(Arrahmah.com) – Dikisahkan bahwa seorang ulama besar generasi tabi’in, imam Hasan bin Abul Hasan al-Bashri (wafat tahun 110 H) berjalan melewati beberapa orang yang bercengkerama dan tertawa terbahak-bahak di siang hari bulan Ramadhan. Maka imam Hasan al-Bashri menegur mereka. Beliau berkata:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ جَعَلَ شَهْرَ رَمَضَانَ مِضْمَاراً لِخَلْقِهِ يَسْتَبِقُونَ فِيهِ لِطَاعَتِهِ فَسَبَقَ قَومٌ فَفَازُوا وَتَخَلَّفَ أَقْوَامٌ فَخَابُوا فَالْعَجَبُ كُلُّ الْعَجَبِ لِلضَّاحِكِ اللاَّعِبِ فِي اْليَومِ الَّذِي فَازَ فِيهِ السَّابِقُونَ وَخَابَ فِيهِ الْمُبْطِلُونَ
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menjadikan bulan Ramadhan sebagai rahasia bagi hamba-hamba-Nya agar mereka berlomba-lomba untuk menaati-Nya. Satu golongan manusia bersegera [melakukan amal ketaatan di bulan Ramadhan] maka mereka pun beruntung. Sementara itu banyak golongan manusia tertinggal [tidak melakukan amal ketaatan di bulan Ramadhan] maka mereka pun merugi.
Sungguh amat mengherankan, bagaimana seseorang bisa tertawa-tawa dan bermain-main pada hari di mana orang-orang yang bersegera kepada ketaatan meraih keberuntungan dan orang-orang yang melakukan kebatilan meraih kerugian?”(Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Dien, 1/236)
Salah satu adab batin yang disebutkan oleh para ulama setiap kali seorang muslim selesai melakukan satu amal ketaatan adalah menghadirkan rasa harap (ar-raja’) dan rasa takut (al-khauf). Ia berharap amal ketaatannya telah dilakukan dengan memenuhi segala syarat, rukun, dan sunnahnya secara sempurna sehingga diterima oleh Allah Ta’ala. Dan ia takut apabila amal ketaatannya belum dilakukan dengan memenuhi segala syarat, rukun, dan sunnahnya secara sempurna sehingga ditolak oleh Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ (57) وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ (58) وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ (59) وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (60) أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ (61)
“Sesungguhnya orang-orang yang karera rasa takutnya kepada Rabb mereka, mereka berhati-hati. Dan orang-orang yang terhadap ayat-ayat Rabb mereka, mereka beriman. Dan orang-orang yang tidak menyekutukan Rabb mereka. Dan orang-orang yang memberikan infak yang mereka berikan dengan hati penuh rasa takut karena mereka (yakin) akan kembali kepada Rabb mereka. Mereka itulah orang-orang yang bersegera kepada amal-amal kebajikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 57-61)
Ketika ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia di atas turun, ummul mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam:
يَا رَسُولَ اللهِ {وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ} أَهُوَ الرَّجُلُ يَزْنِي وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ؟
“Wahai Rasulullah, firman Allah yang berbunyi ‘Dan orang-orang yang memberikan infak yang mereka berikan dengan hati penuh rasa takut‘, apakah ia adalah orang yang berzina, mencuri dan meminum khamr?”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab:
لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيُصَلِّي وَيَتَصَدَّقُ، وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُ
“Tidak, wahai putri Ash-Shiddiq, akan tetapi ia adalah orang yang melakukan puasa, menunaikan shalat dan mengeluarkan sedekah, namun ia khawatir amal ketaatannya itu tidak diterima Allah Ta’ala.” (HR. Ahmad no. 25263, 25705, Tirmidzi no. 3175, dan Ibnu Majah no. 4198)
Saudaraku seislam dan seiman…
Setiap kali kita selesai melaksanakan shalat, maka bacaan yang pertama kali kita baca adalah lafal istighfar tiga kali. Istighfar, yaitu meminta ampunan Allah Ta’ala, karena boleh jadi shalat yang kita laksanakan masih belum sempurna, baik dari aspek lahirian sunnah-sunnahnya maupun dari aspek batiniah kekhusyukannya.
Demikian pula hendaknya dengan seluruh amal ketaatan lainnya. Setiap kali kita menyelesaikannya, maka kita senantiasa melakukan introspeksi diri. Boleh jadi kita belum memenuhi semua syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya, sehingga pahalanya berkurang atau bahkan ~na’udzu billah~ ditolak oleh Allah Ta’ala. Setelah beramal kebajikan, seorang muslim akan berada di antara rasa harap dan rasa cemas, bukan timbul rasa sombong dan bangga dengan amalnya sendiri.
Inilah rasa harap dan rasa takut yang semestinya menyertai semua amal kebajikan kita. Rasa harap agar amal kebajikan kita diterima di sisi Allah dan rasa takut apabila amal kebajikan kita ditolak oleh Allah, sebagaimana yang ditegaskan dalam ayat Al-Qur’an dan hadits di atas.
Tentang hal ini, imam Hasan al-Bashri berkata:
المُؤْمِنُ مَنْ عَلِمَ أَنَّ مَا قَالَ اللهُ كَمَا قَالَ، وَالمُؤْمِنُ أَحْسَنُ النَّاسِ عَمَلاً، وَأَشَدُّ النَّاسِ وَجَلاً، فَلَو أَنْفَقَ جَبَلاً مِنْ مَالٍ، مَا أَمِنَ دُوْنَ أَنْ يُعَايِنَ، لاَ يَزْدَادُ صَلاَحاً وَبِرّاً إِلاَّ ازْدَادَ فَرَقاً، وَالمُنَافِقُ يَقُوْلُ: سَوَادُ النَّاسِ كَثِيْرٌ، وَسَيُغْفَرُ لِي، وَلاَ بَأْسَ عَلَيَّ، فَيُسِيْءُ العَمَلَ، وَيَتَمَنَّى عَلَى اللهِ
“Seorang mukmin adalah orang yang mengetahui (meyakini sepenuhnya) bahwa firman Allah betul-betul terlaksana sebagaimana firman-Nya. Seorang mukmin adalah manusia yang paling baik amalannya, namun paling besar rasa takutnya (kepada Allah). Seandainya ia menginfakkan emas sebesar gunung sekalipun, ia tidak merasa aman (yakin amalnya diterima Allah, edt) sampai ia melihat sendiri (kelak di akhirat, edt). Tidaklah ia bertambah shalih dan baik, melainkan rasa takutnya kepada Allah juga semakin bertambah.”
“Adapun orang munafik akan mengatakan ‘Orang-orang yang jahat itu banyak (bukan aku saja), jadi aku pasti akan diampuni, tak aka nada siksaan atas diriku’. Maka ia melakukan amal keburukan sembari mengangan-angankan (ampunan dari) Allah Ta’ala.” (Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam an-Nubala’, 4/586)
Dalam kesempatan yang lain, imam Hasan al-Bashri mengatakan:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ جَمَعَ إِحْسَانًا وَشَفَقَةً، وَإِنَّ الْمُنَافِقَ جَمَعَ إِسَاءَةً وَأَمْنًا.
“Sesungguhnya orang mukmin itu memadukan antara amal kebajikan dan rasa takut, sementara orang munafik memadukan antara amal keburukan dan rasa aman (dari siksa Allah).” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 5/480)
Semoga kita bisa mengamalkannya sehingga terhindar dari sikap sombong dan ujub. Wallahu a’lam bish-shawab. (muhibalmajdi/arrahmah.com)