NAYPYIDAW (Arrahmah.com) – Myanmar menolak resolusi PBB yang mendesak untuk memberikan kewarganegaraan kepada Rohingya, kelompok minoritas Muslim yang terlantar tanpa kewarganegaraan, dan menuduh PBB telah mencampuri kedaulatannya, sebagaimana dirilis oleh WordBulletin, Kamis (21/11/2013).
Resolusi Komite Majelis Umum Hak Asasi Manusia PBB, yang disahkan pada Selasa, juga menyerukan kepada mayorits umat Budhha Myanmar untuk tidak melakukan tindakan kekerasan terhadap Ummat Islam sejak kekuasaan militer berakhir pada Maret 2011.
“Kewarganegaraan tidak akan diberikan kepada mereka yang tidak berhak berdasarkan undang-undang ini, tidak peduli siapa pun yang menekan kami” kata juru bicara pemerintah Ye Htut dalam sebuah pernyataan. “Ini adalah hak kedaulatan kami.”
Bentrokan antara Rohingya dan etnis Budha Rakhine meledak pada bulan Juni dan Oktober tahun lalu yang menyebabkan 140.000 orang kehilangan tempat tinggal, sebagian besar dari mereka adalah Muslim Rohingya. Pemerintah Myanmar mengatakan 192 orang tewas dalam kerusuhan, sedangkan Rohingya menyebutkan bahwa korban sebanyak 748 orang.
Sejak itu, puluhan ribu Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar dengan menggunakan perahu, berharap untuk sampai ke Malaysia, sebuah negara mayoritas Muslim.
Kekerasan terhadap ummat Islam menyebar lebih lanjut pada tahun ini. Kekerasan terbaru terjadi di Thandwe, sebuah kota di pantai Rakhine di mana massa etnis Rakhine menewaskan lima warga Muslim dalam serangkaian serangan antara 29 September dan 2 Oktober.
Pemerintah Myanmar mengatakan Rohingya adalah pendatang dari Negara tetangga yaitu Bangladesh. Pada tahun 1982, UU Kewarganegaraan tidak memasukkan Rohingya dalam daftar resmi yang mendapatkan kewarganegaraan Myanmar dari 135 kelompok etnis yang ada. Hal ini efektif membuat mereka warga Rohingnya tidak memiliki kewarganegaraan. Bangladesh juga tidak mengakui mereka dan menolak memberikan mereka status pengungsi sejak tahun 1992.
PBB menyebut mereka sebagai warga “yang tidak memiliki sahabat” dan mereka menjadi sasaran dari berbagai bentuk “penindasan, diskriminasi dan eksploitasi.”
Kedutaan besar Amerika Serikat di Yangon, Rabu (20/11) mengatakan pihaknya sangat prihatin terhadap laporan kekerasan terhadap warga Muslim di negara bagian Rakhine, termasuk pembakaran sebuah masjid dan ancaman terhadap orang-orang terlantar.
Ini mendesak pemerintah nasional dan negara untuk berbuat lebih banyak “untuk memastikan kemajuan dalam keamanan, penegakan hukum, keadilan, akses kemanusiaan, dan rekonsiliasi.” (ameera/arrahmah.com)