JAKARTA (Arrahmah.com) – Peneliti dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Rully Akbar, mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus siap-siap dijadikan sasaran empuk kekecewaan masyarakat dan siap-siap di-bully seandainya harga BBM naik.
“Jika harga BBM dinaikkan, Presiden Jokowi akan menjadi pihak yang paling disalahkan,” tuturnya dalam diskusi hasil survei bertajuk Tiga Isu Menanti Jokowi-JK, di Kantor LSI Denny JA, Jalan Pemuda Nomor 70, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (30/10/2014), lansir Okezone.com.
Berdasarkan survei yang dilakukan pada 27-28 Oktober itu, presiden menempati urutan pertama sebanyak 51,20 persen, diikuti DPR sebanyak 32,40 persen, dan sisanya yang menjawab tidak tahu sebanyak 16,40 persen.
Dalam kesempatan tersebut, tambah Rully, saat ini Jokowi sedang menghadapi dilema kenaikan harga BBM bersubsidi. Sebab, berdasarkan rasionalitas ekonomi, kenaikan harga BBM memang harus dilakukan.
“Dukungan publik besar ketika pilpres lalu, namun ketika diterpa kabar kenaikan harga BBM mau tidak mau hal itu akan merosotkan dukungan terhadap Jokowi-JK,” jelasnya.
Sementara selain BBM, lanjut Rully, masih ada dua isu lagi yang menjadi penentu baik-buruk kinerja kabinet Jokowi-JK dalam waktu tiga sampai enam bulan ke depan, yakni mengembalikan pilkada langsung dan memenuhi janji-anji kampanye.
Sebelumnya Wakil Presiden Jusuf Kalla memastikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi akan naik sebelum tahun 2015.
“Kita mau anggran negaranya aman,” ujar Pria yang akrab disapa JK itu usai menggelar pertemuan dengan Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, dikutip dari ROL.
“Ya, pokoknya kita akan kurangi subsidi. Dengan begitu kita memindahkan hal konsumtif ke hal produktif,” ucapnya.
Genjot pajak
Jokowi juga meminta Kementerian Keuangan segera mengoptimalkan pendapatan negara dari sektor pajak. Walaupun potensinya sangat besar, pemerintah belum bisa mendapatkan hasil yang menggembirakan dari sektor ini.
“Sudah beberapa kali kita hitung hal-hal yang berkaitan dengan perpajakan ternyata dari segi potensi masih sangat besar sekali peluangnya. Sayangnya target penerimaan dari sektor ini tidak bisa tercapai,” katanya saat membuka rapat terbatas (ratas) bidang perekonomian di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (30/10/2014), tulis Metrotvnews.com
Selain membahas pajak, ratas tersebut juga membahas persoalan subsidi, pembiayaan, dan penumbuhan optimisme pasar.
Lebih lanjut Jokowi mencontohkan tidak maksimalnya pendapatan negara negara dari sektor pajak selama 10 tahun terakhir dimana rasio peningkatan hanya 0,1% dari tax coverage ratio yang hanya 53%. Sementara rasio pendapatan negara dari pajak pertambahan nilai (PPN) hanya sebesar 50%. “Angka-angka ini harus kita cermati, sehingga penerimaan negara saya optimistis bisa kita tingkatkan,” ujarnya.
Jokowi juga meminta agar Kemenkeu juga meningkatkan cakupan pendapatan dari pajak. “Sebab saat ini ada 24 juta total wajib pajak, namun yang menyampaikan SPT hanya 17 juta saja,” pungkasnya. (azm/dbs/arrahmah.com)