(Arrahmah.com) – Ummul mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ وَافَقْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا؟
“Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda jika aku mendapatkan lailatul qadar, doa apa yang aku baca pada malam tersebut?”
Beliau menjawab: “Hendaklah engkau membaca doa:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan senang memberi maaf, maka maafkanlah (dosa-dosa) aku.”
(HR. Ahmad no. 25384, Tirmidzi no. 3513, An-Nasai dalam As-Sunan al-Kubra no. 10708, Ibnu Majah no. 3850 dan Al-Hakim no. 1942, hadits shahih)
Barangkali kita bertanya-tanya kenapa Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan istrinya Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk meminta ampunan Allah Ta’ala di malam lailatul qadar? Di malam yang sangat berkah tersebut, kenapa Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak memerintahkan istrinya ~misalnya~ untuk meminta karunia anak? Padahal selama 10 tahun rumah tangganya dengan beliau, Aisyah tidak dikaruniai seorang anak pun.
Kenapa pula beliau tidak memerintahkan istrinya untuk meminta rizki yang lapang, panjang umur, kesehatan, dan seterusnya? Gerangan rahasia apakah di balik hal itu?
Saudaraku seislam dan seiman…
Musuh kita yang paling berbahaya adalah dosa-dosa kita sendiri. Dosa-dosa kita sendirilah yang akan menyengsarakan dan mencelakakan kita di dunia maupun akhirat. Dosa-dosa lebih berbahaya dari musuh dari golongan jin dan manusia yang paling kejam sekalipun. Dosa-dosalah yang membuat hidup kita di dunia penuh dengan kesempitan, kegalauan dan kegelapan. Dosa-dosa pula yang bisa mengantarkan kita kepada murka dan siksa Allah Ta’ala di akhirat. Nau’udzu billah min dzalik.
Orang-orang shalih dari generasi sahabat dan tabi’in senantiasa mengkhawatirkan dosa-dosa mereka, meskipun mereka jarang sekali berbuat dosa. Mereka menangisi dosa-dosa mereka dan mengkhawatirkan dampak buruk dosa-dosa tersebut di akhirat kelak. Mereka bersungguh-sungguh mengejar ampunan Allah di dunia, agar kelak saat menghadap-Nya dalam kondisi bersih, suci, tanpa membawa beban-beban dosa yang memberatkan perhitungan dan pertanggung jawaban di hadapan-Nya.
Orang-orang shalih sedikit saja berbuat dosa, namun mereka begitu mengkhawatirkan dosa-dosa tersebut. Padahal mereka memiliki amalan-amalan besar, yang sangat mungkin, mampu menghapuskan dosa-dosa yang mereka perbuat tersebut. Demikian takutnya orang-orang shalih terhadap dosa-dosa dan pertanggung jawabannya kelak, sehingga sebagian mereka beranggapan masih lebih baik menjadi tumbuhan daripada menjadi manusia. Alasannya sederhana, walau diinjak-injak, ditebas, ditebang dan dimakan oleh hewan dan manusia, setidaknya tumbuhan tidak memiliki dosa dan tidak memiliki pertanggung jawaban di hadapan Allah Ta’ala.
Saudaraku seislam dan seiman….
Sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga, pernah berkata:
«وَاللَّهِ لَوَدِدْتُ أَنِّي كُنْتُ هَذِهِ الشَّجَرَةَ تُؤْكَلُ وَتُعْضَدُ»
“Demi Allah, aku sangat ingin andaikata aku menjadi tumbuhan ini yang dimakan dan dicabut.” (HR. Ahmad bin Hambal dalam Kitab Az-Zuhd no. 581)
Dalam riwayat lain Abu Bakar ash-Shiddiq berkata:
وَدِدْتُ أَنِّي خُضْرَةً يَأْكُلُنِي الدَّوَابُّ
“Aku sangat ingin andaikata aku menjadi tumbuhan hijau yang dimakan oleh hewan-hewan ternak.” (HR. Ahmad bin Hambal dalam Kitab Az-Zuhd no. 581)
Saudaraku seislam dan seiman…
Hal serupa juga dialami dan dilakukan oleh sahabat Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga.
Abdullah bin Amir bin Rabi’ah mengisahkan detik-detik terakhir kehidupan sahabat Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu, setelah beliau ditikam dengan belati beracun oleh Abu Lu’luah al-Majusi. Para tabib saat itu telah angkat tangan dan menyerah, tak bisa lagi mengobati luka dalam Umar yang begitu parah dan terus mengeluarkan darah.
Abdullah bin Amir bin Rabi’ah berkata: “Umar bin Khatab berkata kepada putranya, Abdullah bin Umar, dan pada saat itu kepala Umar berada di pangkuan Abdullah bin Umar: ‘Letakkanlah pipiku di atas tanah!’
Abdullah bin Umar menjawab: “Apa masalahnya bagi ayah jika pipi ayah berada di atas tanah atau berada di atas pangkuanku?”
Maka Umar berkata: “Letakkanlah pipiku di atas tanah!”
Dengan terpaksa Abdullah bin Umar menempelkan pipi Umar ke tanah. Saat pipinya telah menempel ke tanah, ternyata Umar mengeluarkan kalimat yang sangat mengharukan:
وَيْلٌ لِي وَلأُمِّي إِنْ لَمْ يَغْفِرِ اللَّهُ لِي. ثَلاثًا
“Kasihan aku dan kasihan ibuku, andai Allah tidak mengampuniku.” Beliau mengulang kalimat tersebut tiga kali. (Ibnu Sa’ad, At-Thabaqat al-Kubra, 3/274)
Abban bin Utsman bin Affan meriwayatkan bahwa kalimat itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan oleh Umar sebelum beliau wafat, semoga Allah meridhainya.
Rasa takut terhadap dosa-dosa dan kekhawatiran andai tidak mendapat ampunan Allah Ta’ala senantiasa menyertai Umar bin Khathab radiyallahu dalam setiap waktunya, tidak hanya saat menghadapi detik-detik terakhir kehidupannya.
Abdullah bin Amir bin Rabi’ah berkata: “Aku melihat Umar bin Khatab mengambil segumpal tanah, lalu beliau berkata:
لَيْتَنِي كُنْتُ هَذِهِ التِّبْنَةَ. لَيْتَنِي لَمْ أُخْلَقْ. لَيْتَ أُمِّي لَمْ تَلِدْنِي. لَيْتَنِي لَمْ أَكُ شَيْئًا. لَيْتَنِي كُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا.
“Duhai andai saja aku menjadi tanah ini. Duhai andai saja aku tidak diciptakan. Duhai andai saja ibuku tidak melahirkanku. Duhai andai saja aku bukan apa-apa. Duhai andai saja aku menjadi perkara yang dilupakan.” (Ibnu Sa’ad, At-Thabaqat al-Kubra, 3/274)
Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Saya menyertai Umar bin Khathab, lalu beliau masuk ke sebuah kebun yang berpagar tembok. Dari balik tembok, aku mendengar beliau berkata:
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ بَخٍ بَخٍ، وَاللَّهِ لِتَتَّقِيَنَّ اللَّهَ بُنَيَّ الْخَطَّابِ أَوْ لِيُعَذِّبَنَّكَ.
“Umar bin Khathab Amirul Mukminin, ckk…ckk, demi Allah, engkau harus bertakwa kepada Allah wahai anak Khathab atau jika tidak niscaya Allah benar-benar akan mengazabmu.” (Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Al-Bidayah wan Nihayah, 7/135)
Saudaraku seislam dan seiman…
Kedua sahabat yang mulia tersebut sama sekali tidak menyesali takdir. Mereka hanya mengekspresikan besarnya rasa takut mereka terhadap dosa-dosa dan dampak-dampak negatifnya seandainya Allah Ta’ala tidak menurunkan ampunan-Nya.
Jika orang-orang yang telah mendapatkan jaminan masuk surga saja demikian besarnya memiliki rasa takut terhadap “dosa-dosa” mereka; maka bagaimana lagi seharusnya dengan kita? Kita manusia biasa, dengan kadar keislaman dan keimanan ala kadarnya, dengan setumpuk dosa yang setiap saat bertambah dan bertambah. Sungguh kita lebih layak untuk mengkhawatirkan dosa-dosa kita. Dan sungguh, pada sepuluh hari dan sepuluh malam terakhir bulan suci Ramadhan, kita lebih layak untuk banyak memohon ampunan Allah Ta’ala. Wallahu a’lam bish-shawab.
(muhibalmajdi/arrahmah.com)