NAYPIDAW (Arrahmah.com) – Militer Myanmar mengatakan proses pengadilan darurat yang langka sedang berlangsung menyusul penyelidikan atas kekejaman di negara bagian Rakhine, dua tahun setelah penumpasan militer brutal yang memaksa lebih dari 700.000 Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Dalam sebuah pernyataan pada Sabtu (31/8/2019), kantor Panglima Min Aung Hlaing mengatakan pihak penyidik dari pengadilan militer yang mengunjungi negara bagian barat laut itu menemukan para prajurit telah menunjukkan “kelemahan dalam mengikuti instruksi dalam beberapa insiden” di sebuah desa yang dikatakan sebagai tempat pembantaian Muslim Rohingya, kelompok minoritas yang telah lama dianiaya di Myanmar.
Tidak ada detail tambahan yang diberikan.
Pada tahun 2018, kantor berita Associated Press melaporkan keberadaan setidaknya lima kuburan Rohingya di desa Gu Dar Pyin, di kota Buthidaung.
Laporan itu menggambarkan kekerasan mengerikan di tangan para prajurit dan warga Buddha, yang diduga menyerang penduduk desa dengan senjata, pisau, peluncur roket, dan granat sebelum membuang mayat ke lubang dan menyiram mereka dengan asam.
Perkiraan dari para penyintas di Bangladesh menyebutkan jumlah korban jiwa mencapai ratusan, kata laporan itu.
Tetapi pejabat pemerintah saat itu mengatakan 19 “teroris” telah meninggal dan tubuh mereka “dikubur dengan hati-hati”.
Pada Minggu (1/9), juru bicara militer Tun Tun Nyi mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa temuan penyelidikan itu rahasia.
“Kami tidak punya hak untuk mengetahuinya,” katanya melalui telepon. “Mereka akan merilis pernyataan lain tentang hal itu ketika prosedur selesai.”
Pengadilan militer, yang terdiri dari seorang mayor jenderal dan dua kolonel, dibentuk pada bulan Maret untuk menanggapi tuduhan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran oleh pasukan keamanan yang dibuat oleh PBB dan kelompok-kelompok hak asasi Amnesti Internasional dan Human Rights Watch.
Ia mengunjungi negara bagian Rakhine dua kali pada Juli dan Agustus tahun ini.
Pasukan Myanmar melancarkan serangan mereka di negara bagian Rakhine pada Agustus 2017 menyusul serangkaian serangan oleh pejuang Rohingya di pos-pos keamanan di dekat perbatasan Bangladesh.
Tahun lalu, sebuah misi pencarian fakta PBB mengatakan kampanye militer itu diatur dengan “niat genosidal”, dan merekomendasikan untuk menuntut Min Aung Hlaing dan lima jenderal lainnya dengan “kejahatan paling berat di bawah hukum internasional”.
Myanmar membantah tuduhan itu. Investigasi militer sebelumnya pada tahun 2017 membebaskan pasukan keamanan dari setiap kejahatan. Tetapi pada Januari 2018, Ming Aung Hlaing mengatakan tentara dan penduduk desa Inn Din mengaku membunuh 10 Rohingya di sana.
Empat perwira dan tiga tentara dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dengan kerja paksa atas insiden itu, tetapi seorang pejabat penjara mengatakan pada bulan Mei bahwa mereka “tidak lagi dalam tahanan”.
Para prajurit menghabiskan lebih sedikit waktu di balik jeruji besi dibandingkan dua wartawan Reuters yang mengungkap pembantaian dan dihukum karena melanggar rahasia negara.
Mereka dibebaskan awal tahun ini dalam pengampunan setelah lebih dari 500 hari di penjara.
Myanmar menghadapi tuntutan internasional yang semakin besar untuk pertanggungjawaban atas kampanye militer mereka di Rakhine.
Pengadilan Kriminal Internasional telah membuka pemeriksaan pendahuluan atas kekerasan tersebut, sementara panel yang dibentuk oleh Myanmar yang mencakup diplomat Filipina Rosario Manalo dan mantan utusan PBB Jepang, Kenzo Oshima, akan mempublikasikan temuan-temuannya. (Althaf/arrahmah.com)