KABUL (Arrahmah.id) – Menyusul kekhawatiran atas larangan pendidikan dan pekerjaan perempuan, Neda Mohammad Nadim, Menteri Pendidikan Tinggi Imarah Islam Afghanistan (IIA), mengatakan Imarah Islam tidak menentang pendidikan di negara tersebut.
Berbicara di sebuah konferensi, Nadim menekankan perlunya memajukan ilmu pengetahuan kontemporer di negara itu untuk pembangunan dan swasembada Afghanistan.
“Jika kita menginginkan negara yang bebas dan mandiri, kita harus mencapai swasembada di bidang ilmu pengetahuan modern dan pendidikan tinggi, yang menjadi komitmen kita,” ujarnya seperti dilaporkan TOLO news.
Sementara itu, Markus Potzel, wakil utusan khusus PBB untuk Afghanistan, membahas dampak negatif dari keputusan Imarah Islam baru-baru ini untuk melarang perempuan bekerja dan bersekolah.
“Sebagian dari kepemimpinan Taliban tampaknya tidak memahami konsekuensi mengerikan dari keputusan terbaru ini atau mereka acuh tak acuh terhadap penderitaan jutaan rakyat Afghanistan,” klaim Potzel dalam sebuah wawancara dengan Washington Post.
“Ketika mereka mengambil pekerjaan saya, saya duduk di rumah dan tidak dapat menciptakan pekerjaan untuk diri saya sendiri, dan berada di rumah membuat saya sakit dan tertekan,” kata Manizha, mantan karyawan sebuah LSM.
“Seorang muslimah bisa bekerja dengan berjilbab jika lingkungan kerjanya cocok untuk mereka,” kata Abdul Samad, pakar ilmu agama.
“Dalam masyarakat di mana perempuan mengenyam pendidikan, berarti keluarga terpelajar dan keluarga maju,” kata Hasenat, seorang mahasiswa.
Hal ini terjadi karena pemerintah saat ini secara konsisten mengatakan bahwa mereka berkomitmen untuk memastikan bahwa perempuan berpartisipasi secara sosial dan ekonomi dalam masyarakat dan bahwa keputusan baru-baru ini tidak bersifat permanen, dan perempuan akan diberikan hak untuk bekerja dan melanjutkan pendidikan setelah kondisi Syariah terpenuhi. (haninmazaya/arrahmah.id)