NAYPYIDAW (Arrahmah.com) – Junta militer Myanmar dan para pendukungnya menyamakan para pengunjuk rasa anti-kudeta seperti militan Islamic State (ISIS) dan Taliban, lansir The Frontier Myanmar (28/6/2021).
Cap tersebut diberikan junta militer seiring dengan meningkatnya perlawanan warga sipil yang menentang rezim junta dengan pemberontakan bersenjata dan perang gerilya dalam beberapa pekan terakhir.
Junta militer dan para pendukungnya melancarkan propaganda di media sosial seperti Facebook dan TikTok dengan menyebut pengunjuk rasa sebagai Taliban dan ISIS.
Junta militer bahkan menuding umat Muslim sebagai dalang di balik serangan-serangan gerilyawan anti-kudeta tersebut.
Hal itu semakin memprihatinkan mengingat Islamofobia cukup mengakar di antara warga Myanmar yang mayoritas menganut agama Buddha.
Kerusuhan di Myanmar belum ada tanda-tanda akan berakhir setelah hampir lima bulan kudeta militer berlangsung.
Selain demonstrasi massa pro-demokrasi, junta militer juga terus menghadapi perlawanan dari kelompok milisi bersenjata di perbatasan. Perlawanan bersenjata bahkan mulai menyebar secara gerilya ke pusat kota-kota besar.
Berdasarkan data dari Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), korban tewas akibat bentrokan antara aparat keamanan dan penentang kudeta Myanmar mencapai lebih dari 872 orang, sementara itu sekitar 5 ribu orang ditangkap.
Serangan bom dan pembunuhan telah menargetkan pasukan keamanan dan pejabat rezim hingga para pendukungnya.
Kondisi ini digunakan rezim untuk menyebarkan berita palsu demi mengadu domba para gerilyawan.
Narasi propaganda tersebut pertama kali mendapat sorotan arus utama ketika Menteri Informasi Junta, U Ye Htut, mengunggah postingan di Facebook hingga mendapat lebih dari 62 ribu reaksi dan 7.300 kali dibagikan.
“Sekolah-sekolah dibom. Membakar berarti membunuh siswa dan guru karena mempelajari sesuatu yang tidak ingin diajarkan. Pengeboman sebuah sekolah di Afghanistan telah menjadi identik dengan tindakan Taliban,” tulis Ye Htut.
“Taliban tidak bekerja untuk demokrasi dan Taliban pun tidak demokratis,” ujarnya menambahkan.
Sehari setelah unggahan Ye Htut rilis, sebuah akun Facebook pendukung junta militer menuding “anggota Taliban generasi Z” yang merujuk pada gerilyawan pro-demokrasi kerap menargetkan sekolah-sekolah untuk diledakkan.
“Jika kaum muda generasi Z diberikan gelar Taliban GZ, pemerintah tandingan junta (National Unity of Government/NUG) dan CRPH yang memerintah mereka berarti harus disebut ISIS,” kata akun tersebut.
“Kelompok ekstremis NUG dan CRPH itu seperti Taliban GZ dan ISIS, akan segera tamat,” kata akun tersebut menambahkan.
Narasi serupa bahkan telah mendapat persetujuan junta hingga masuk ke media pemerintah dan pertemuan pemerintah.
Stasiun televisi junta militer, Myawaddy, menyiarkan pernyataan sebuah biksu yang menuding bahwa pendukung partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi telah membakar sebuah desa di Magway.
“Hanya kelompok pendukung Taliban dan NLD yang membakar sekolah di dunia ini,” klaim dia seperti dikutip Frontier Myanmar.
Selain itu, beberapa pengguna Facebook pro-junta militer juga terus menyalahkan umat Muslim atas serangan-serangan yang dilakukan milisi anti-kudeta terhadap aparat keamanan belakangan ini.
Seorang pendukung junta militer mengunggah konten pada 22 Juni lalu tentang baku tembak antara pasukan keamanan dan milisi PDF di Mandalay. Dia mengatakan bahwa “para staf imigrasi bergabung dengan militer” saat penyerangan itu karena “Muslim terlibat dengan PDF.”
“PDF dan Muslim, 12 orang tewas dan empat lainnya ditangkap,” bunyi unggahan tersebut yang disukai lebih dari 3 ribu akun dan dibagikan sebanyak 600 kali.
Padahal, tidak ada laporan media independen yang mengindikasikan bahwa salah satu pejuang milisi itu adalah Muslim. (hanoum/arrahmah.com)