TEL AVIV (Arrahmah.com) – Parlemen Knesset “Israel” secara resmi telah mengesahkan pemerintahan yang baru pada Ahad (13/6/2021). Parlemen “Israel” juga mengangkat Naftali Bennett sebagai Perdana Menteri baru menggantikan Benjamin Netanyahu yang telah berkuasa selama 12 tahun.
Knesset yang beranggotakan 120 orang memilih Bennett sebagai Perdana Menteri “Israel” yang baru dengan selisih suara yang sangat tipis, 60 berbanding 59 suara.
Bennett mengambil alih kepemimpinan pemerintah “Israel” setelah didukung oleh koalisi delapan partai yang disatukan oleh Yair Lapid.
Dilansir AFP, Bennett merupakan seorang politikus nasionalis garis keras Yahudi, ia juga seorang jutawan teknologi dan pernah menjadi komandan pasukan khusus “Israel”.
Sebelum terjun ke dunia politik pada 2013, miliarder berusia 49 tahun itu pernah pergi ke New York dan mendirikan perusahaan rintisan, Cyota, pada 1999.
Ia dan perusahaannya membuat aplikasi perangkat lunak anti-penipuan. Namun pada 2005, Bennett menjual start-upnya itu ke perusahaan keamanan AS seniai US$145 juta atau Rp2 triliun.
Sejumlah pihak menilai kepemimpinan Bennett tak akan membantu mencerahkan program perdamaian “Israel”-Palestina.
Sebab, selama ini Bennett dikenal sebagai penentang solusi dua negara dalam penyelesaian konflik “Israel”-Palestina.
Solusi dua negara merupakan salah satu gagasan perdamaian yang selama ini didukung komunitas internasional, di mana “Israel” dan Palestina masing-masing mendirikan sebuah negara merdeka yang hidup berdampingan secara damai.
“Selama saya memiliki kekuatan dan kendali, saya tidak akan menyerahkan satu sentimeter pun tanah ‘Israel’,” kata Bennett dalam sebuah wawancara pada Februari 2021.
Dilansir Reuters, Bennett bahkan pernah mengatakan bahwa pembentukan negara Palestina merupakan tindakan bunuh diri bagi “Israel”. Ia beralasan hal itu terkait faktor keamanan warga “Israel”.
Pada 2013, Bennett juga pernah berpidato dan menyebutkan “warga Palestina yang merupakan teroris” harus dibunuh daripada dibebaskan.
“Saya telah membunuh banyak orang Arab di hidup saya, dan itu tidak masalah,” ucap Bennett beberapa waktu lalu sebagaimana dilansir Anadolu Agency.
Ketika menjabat sebagai menteri pertahanan “Israel” era Netanyahu, Bennett juga pernah menentang penghentian rencana aneksasi Tepi Barat, Palestina.
“Momentum pembangunan di negara ini tidak boleh dihentikan, bahkan untuk sedetik pun,” ucap Bennett saat itu.
Namun, rencana pencaplokan Tepi Barat itu akhirnya dibatalkan setelah “Israel” menormalisasi hubungan dengan Uni Emirat Arab.
Selama ini Bennett juga memiliki pendekatan garis keras untuk menghadapi ancaman milisi di Palestina, termasuK Hamas. Ia menolak kesepakatan gencatan senjata “Israel” dengan Hamas, penguasa Jalur Gaza, pada 2018 lalu.
Bennett juga menuduh Hamas secara terus menerus membunuh puluhan warga “Israel” dalam pertempuran 11 hari pada Mei 2021. Padahal, di sisi lain, serangan udara “Israel” ke Jalur Gaza turut menewaskan ratusan penduduk wilayah itu. (rafa/arrahmah.com)