(Arrahmah.com) – Dalam bukunya Fannu Tadabburi fi al-Qur’an al-Karim Syaikh Isham bin Shalih al-Uwayyid menjelaskan bahwa langkah kedua untuk tadabbur Al-Qur’an adalah memahami sepenuhnya bahwa wahyu Al-Qur’an pada dasarnya ditujukan kepada hati kita. Perintah-perintah, larangan-larangan, dan kisah-kisah di dalam Al-Qur’an pertama dan terutama sekali ditujukan kepada hati kita. Hati kita adalah sasaran pertama dan utama dari firman Allah dalam Al-Qur’an.
Adapun langkah ketiga untuk tadabbur Al-Qur’an, menurut beliau, adalah membaca Al-Qur’an menurut cara yang telah Allah Ta’ala tetapkan.
Di antara keagungan Al-Qur’an adalah cara membacanya tidak diserahkan kepada selera manusia. Namun Allah Ta’ala sendiri yang menetapkan cara membacanya. Di antara dalil-dalil syar’i yang menjelaskan tata cara membaca Al-Qur’an seperti yang dikehendaki oleh Allah adalah firman Allah Ta’ala:
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
Dan Al-Qur’an itu Kami turunkan berangsur-angsur agar engkau membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap. (QS. Al-Isra’ [17]: 106)
Ayat yang mulia ini memerintahkan kepada kita untuk membaca Al-Qur’an dengan perlahan, tidak tergesa-gesa dan ngebut. Hal itu karena tujuan dari membaca ayat Al-Qur’an adalah memahami maknanya dengan proses tadabbur.
Seorang ulama besar tabi’in, Mujahid bin Jabr, pernah diitanya dua orang yang melaksanakan shalat malam sendiri-sendiri. Salah seorang membaca surat Al-Baqarah dan Ali Imran. Seorang lainnya hanya membaca Al-Qur’an. Lamanya waktu yang dibutuhkan oleh kedua orang tersebut dalam melaksanakan shalat adalah sama, misalkan 1 jam. Lamanya berdiri, ruku’ dan sujud kedua orang itu sama, meskipun salah seorang membaca dua surat dan seorang lainnya membaca satu surat saja. Maka Mujahid bin Jabr menjawab: “Orang yang membaca surat Al-Baqarah saja adalah orang yang lebih baik.” Beliau lalu berdalil dengan ayat yang mulia di atas.
Saudaraku seislam dan seiman…
Dalil syar’i lainnya tentang tata cara membaca Al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala:
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil. (QS. Al-Muzammil [73]: 4)
Tartil adalah membaca Al-Qur’an secara perlahan-lahan, dengan mengikuti kaedah-kaedah tajwid, dan tidak tergesa-gesa yang mengakibatkan kekeliruan dari aspek tajwid dan tidak adanya pemahaman dari bacaan yang dibaca.
Sahabat Abdullah bin Abbas berkata: “Yaitu ia membaca dua atau tiga ayat, lalu berhenti, tidak disambung-sambung secara tergesa-gesa.”
Mujahid bin Jabr berkata: “Yaitu ia membaca dengan perlahan-lahan.”
Imam Ibnu Katsir ad-Dimasyqi berkata: “Yaitu bacalah dengan perlahan-lahan, karena hal itu membantu untuk memahami dan mentadabburi Al-Qur’an.” (Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 8/250)
Cara membaca secara perlahan-lahan, mengikuti kaedah tajwid dan memahami makna ayat yang dibaca inilah yang dipraktekkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih:
عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ: سُئِلَ أَنَسٌ كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ: «كَانَتْ مَدًّا»، ثُمَّ قَرَأَ: {بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} [الفاتحة: 1] يَمُدُّ بِبِسْمِ اللَّهِ، وَيَمُدُّ بِالرَّحْمَنِ، وَيَمُدُّ بِالرَّحِيمِ
Dari Qadatah berkata: “Sahabat Anas bin Malik ditanya tentang cara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam membaca Al-Qur’an. Maka Anas menjawab: “Beliau biasa memanjangkan bacaan.” Anas lalu mencontohkan dengan membaca bismillahir rahmaanir rahiim. Ia memanjangkan lafal bismillaah, memanjangkan lafal ar-rahmaan dan memanjangkan lafal ar-rahiim.” (HR. Bukhari no. 5046)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، أَنَّهَا سُئِلَتْ عَنْ قِرَاءَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: ” كَانَ يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ آيَةً آيَةً: {بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} [الفاتحة: 1] {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} [الفاتحة: 2] {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} [الفاتحة: 1] {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} “
Dari Abdullah bin Abi Mulaikah dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwasanya ia ditanya tentang cara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam membaca Al-Qur’an. Maka Ummu Salamah menjawab: “Beliau biasa menghentikan bacaan ayat per ayat.” Ummu Salamah lalu membaca bismillahir rahmaanir rahiim. [lalu berhenti, kemudian membaca] al-hamdu lilIahi rabbil ‘alamiin. [lalu berhenti, kemudian membaca] ar-rahmaanir rahiim. [lalu berhenti, kemudian membaca] Maaliki yaumid diin.” (HR. Abu Daud no. 4001, Tirmidzi no. 2927, Ahmad no. 26583 dan lain-lain. Dishahihkan oleh Al-Hakim, Ad-Daruquthni dan Adz-Dzahabi)
Saudaraku seislam dan seiman…
Di antara dalil syar’i lainnya yang menjelaskan tatacara membaca Al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala:
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (19)
Janganlah engkau [Muhammad] menggerakkan lidahmu [untuk membaca Al-Qur’an] karena hendak cepat-cepat [menguasainya].
Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkanya [di dalam dadamu] dan membacakannya.
Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.
Kemudian sesungguhnya Kami yang akan menjelaskan [maknanya]. (QS. Al-Qiyamah [75]: 16-19)
Asbabun nuzul ayat ini sangat terkenal. Imam Bukhari, Muslim dan Ahmad meriwayatkan dari jalur Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya setiap kali malaikat Jibril membacakan wahyu Al-Qur’an kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, maka beliau langsung menggerakkan lisan beliau untuk menirukannya sebelum malaikat Jibril selesai membacakan ayat tersebut, karena khawatir terlupa bagian awal ayat tersebut. Maka Allah memerintahkan kepada beliau untuk mendengarkan sampai selesai setiap ayat, kemudian mengikuti pembacaannya. (Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 8/279)
Patut untuk dicatat bahwa keempat ayat yang mulia di atas didahului oleh 15 ayat yang berbicara tentang kedahsyatan hari kiamat, perhitungan dan pengadilan di akhirat kelak. Perintah untuk membaca dengan perlahan-lahan dalam keempat ayat di atas mengisyaratkan, wallahu a’lam, bahwa peristiwa-peristiwa besar di hari akhir tersebut harus menjadi bahan perenungan kita. Kita harus mentadabburi dan menghadirkan hati kita saat membaca ayat-ayat tersebut, tidak membacanya dengan sekilas lalu karena bacaan yang terlalu cepat tanpa perenungan maknanya.
Saudaraku seislam dan seiman…
Begitulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dan generasi salaf membaca Al-Qur’an.
Diriwayatkan dari ulama tabi’in Abu Wail bahwasanya ada seorang laki-laki dari suku Bajilah bernama Nahik bin Sinan datang kepada sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Nahik berkata:
إِنِّي لَأَقْرَأُ الْمُفَصَّلَ فِي رَكْعَةٍ
“[Semalam] Aku selesai membaca surat-surat Al-Mufashal [yaitu dari surat Qaf [50] sampai surat An-Nas [114], sekitar 4 juz lebih sedikit] dalam satu raka’at [shalat malam].”
Maka Abdullah bin Mas’ud berkomentar:
«هَذًّا كَهَذِّ الشِّعْرِ، إِنَّ أَقْوَامًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، وَلَكِنْ إِذَا وَقَعَ فِي الْقَلْبِ فَرَسَخَ فِيهِ نَفَعَ
“Itu cara membaca yang sangat cepat secepat kalian membaca syair. Sesungguhnya ada beberapa golongan yang membaca Al-Qur’an namun bacaan Al-Qur’an tidak melewati kerongkongan mereka. Akan tetapi jika bacaan Al-Qur’an sampai di dalam hati dan menetap mantap di dalamnya, niscaya itulah yang akan bermanfaat.” (HR. Bukhari no. 775 dan Muslim no. 822, dengan lafal Muslim)
Abdullah bin Abi Mulaikah bercerita:
صَحِبتُ ابْنَ عَبَّاسٍ مِنْ مَكَّةَ إِلَى المَدِيْنَةِ، فَكَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، فَإِذَا نَزَلَ، قَامَ شَطْرَ اللَّيْلِ، وَيُرَتِّلُ القُرْآنَ حَرْفاً حَرْفاً، وَيُكْثِرُ فِي ذَلِكَ مِنَ النَّشِيْجِ وَالنَّحِيْبِ.
“Aku menemani Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam perjalanan jauh dari Makkah ke Madinah. Beliau selalu shalat dua raka’at [shalat qashar]. Jika beliau beristirahat, maka beliau shalat tahajud selama setengah malam, beliau membaca Al-Qur’an kata per kata. Beliau banyak menangis dan terisak-isak sepanjang shalat.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, 3/352)
Saudaraku seislam dan seiman…
Begitulah seharusnya kita membaca Al-Qur’an. Hendaknya kita membaca Al-Qur’an secara perlahan-lahan, sesuai kaedah tajwid, disertai perenungan akan makna ayat yang kita baca. Itulah bacaan yang akan menghasilkan kekhusyukan dan tadabbur. Walaupun demikian, hal itu tidak menghalangi kita untuk memperbanyak bacaan dan khataman Al-Qur’an pada bulan suci Ramadhan ini. Wallahu a’lam bish-shawab.
(muhibalmajdi/arrahmah.com)