YANGON (Arrahmah.com) – Myanmar dan badan-badan PBB menandatangani perjanjian pada Rabu (6/6/2018) yang mengarah pada pengembalian beberapa dari 700.000 Muslim Rohingya yang melarikan diri dari penganiayaan brutal oleh pasukan keamanan negara itu dan sekarang mengerumuni kamp-kamp darurat di Bangladesh.
Nota kesepahaman tersebut berisi janji pembentukan “kerangka kerja sama” yang bertujuan untuk menciptakan kondisi untuk “repatriasi pengungsi Rohingya secara sukarela, aman, bermartabat dan berkelanjutan”, tanpa mengatasi penolakan Myanmar atas kewarganegaraan bagi minoritas ini.
Pemerintah Myanmar mengatakan pihaknya berharap pakta itu akan mempercepat repatriasi. Akan tetapi kelompok-kelompok HAM masih meragukan bahwa perjanjian ini akan membiarkan banyak orang Rohingya kembali atau dapat menjamin keselamatan mereka yang melakukannya.
Sebelumnya, Myanmar yang mayoritas Budha dan Bangladesh setuju pada bulan November untuk memulai memulangkan Rohingya. Namun para pengungsi khawatir hidup mereka akan berisiko di Myanmar tanpa pemantauan internasional sementara Myanmar bersikeras mereka memiliki dokumen identitas, yang sebagian besarnya telah ditolak pemerintah Myanmar.
AS telah mengatakan perjanjian tersebut menyediakan akses bagi para pengungsi dan badan-badan pembangunan untuk memasuki negara bagian Rakhine.
Kelompok-kelompok hak asasi tetap pesimis bahwa pengembalian pengungsi Rohingya yang aman benar-benar akan terealisasi. Mereka menunjukkan kurangnya komitmen tegas dari Myanmar. Hal ini terlihat dari dekade permusuhan Myanmar terhadap minoritas yang ditolak kewarganegaraan oleh undang-undang 1982 yang mengecualikan mereka dari daftar kelompok etnis yang diakui di negara mayoritas Buddha.
“Bagaimana pemerintah Burma menjamin orang-orang ini tidak akan menghadapi lagi penganiayaan?” kata Kyaw Win, direktur eksekutif Jaringan Hak Asasi Manusia Burma. “Secara politis sangat nyaman bagi pemerintah Burma untuk menandatangani perjanjian ini, dan juga tidak pernah berkomitmen.”
“Masih belum ada langkah untuk memastikan Rohingya memiliki akses yang sama terhadap kewarganegaraan penuh,” kata Matthew Smith, kepala kelompok advokasi Fortify Rights.
“Wacana repatriasi sekarang tampaknya menjadi upaya oleh pihak berwenang untuk mengalihkan perhatian dari kekejaman massal dan kejahatan yang terjadi.” (Althaf/arrahmah.com)