(Arrahmah.com) – Bulan suci Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an al-Karim. Selain disunahkan untuk banyak membaca dan mengkhatamkan Al-Qur’an, kita juga disunahkan untuk mentadabburi makna ayat-ayat Al-Qur’an yang kita baca.
Imam Jalaudin as-Suyuthi (wafat tahun 911 H) dalam kitabnya Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an menulis: “Disunahkan membaca Al-Qur’an dengan tadabbur [merenungkan kandungan maknanya] dan tafahhum [berusaha memahami kandungan maknanya], karena hal itu merupakan maksud teragung dan tujuan terpenting [dari membaca Al-Qur’an], dengannya dada akan lapang dan hati akan mendapatkan cahaya.”
Allah Ta’ala berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ
‘[Al-Qur’an adalah] sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh berkah, agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya…” (QS. Shad [38]: 29)
Allah Ta’ala juga berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an ataukah pada hati mereka terdapat gembok-gembok penghalangnya?” (QS. Muhammad [47]: 24)
Lebih lanjut imam Jalaluddin as-Suyuthi mengatakan: “Sifat dari tadabbur adalah memfokuskan hati [pikiran]nya untuk memikirkan makna ayat Al-Qur’an yang ia lafalkan [dengan lisannya], sehingga ia mengerti makna setiap ayat [yang ia baca], merenungkan perintah-perintah dan larangan-larangan Al-Qur’an, dan meyakini serta menerimanya.
Jika ia melakukan keteledoran terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan tersebut pada waktu yang telah lalu, maka ia meminta maaf dan ampunan kepada Allah.
Jika ia melewati ayat tentang rahmat, maka ia bergembira dan memohon kepada Allah. Jika ia meliwati ayat tentang azab, maka ia merasa takut dan berlindung kepada Allah.
Jika ia melewati ayat tentang pensucian Allah, maka ia mensucikan Allah dan mengagungkan-Nya. Dan jika ia melewati ayat tentang doa, maka ia berdoa kepada Allah dan memohon kepada-Nya dengan hati yang tunduk.” (Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, 1/368-369)
Saudaraku seislam dan seiman…
Membaca Al-Qur’an adalah ibadah yang mulia, bahkan setiap hurufnya akan dibalas dengan sepuluh kebajikan. Itu untu di bulan-bulan biasa. Pada bulan suci Ramadhan ini, balasan amal kebajikan itu boleh jadi akan berlipat kali lebih besar lagi. Meski demikian kita tidak boleh berhenti pada sekedar membaca Al-Qur’an. Hal itu harus dilanjutkan dengan usaha sungguh-sungguh untuk memahami kandungan makna dari ayat-ayat Al-Qur’an yang kita baca. Itulah yang disebut tadabbur Al-Qur’an. Tadabbur Al-Qur’an adalah pintu gerbang menuju pemahaman dan pengamalan Al-Qur’an.
Menafsirkan ayat ke-29 surat Shad di atas, imam Al-Qurthubi (wafat tahun 671 H) berkata:
وَفِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى، وُجُوبِ مَعْرِفَةِ مَعَانِي الْقُرْآنِ، وَدَلِيلٌ عَلَى أَنَّ التَّرْتِيلَ أَفْضَلُ مِنَ الْهَذِّ ، إِذْ لَا يَصِحُّ التَّدَبُّرُ مَعَ الْهَذِّ
“Ayat ini mengandung dalil kewajiban mengetahui makna-makna [ayat] Al-Qur’an, dan juga dalil bahwa membaca secara tartil [pelan dengan penuh penghayatan] itu lebih utama dari membaca secara sangat cepat, sebab tidak mungkin bisa bertadabbur jika membaca secara sangat cepat.” (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li-Ahkam Al-Qur’an, 15/192)
Imam Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ulama senior tabi’in, imam Hasan al-Bashri, yang berkata:
وَاللَّهِ مَا تَدَبُّره بِحِفْظِ حُرُوفِهِ وَإِضَاعَةِ حُدُودِهِ، حَتَّى إِنَّ أَحَدَهُمْ لَيَقُولُ: قَرَأْتُ الْقُرْآنَ كُلَّهُ مَا يُرَى لَهُ القرآنُ فِي خُلُقٍ وَلَا عَمَلٍ
“Demi Allah, mentadabburi Al-Qur’an bukanlah dengan menghafal ayat-ayatnya namun menelantarkan hukum-hukumnya. Sampai-sampai salah seorang di antara mereka mengatakan ‘Aku telah hafal seluruh ayat Al-Qur’an’, namun sama sekali tidak nampak bekas Al-Qur’an pada akhlaknya dan amal perbuatannya.” (Ibnu katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, 7/64)
Maksud dari imam Hasan al-Bashri bukanlah meremehkan pentingnya menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Maksud beliau adalah menekankan pentingnya mengamalkan Al-Qur’an. Artinya, tadabbur Al-Qur’an yang sesungguhnya tidak berhenti pada mengetahui makna ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca. Namun harus berupa penghayatan dan pengamalan pemahaman tersebut dalam kehidupan nyata, di mana ia bisa terlihat dengan jelas dalam bentuk akhlak dan amal perbuatan seorang pembaca dan pengkaji Al-Qur’an.
Secara halus, Allah mengisyaratkan bahwa hanya orang-orang yang hatinya tertutup oleh gembok-gembok penghalang petunjuk sajalah yang tidak mau mentadabburi Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an ataukah pada hati mereka terdapat gembok-gembok penghalangnya?” (QS. Muhammad [47]: 24)
Imam Muhammad Thahir bin ‘Asyur at-Tunisi (wafat tahun 1393 H) menulis:
وَحَرْفُ أَمْ لِلْإِضْرَابِ الِانْتِقَالِيِّ. وَالْمَعْنَى: بَلْ عَلَى قُلُوبِهِمْ أَقْفَالٌ وَهَذَا الَّذِي سَلَكَهُ جُمْهُورُ الْمُفَسِّرِينَ
“Huruf am [ataukah] dalam ayat tersebut berfungsi sebagai bentuk kebalikan pepindahan. Maknanya adalah [mereka tidak mentadaburi Al-Qur’an] justru [karena] pada hati mereka terdpat gembok-gembok penghalangnya. Inilah penafsiran yang ditempuh oleh mayoritas ulama tafsir.” (Muhammad Thahir at-Tunisi, At-Tahrir wa at-Tanwir fit Tafsir, 26/113)
Semoga kita dikaruniai kesungguhan dan keistiqamahan untuk senantiasa membaca, mentadaburi, memahami dan mengamalkan Al-qur’an. Tidak di bulan suci Ramadhan saja, namun juga dalam seluruh bulan lainnya. Wallahu a’lam bish-shawab. (muhibalmajdi/arrahmah.com)