HUA HIN (Arrahmah.com) – Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan bahwa pemerintah Myanmar bersedia melakukan repatriasi (pemulangan ke daerah asal) kepada manusia perahu Rohingya yang terbukti berasal dari Myanmar.
Pernyataan itu dikemukakan oleh Menlu Hassan seusai pertemuan informal tingkat Menlu ASEAN dalam rangkaian Pertemuan Puncak ke-14 ASEAN di Hua Hin, Thailand, Jumat petang.
“Kalau dapat dibuktikan bahwa mereka berasal dari Provinsi Arakan bagian utara, pemerintah Myanmar bersedia menerima kalau orang-orang itu (manusia perahu) itu mau untuk direpatriasi,” kata Menlu.
Menlu menambahkan bahwa hasil verifikasi yang dilakukan tim Pemerintah Indonesia terhadap sekitar 300an manusia perahu Rohingya yang terdampar belm lama ini menyebutkan sebagian bersedia untuk secara sukarela melakukan repatriasi.
“Dari proses verifikasi kita tahu ada sejumlah orang yang secara sukarela mau direpatriasi. Kemana direpatriasikan? Apakah ke negara tempat mereka berangkat, Bangladesh atau ke Myanmar. Apalagi Myanmar mengakui ada 600 ribu warga Bangladesh yang bermukim di wilayah mereka,” ujarnya.
Proses repatriasi itu, lanjut dia, nantinya akan memerlukan suatu proses identifikasi yang mekanisme dan detailnya antara lain akan dibicarakan dalam pertemuan “Bali Process” pada 14-15 April 2009.
Lebih lanjut, Menlu mengatakan bahwa Pemerintah Myanmar dalam suatu pertemuan dwipihak dengan Indonesia pada Kamis (26/2) lalu telah setuju untuk menggunakan “Bali Process” sebagai mekanisme penyelesaian kasus tersebut.
“Bali Process” melibatkan negara asal, singgah dan tujuan serta Bangladesh dan Australia yang akan terlibat dalam pertemuan itu.
Dalam kurun 20 tahun terakhir, orang-orang Rohingya telah menjadi subyek di Dewan Hak Asasi Manusia PBB karena dugaan adanya pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok minoritas di Myanmar.
Penolakan Myanmar untuk mengakui masyarakat Rohingya mengakibatkan ribuan warga Rohingya tanpa negara tinggal di Bangladesh secara tidak sah –Bangladesh menolak memberi orang Rohingya tempat tinggal permanen tapi tetap tak mampu menghentikan arus orang yang memiliki bahasa dan agama yang sama dengan masyarakat lokalnya– atau di kamp pendatang untuk menghindari penyiksaan.
Banyak di antara mereka berusaha mencapai negara seperti Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Singapura untuk mencari pekerjaan setelah terperosok ke dalam jaringan penyelundupan manusia.
Dalam upaya itu banyak di antara mereka mengambil resiko kehilangan jiwa dalam melakukan tindakan itu dan seringkali hilang. Nasib buruk mereka di awal 2009 ini kembali menarik perhatian dunia setelah ratusan manusia perahu Rohingya terdampar di perairan Indonesia.
Sebanyak 391 orang manusia perahu Rohingya kini ditampung di dua tempat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam setelah sempat terkatung-katung di tengah laut selama beberapa lama dan diperlakukan secara tidak manusiawi oleh otoritas keamanan Thailand.
Mereka tiba di wilayah provinsi paling utara Pulau Sumatera itu dalam dua gelombang, yakni 193 orang pada 7 Januari dan 198 orang lainnya pada 3 Februari.
Gelombang pertama para pengungsi Muslim Rohingya ditampung sementara di Pulau Weh, Sabang, sedangkan yang datang 3 Februari ditampung di Kecamatan Idi Rayeuk, Aceh Timur. (Althaf/antara)