(Arrahmah.com) – Ketika seorang laki-laki mengucapkan kalimat yang sangat sakral “saya terima nikahnya fulanah binti fulan dengan mas kawin sekian dibayar tunai” maka sejak saat ini berpindahlah tanggung jawab seorang ayah kepadanya.
Seseorang yang mungkin tidak pernah terbayangkan selama ini, mungkin tidak dikenal sebelumnya, orang asing yang namanya saja baru terdengar beberpa bulan yang lalau, ternyata dia telah sah menjadi nahkoda yang akan membersamai gadis terpingit, keluar dari rumah orangtuanya untuk mengarungi samudra kehidupan yang begitu luas, ombak yang besar, dan tak sedikit kapal yang karam karena terjangan ombak kehidupan yang bertubi-tubi.
Maka nahkoda yang baik dia akan selalu tau dari mana angin datang, dan dimana lokasi ombak yang tidak besar dia akan mengarahkan kapalnya kesana.
Tentu kita semua mengetahui bahwa diantara tanggung jawab jawab seorang laki-laki kepada istrinya adalah memberikan kepada sang istri nafkah lahir dan batin.
Namun tidak sedikit dari para lelaki yang terkadang masih belum memahami bahwa memberikan kepada sang istri akan bernilai pahala disisi Allah Subhanahu wata’ala.
Allah subhanahu wata’ala berfirman :
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.” [Q.S. An-Nisa’ 34]
Dan juga sabda rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari sahabat ibnu mas’ud radhiyallahu anhu :
إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ نفقَةً يحتَسبُها فَهِي لَهُ صدقَةٌ
“Jika seorang lelaki memberikan kepada keluarganya (istrinya) nafkah maka hal itu terhitung sebagai sebuah sedekah.” [Muttafaqun ‘Alaih]
Syaikh bin baz mengatakan : “Hadits ini menjelaskan kepada kita tentang keutamaan nafkah dan motivasi terhadapnya, terutama nafkah wajib, dari seorang suami kepada istri dan anak-anaknya. Maka sudah seharusnya (seorang suami) memulai memberikan sedekah dari yang wajib kemudian baru sedekah kepada yang lainnya.”
Kemudian syaikh rahimahullah melanjutkan : “Hal ini bahkan memiliki nilai tambahan, karena dia diganjar karena sudah menunaikan kewajiban dan berpahala karena niatnya yang baik (mengahangi keluarganya dari meminta-minta).”
Hal ini senada dengan sabda rasulullah shallallahu alaihi wasallam :
إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ ، وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا ، حَتَّى اللُّقْمَةَ تَجْعَلُهَا فِى فِى امْرَأَتِكَ
“Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu kaya, itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka terpaksa meminta-minta kepada sesama manusia. Sesungguhnya apa yang kamu nafkahkan dengan maksud untuk mencari ridha Alah pasti kamu diberi pahala, termasuk apa yang dimakan oleh istrimu.” [Muttafaqun ‘Alaih]
Seandainya ketika seorang suami meninggal dunia saja rasulullah shallallahu alaihi wasallam mewasiatkannya untuk bisa semaksimal mungkin meninggalkan keluarga dalam kondisi berkecukupan, apatah lagi ketika seorang suami itu hidup dan sehat wa afiyat tentu hal ini lebih utama.
Maka kenapa seorang laki-laki itu disebut sebagai tulang punggung? Karena dengannyalah keluarga bisa tegak berdiri. Maka bagaimana bisa seseorang bisa dikatakan bertanggung jawab bila, membiarkan keluarganya tidak diurus, hidup papa, dan dia lebih mendahulukan kebutuhan teman-temannya dari keluarganya, lebih senang hang out bersama rekan-rekannya dari pada dirumah bersama keluarganya.
Maka ini yang perlu menjadi perhatian oleh para suami. Karena bahagianya rumah tangga terletak pada kebahagiaan istri. Jika suami bisa memenuhi kebutuhan istri dan keluarga maka insya Allah ini akan menjadi salah satu sebab keluarga akan menjadi sakinah mawadah warohmah.
Oleh : Yoshi Putra Pratama S.H. (Mahasiswa Univ Islam Madinah KSA)/Wahdah
(*/Arrahmah.com)