dalamnya. Strategi tersebut didasarkan pada “pemahaman yang simplistik dari proses [radikalisasi] sebagai sebuah jalur pasti kepada violent extremism dengan tanda yang bisa diidentifikasi sepanjang jalur tersebut.” Dalam teori tersebut, jika seseorang berpikiran radikal, pada ujungnya otomatis dia akan menjadi seorang teroris. Padahal, meski sudah banyak dilakukan riset dengan dana yang sangat besar, “tidak ada data statistik yang otoritatif tentang jalur yang membawa seseorang menjadi radikal.”
Di atas kertas, hampir semua strategi untuk melawan ekstremisme kekerasan bersifat generik. Namun, dalam praktiknya, mereka cenderung menargetkan kelompok tertentu yang dicap paling ‘beresiko’ tertarik pada ekstremisme kekerasan. Pendekatan semacam ini bisa sangat diskriminatif dan memberikan stigma berbagai kelompok minoritas, etnis, agama atau adat tertentu. Inti strategi ini adalah persepsi bahwa untuk mencegah terorisme, yang mereka lihat sebagai ancaman terbesar di era ini, mereka harus mencegah Muslim yang ‘rentan’ dari teradikalisasi oleh ekstremisme kekerasan. Mereka menganggap ideologi sebagai akar dari terorisme. Strategi Prevent menganggap keyakinan Islam sebagai masalah.
Masalah lain yang ada pada strategi PVE adalah bahwa ia mencoba untuk mencegah ekstremisme kekerasan hanya dari anggota masyarakat Muslim, dan mengabaikan kelompok-kelompok ekstremis lainnya.
Profesor Arun Kundnani, dari New York University, menyimpulkan PVE sebagai “strategi untuk melakukan intervensi di dalam dinamika umat Islam dalam rangka memenangkan hati dan pikiran dan mengamankan kesetiaan terhadap demokrasi liberal Barat.” Program PVE pada kenyataannya adalah kebijakan pemerintah terhadap Islam. PVE datang untuk mendefinisikan hubungan antara pemerintah dan umat Islam. Hati dan pikiran mereka kini menjadi target dari sebuah pengawasan, pemetaan, dan propaganda yang terstruktur.
Dengan PVE, mereka berusaha masuk ke dalam ranah teologis untuk menentukan bagaimana Islam yang benar. Realita ini direpresentasikan oleh pernyataan gamblang yang di sampaikan oleh Tony Abbott, mantan Perdana Menteri Australia, yang menyatakan bahwa dalam kampanye hati dan pikiran melawan pandangan ekstrem dalam keyakinan Islam, diperlukan revolusi agama. “Kita tidak bisa terus menyangkal tentang masalah besar yang ada dalam Islam. Islam perlu mendeligitimasi perintah untuk membunuh orang yang menghina Nabi—dan hanya Muslim yang bisa melakukannya.”
Dalam pandangannya, Islam tidak pernah memiliki periode reformasi atau pencerahan yang sangat dibutuhkan. Bahkan, ia menyimpulkan bahwa beberapa kultur tidaklah sama sederajat. “Kita harus siap untuk memproklamirkan superioritas kultur kita dibanding kultur mereka yang membunuh orang atas nama Tuhan.”
Demikian juga Tony Blair. Dalam otobiografinya, ia menulis:
“Perang ini, saya khawatir, bukanlah perang antara kelompok ekstremis kecil dan tidak representatif melawan kita. Atau, paling tidak, bukan hanya itu. Perang ini juga adalah perjuangan fundamental terhadap pikiran, hati, dan jiwa Islam.”
Mereka melakukannya dengan mensponsori kelompok moderat untuk mempromosikan pesan-pesan anti ekstremis yang diminta oleh pemerintah. Dengan demikian, dalam PVE, pemerintah melakukan intervensi ke dalam debat teologis tentang makna sejati dari agama. Tentu saja, hal ini merupakan pelanggaran yang sangat paradoks dengan prinsip sekularisme yang dianut pemerintah yang komunitas umat Islam justru dipaksa untuk berpegang atasnya. Bagi organisasi Islam yang mampu mempresentasikan diri sebagai “moderat”, bantuan keuangan dan sumber daya akan diberikan. Pembedaan antara “moderat” dan “ekstremis” bisa secara fleksibel dieksploitasi oleh pemerintah untuk memarjinalisasi pihak-pihak yang kritis terhadap kebijakannya.
PVE adalah program yang dimotivasi oleh politik, bukan strategi kontraterorisme. Dan alasan kenapa ia berhasil diterapkan adalah sebagian umat Islam dengan mudah menerima narasi tunggal yang disetir oleh Barat yang berlaku dalam “perang melawan teror”. Narasi yang digunakan terkait dengan kekerasan politik, ekstremisme, radikalisasi, dan persoalan Islam/Muslim sangat dipengaruhi oleh think tanks AS dan Inggris serta kelompok kebijakan mereka, yaitu bersifat ideologis dan politis.
Hasilnya adalah sebuah kebijakan yang tidak lagi tentang pencegahan kekerasan yang termotivasi oleh politik—yang disebabkan oleh dukungan Barat pada pemerintah yang zalim dan penindasan yang mereka lakukan pada dunia Islam, bukan ideologi—tapi lebih kepada kebijakan untuk mengalahkan ideologi Islam itu sendiri, dengan hanya menerima Islam yang bersahabat bagi nilai-nilai Barat.
Dengan program PVE-nya, Barat berusaha mendefenisikan ulang Islam. Meski dalam retorikanya ingin perdamaian dan persatuan, realitanya mereka justru berusaha memecah belah Islam dengan membuat pengelompokan: Islam moderat dan Islam ekstrim. Padahal, “Islam adalah Islam, dan akan selalu demikian hingga hari kiamat.”
Mungkin, mereka bisa memotong seluruh bunga, namun mereka tidak bisa mencegah datangnya musim semi.
(*/arrahmah.com)