(Arrahmah.com) – Sungguh sulit dan berat menjaga hati untuk senantiasa konsentrasi beribadah kepada Allah Ta’ala semata di hari-hari terakhir bulan suci Ramadhan ini. Menjaga hati agar senantiasa khusyu’, tenang dan tentram dalam kenikmatan ibadah kepada Allah semata. Menjaga hati agar tidak kehilangan fokus dalam mengejar ampunan dan ridha Allah Ta’ala.
Berat dan sulit, sebab suasana di sekitar kita juga telah sangat berubah di hari-hari terakhir Ramadhan ini. Fikiran kebanyakan orang sudah tersibukkan oleh urusan hari raya Idul Fitri; pakaian baru dan makanan-minuman lezat. Kesibukan kebanyakan orang sudah beralih ke pusat-pusat perbelanjaan dan kemacaten perjalanan mudik.
Suasananya sudah seperti bukan berada di bulan suci Ramadhan lagi. Suasana lebih terasa nuansa duniawinya, walau sebagiannya tetap bernilai ibadah dan berpahala. Namun tak bisa dipungkiri bahwa perubahan suasana fisik di sekitar kita sangat mempengaruhi suasana hati kita.
Padahal ruh dan inti dari ibadah fisik kita adalah ibadah hati kita. Saat hati kita masih khusyu’, tentram dan enjoy beribadah kepada Allah, maka seluruh anggota badan kita juga akan melaksanakan ibadah fisik dengan ringan dan penuh semangat. Adapun saat konsentrasi hati kita dalam beribadah telah terganggu, maka secara langsung anggota badan kita bisa merasakan berat dan lemah semangat dalam melaksanakan ibadah-ibadah fisik.
Tiada yang lebih kita hajatkan di hari-hari terakhir bulan suci Ramadhan ini selain fokus hati kita untuk tetap semangat dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Hati dan pikiran yang tertuju kepada keinginan menggapai ampunan Allah Ta’ala dan ridha-Nya adalah pekerjaan terpenting kita di hari-hari ini. Itulah yang diistilahkan oleh imam Abu Hamid al-Ghazali sebagai puasa “super” khusus, tingkatan tertinggi di dalam puasa di mana seorang muslim “mempuasakan” pikiran hatinya untuk fokus kepada Allah dan negeri akhirat, tidak dipalingkan oleh pikiran-pikiran duniawi.
Allah Ta’ala berfirman:
فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ (34)
“Ilah (Tuhan yang berhak disembah) kalian adalah Ilah Yang Maha Esa, maka berserah dirilah kalian kepada-Nya semata dan berilah kabar gembira orang-orang yang ikhbat.” (QS. Al-Hajj [22]: 34-35)
Mujahid bin Jabr berkata: “Orang-orang yang ikhbat adalah orang-orang yang tentram hatinya.”Qatadah dan Ad-Dhahak berkata: “Orang-orang yang ikhbat adalah orang-orang yang merendahkan hatinya.” As-Sudi berkata: “Orang-orang yang ikhbat adalah orang-orang yang hatinya sangat takut kepada Allah Ta’ala.” (Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 5/424)
Hati yang tentram dengan dzikir, takut kepada murka Allah dan siksa-Nya dan merendahkan diri di hadapan-Nya akan mampu menjaga konsistensi ibadah fisiknya di saat suasana di sekitarnya kurang kondusif. Allah Ta’ala menguraikan sifat-sifat orang yang memiliki hati demikian itu dengan firman-Nya dalam lanjutan ayat yang mulia di atas:
الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَالصَّابِرِينَ عَلَى مَا أَصَابَهُمْ وَالْمُقِيمِي الصَّلَاةِ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (35)
“Yaitu orang-orang yang jika disebutkan nama Allah maka hati mereka bergetar karena takut, mereka bersabar atas musibah yang menimpa mereka, mereka menegakkan shalat dan mereka menginfakkan sebagian harta yang Kami karuniakan kepada mereka(QS. Al-Hajj [22]: 34-35)
Semoga Allah Ta’ala menjaga fokus hati kita dalam mengejar ampunan dan ridha-Nya di hari-hari terakhir bulan suci Ramadhan ini. Semoga kita termasuk golongan yang hatinya terikat dengan masjid dan kitab Allah, bukan dengan tempat-tempat hiburan dan pusat-pusat perbelanjaan. Wallahu a’lam bish-shawab. (muhibalmajdi/arrahmah.com)